29 Juli 2009

HUKUM SEBUTAN ALMARHUM BAGI MUSLIM YANG TELAH WAFAT

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa saja ungkapan-ungkapan yang dapat ditujukan terhadap orang-orang yang sudah meninggal dunia. Sebab, kami sering mendengar tenntang si fulan "al-maghfur lahu (orang yang diampunkan baginya)" atau "al-marhum (orang yang dirahmati)"; apakah ungkapan-ungkapan seperti ini benar ? Mohon pencerahan anda mengenai hal itu.

Jawaban.
Ungkapan yang disyariatkan dalam kasus ini adalah "Ghafarallahu (semoga Allah mengampuninya)" atau "Rahimahullah (semoga Allah merahmatinya)" dan semisal itu bila dia (orang yang meninggal dunia tersebut) seorang Muslim dan tidak boleh diucapkan "al-maghfur lahu" atau "al-marhum" karena tidak boleh bersaksi terhadap orang tertentu bahwa dia masuk surga, masuk neraka atau semisalnya kecuali orang yang memang sudah dipersaksikan Allah dengan hal itu di dalam KitabNya yang mulia atau orang yang telah dipersaksikan oleh RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia masuk surga seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Kahtthab, Utsman bin Affan, Ali dan para sahabat lainnya yang termasuk sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga dan selain mereka yang telah dipersaksikan beliau masuk surga seperti Abdullah bin Salam, Ukasyah bin Mihsan Radhiyallahu 'anhum, ataupun orang yang dipersaksikan beliau masuk neraka seperti Abu Thalib, Amr bin Luhay Al-Khuza'i dan selain keduanya yang telah dipersaksikan beliau masuk neraka -na'udzu billahi min dzalik-.
Jadi, kita bersaksi atas hal itu. Sedangkan orang yang belum dipersaksikan Allah ataupun RasulNya masuk surga atau neraka, maka kita tidak bersaksi atasnya terhadap hal tersebut dengan menentukan orangnya. Demikian juga, kita tidak bersaksi terhadap seseorang tertentu mendapatkan ampunan (maghfirah) atau rahmat kecuali berdasarkan nash Kitabullah dan sunnah RasulNya.

Akan tetapi Ahlus Sunnah berharap baik bagi orang yang berbuat baik dan khawatir terhadap nasib orang yang berbuat keburukan dan bersaksi atas ahli iman secara umum bahwa mereka masuk surga dan orang-orang kafir masuk neraka sebagaimana hal itu telah dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam kitabNya.

"Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu'min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya" [At-Taubah : 72]

Dan Dia juga berfirman di dalamnya.

"Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka"[At-Taubah : 68]

Sebagian ulama berpendapat boleh bersaksi atas masuk surga atau neraka bagi orang yang dipersaksikan oleh dua orang yang adil atau lebih bahwa dia baik atau buruk berdasarkan hadits-hadits shahih yang berisi tentang hal tersebut.

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz V, hal. 365-366 dari fatwa Syaikh Ibn Baz]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Terbitan Darul Haq]

26 Juli 2009

Tidur Cantik Sesuai Tuntunan Rasulullah

Disusun Oleh: Ummu Hajar
Muroja’ah: Ust. Abu Salman

Tidur bagi muslimah merupakan saat yang sangat penting. Karena dalam tidurnya ia mengumpulkan tenaga untuk beribadah kepada Allah. Selain itu, ketika tidur hati seorang muslimah di antara jemari Allah. Seorang muslimah cantik karena agamanya. Jadi tidurnya pun harus cantik. Hendaknya seorang muslimah menjaga adab-adab dalam tidur dengan adab yang diajarkan dalam agama Islam. Bagaimana adab-adabnya?

Tidak tidur terlalu malam setelah sholat isya kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk mengulang (muroja’ah) ilmu atau adanya tamu atau menemani keluarga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu:

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘allaihi wasallam membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya.” [Hadist Riwayat Al-Bukhari No. 568 dan Muslim No. 647 (235)]

Hendaknya tidur dalam keadaan sudah berwudhu, sebagaimana hadits: “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan sholat.” (HR. Al-Bukhari No. 247 dan Muslim No. 2710)

Hendaknya mendahulukan posisi tidur di atas sisi sebelah kanan (rusuk kanan sebagai tumpuan) dan berbantal dengan tangan kanan, tidak mengapa apabila setelahnya berubah posisinya di atas sisi kiri (rusuk kiri sebagai tumpuan). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila tidur meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya.” (HR. Abu Dawud no. 5045, At Tirmidzi No. 3395, Ibnu Majah No. 3877 dan Ibnu Hibban No. 2350)

Tidak dibenarkan telungkup dengan posisi perut sebagai tumpuannya baik ketika tidur malam atau pun tidur siang. “Sesungguhnya (posisi tidur tengkurap) itu adalah posisi tidur yang dimurkai Allah Azza Wa Jalla.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih)

Membaca ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain:

a) Membaca ayat kursi.

b) Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh.

c) Mengatupkan dua telapak tangan lalu ditiup dan dibacakan surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas kemudian dengan dua telapak tangan mengusap dua bagian tubuh yang dapat dijangkau dengannya dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan, hal ini diulangi sebanyak 3 kali (HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari XI/277 No. 4439, 5016 (cet. Daar Abi Hayan) Muslim No. 2192, Abu Dawud No. 3902, At-Tirmidzi)

Hendaknya mengakhiri berbagai doa tidur dengan doa berikut:

باسمك ربيوضعت جنبي وبك أرفعه إن أ مسكت نفسي فا ر حمها و إ ن أ ر سلتها فاحفظها بما تحفظ به عبادك الصا لحين

“Bismikarabbii wa dho’tu jambii wa bika arfa’uhu in amsakta nafsii farhamhaa wa in arsaltahaa fahfazhhaa bimaa tahfazha bihi ‘ibaadakasshaalihiin.”

“Dengan Nama-Mu, ya Rabb-ku, aku meletakkan lambungku. Dan dengan Nama-Mu pula aku bangun daripadanya. Apabila Engkau menahan rohku (mati), maka berilah rahmat padanya. Tapi apabila Engkau melepaskannya, maka peliharalah, sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang shalih.” (HR. Al-Bukhari No. 6320, Muslim No. 2714, Abu Dawud No. 5050 dan At-Tirmidzi No. 3401)

Disunnahkan apabila hendak membalikkan tubuh (dari satu sisi ke sisi yang lain) ketika tidur malam untuk mengucapkan doa:

لا إ له إ لاالله الواحدالقهاررب السماوات واﻷرض ومابينهماالعز يزالغفار

“laa ilaha illallahu waahidulqahhaaru rabbussamaawaati wal ardhi wa maa baynahumaa ‘aziizulghaffaru.”

“Tidak ada Illah yang berhak diibadahi kecuali Alloh yang Maha Esa, Maha Perkasa, Rabb yang menguasai langit dan bumi serta apa yang ada diantara keduanya, Yang Maha Mulia lagi Maha Pengampun.” (HR. Al-Hakim I/540 disepakati dan dishohihkan oleh Imam adz-Dzahabi)

Apabila merasa gelisah, risau, merasa takut ketika tidur malam atau merasa kesepian maka dianjurkan sekali baginya untuk berdoa sebagai berikut:

أعوذ بكلمات الله التامات من غضبه و شرعباده ومن همزات الشيا طين وأن يحضرون

“A’udzu bikalimaatillahi attammati min ghadhabihi wa ‘iqaabihi wa syarri ‘ibaadihi wa min hamazaatisysyayaathiin wa ayyahdhuruun.”

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya, siksa-Nya, dari kejahatan hamba-hamba-Nya, dari godaan para syaitan dan dari kedatangan mereka kepadaku.” (HR. Abu Dawud No. 3893, At-Tirmidzi No. 3528 dan lainnya)

Memakai celak mata ketika hendak tidur, berdasarkan hadits Ibnu Umar: “Bahwasanya Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memakai celak dengan batu celak setiap malam sebelum beliau hendak tidur malam, beliau sholallahu ‘alaihi wassalam memakai celak pada kedua matanya sebanyak 3 kali goresan.” (HR. Ibnu Majah No. 3497)

Hendaknya mengibaskan tempat tidur (membersihkan tempat tidur dari kotoran) ketika hendak tidur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jika salah seorang di antara kalian akan tidur, hendaklah mengambil potongan kain dan mengibaskan tempat tidurnya dengan kain tersebut sambil mengucapkan ‘bismillah’, karena ia tidak tahu apa yang terjadi sepeninggalnya tadi.” (HR. Al Bukhari No. 6320, Muslim No. 2714, At-Tirmidzi No. 3401 dan Abu Dawud No. 5050)

Jika sudah bangun tidur hendaknya membaca do’a sebelum berdiri dari tempat pembaringan, yaitu:

الحمد لله الذي أحيانابعدماأماتناوإليه النشور

“Alhamdulillahilladzii ahyaanaa ba’damaa amaatanaa wa ilayhinnusyuur.”

“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah ditidurkan-Nya dan kepada-Nya kami dibangkitkan.” (HR. Al-Bukhari No. 6312 dan Muslim No. 2711)

Hendaknya menyucikan hati dari setiap dengki yang (mungkin timbul) pada saudaranya sesama muslim dan membersihkan dada dari kemarahannya kepada manusia lainnya.

Hendaknya senantiasa menghisab (mengevaluasi) diri dan melihat (merenungkan) kembali amalan-amalan dan perkataan-perkataan yang pernah diucapkan.

Hendaknya segera bertaubat dari seluruh dosa yang dilakukan dan memohon ampun kepada Alloh dari setiap dosa yang dilakukan pada hari itu.

Setelah bangun tidur, disunnahkan mengusap bekas tidur yang ada di wajah maupun tangan.

“Maka bangunlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari tidurnya kemudian duduk sambil mengusap wajah dengan tangannya.” [HR. Muslim No. 763 (182)]

Bersiwak.

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun malam membersihkan mulutnya dengan bersiwak.” (HR. Al Bukhari No. 245 dan Muslim No. 255)

Beristinsyaq dan beristintsaar (menghirup kemudian mengeluarkan atau menyemburkan air dari hidung). “Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka beristintsaarlah tiga kali karena sesunggguhnya syaitan bermalam di rongga hidungnya.” (HR. Bukhari No. 3295 dan Muslim No. 238)

Mencuci kedua tangan tiga kali, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila salah seorang di antara kamu bangun tidur, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana, sebelum ia mencucinya tiga kali.” (HR. Al-Bukhari No. 162 dan Muslim No.278)

Anak laki-laki dan perempuan hendaknya dipisahkan tempat tidurnya setelah berumur 6 tahun. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi)

Tidak diperbolehkan tidur hanya dengan memakai selimut, tanpa memakai busana apa-apa. (HR. Muslim)

Jika bermimpi buruk, jangan sekali-kali menceritakannya pada siapapun kemudian meludah ke kiri tiga kali (diriwayatkan Muslim IV/1772), dan memohon perlindungan kepada Alloh dari godaan syaitan yang terkutuk dan dari keburukan mimpi yang dilihat. (Itu dilakukan sebanyak tiga kali) (diriwayatkan Muslim IV/1772-1773). Hendaknya berpindah posisi tidurnya dari sisi sebelumnya. (diriwayatkan Muslim IV/1773). Atau bangun dan shalat bila mau. (diriwayatkan Muslim IV/1773).

Tidak diperbolehkan bagi laki-laki tidur berdua (begitu juga wanita) dalam satu selimut. (HR. Muslim)

Maraji’:
Adab Harian Muslim Teladan

***

Artikel www.muslimah.or.id

Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Nabi...

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau, memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dan penjabar dari Al Qur’an yang mulia, yang merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan agama Islam dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (dari Allah Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. An Nahl: 44)

Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HSR Muslim no. 746). Ini berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya. (Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim 6/26). Maka orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang paling sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan Al Qur’an dan agama Islam secara keseluruhan.

Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah: bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.” (Ushuulus Sunnah, hal. 3)

Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan. (Lihat Jaami’ul Uluumi wal Hikam, hal. 321)

Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu dialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.” (Syarhus Sunnah, hal. 59)

25 Juli 2009

Mengucapkan Allahu A'lam Bila Tidak Tahu

(Ilmu itu sebelum berkata dan beramal)

Oleh Muhammad Yassir

Allah berfirman:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (An-Nahl: 78)
Inilah keadaan gambaran manusia ketika pertama kali ia lahir ke dunia yang fana ini. Ia tidak mengetahui apa-apa, hanya menangis dan tidur yang bisa ia lakukan. Akan tetapi, Allah yang maha Pemurah memberikan kepadanya beberapa sarana dari anggota tubuhnya yang dapat dipergunakan untuk mengetahui banyak hal yang masih asing baginya.
Pendengaran, penglihatan, dan hati (akal). Inilah sarana yang sangat berperan dalam menuntut ilmu. Yaitu untuk mendengar, melihat, dan memahami ayat-ayat tanda kebesaran Allah dengan tujuan pada akahirnya manusia dapat mengetahui dan mewujudkan tujuan penciptaannya di muka bumi ini, yaitu beribadah semata-mata kepada Allah.
Allah telah memberi peringatan dan ancaman yang keras bagi manusia dan jin yang tidak menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hati mereka pada tempat semestinya yang diridhoi dan diperintahkan Allah, yaitu untuk mentauhidkannya. Mereka digambarkan bagaikan binatang ternak, bahkan lebih hina.
Di antara manusia ada yang mampu menggunakan sarana-sarana di anggota tubuhnya untuk menuntut ilmu syar'i yang digali dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Merekalah para ulama dan penuntut ilmu di jalan Allah.
Namun, berapapun banyaknya pembendaharaan ilmu yang dimiliki oleh manusia, seluas apapun bidang ilmu yang mampudikuasainya, hanyalah sedikit sekali dari pemberian Allah: Allah berfirman:
Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit (Al-Isra:85)
Hendaklah seorang alim maupun penuntut ilmu mengetahui kadar ilmu yang ia miliki. Agar ia hanya berkata dan menjawab sebatas apa yang diketahuinya ketika ia memikul tangggung jawab untuk menjawab pertanyaan orang-orang awam. Selebihnya, ia hanya bisa menyerahkan kepada Allah dengan menjawab "Allahu A'lam (Allah lebih mengetahui)" atau "Saya tidak tahu".
Ucapan ini bukanlah menunjukkan kebodohan seseorang, tapi malah merupakan suatu sikap yang sangat terpuji dan mulia, akhlaq sunni yang diwariskan dari Rasulullah dan para Sahabat beliau, menunjukkan sifat wara' dan tawadhu' seseorang di hadapan syariat Allah. Karena, di atas orang alim ada yang lebih alim.
Telah mendahului kita para hamba Allah yang mulia dalam mengakui ketidaktahuannya. Beberapa contoh di antaranya:
1. Para malaikat.
Firman Allah Dalam Al-Quran:
Allah berkata kepada para malaikat, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar !"Para malaikat menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah: 31-32)
2. Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam.
Firman Allah Dalam Al-Quran:
Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku), dan aku bukan termasuk orang yang mengada-ada."(shad: 86)
Ibnu Mas'ud berkata: "Barang siapa mengetahui sesuatu hendaklah ia berkata dengan pengetahuannya itu. Sedangkan yang tidak mengetahui hendaklah ia mengucapkan "Allahu A'lam (Allah lebih mengetahui)". Karena, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya: Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku), dan aku bukan termasuk orang-orang yang mengada-ada."
Begitu pula ketika Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam ditanya oleh Malaikat Jibril (dalam sebuah hadis yang panjang) tentang kapan terjadinya Hari Kiamat. Beliau menjawab:Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui daripada yang bertanya.(HR. Muslim)
3. Kisah para Sahabat Rasulullah dan para ulama yang berjalan mengikuti jejak mereka. Di antaranya:
- Abu Bakar. Beliau pernah ditanya tentang ayat-ayat Al-Quran. Beliau berkata: Bumi manakah yang akan menampungku, dan langit mana yang akan menaungiku (maksudnya kemanakah aku akan pergi melangkah), jika aku berkata tentang ayat-ayat dalam Kitab Allah, berbeda dengan maksud yang diinginkan Allah."
Beliau merasa khawatir untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tanpa ilmu.
- Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang suatu permasalahan, beliau menjawab "Saya tidak tahu". Kemudian beliau berkata lagi "Alangkah sejuknya hati ini" (tiga kali). Orang- orang bertanya: "Ya Amirul Mukminin, apa maksud perkataanmu itu ?". Beliau menjawab: "Yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia menjawab "Allahu A'lam".
- Ibnu Umar pernah ditanya: "Apakah bibi dari pihak bapak ikut mewarisi harta warisan ?". Beliau menjawab: "Saya tidak tahu". Yang bertanya menimpali: "Jadi anda tidak tahu dan kami pun tidak tahu ?". Ibnu Umar menjawab: "Ya, pergilah ke ulama-ulama di Madinah dan tanyailah mereka". Setelah orang yang bertanya tadi berlalu, Ibnu Umar mencium kedua tangannya seraya berkata: "Alangkah indahnya perkataan Abu Abdurrahman (Ibnu Umar) ketika ia ditanya yang tidak diketahuinya ia berkata ' Saya tidak tahu' ".
- Para Shahabat Rasulullah lainnya juga selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam yang tidak mereka ketahui dengan ucapan "Allahu wa Rasuluhu A'lam" (Allah dan Rasulullah lebih mengetahui)
Seperti kisah Umar bin Khattab ketika beliau ditanya Rasulullah tentang laki-laki berpakaian serba putih dan berambut hitam legam yang datang bertanya kepada Rasulullah masalah Islam, Iman, Ihsan, dan Hari Kiamat. Umar bin Khattab menjawab "Allahu wa Rasuluhu A'lam (Allah dan Rasulullah lebih mengetahui)
- Imam Asy-Sya'by pernah ditanya tentang sesuatu, beliau menjawab: "Saya tidak tahu". Tapi beliau malah ditanya lagi: "Apakah engkau tidak malu mengucapkan tidak tahu, sedangkan engkau seorang ahli fiqih di Iraq ?". Asy-Sya'by menjawab: "Tetapi Malaikat tidak malu untuk berkata: 'Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami' ".
- Ibnu Wahb berkata: "Saya mendengar Imam Malik sering berkata 'saya tidak tahu', seandainya kami menulis ucapannya itu pasti akan memenuhi lembaran yang banyak."
Itulah ketawadhuan yang dimiliki oleh orang-orang yang terbaik dari umat ini, kemudian diwarisi oleh para ulama sesudah mereka. Mereka tidak segan untuk mengucapkan tidak tahu, dan tidak malu untuk mengucapkan Allahu A'lam.
Mereka sangat paham, bahwa ucapan itu tidak akan menurunkan derajat keilmuan mereka. Bahkan, ucapan itu menunjukkan keilmuan dan kefaqihan seseorang.
Karena, hanya orang-orang bodohlah yang berani berbicara tanpa dilandasi ilmu. Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesunggahnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara sekaligus. Tetapi,Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Sehingga, apabila tidaktersisa lagi orang alim, manusia mengangkat pemimpin yang bodoh, mereka ditanyai dan berfatwa tanpa didasari ilmu, mererka sesat lagi menyesatkan".(HR. Bukhari dan Muslim)
Alangkah sangat memilukan pemandangan yang dapat kita saksikan di sekitar kita. Memasyarakatnya bid'ah dan menyebarnya kerancuan, salah satu penyebabnya adalah karena fatwa yang tidak didasari ilmu dari orang-orang yang diulamakan; dianggap cendekiawan; atau dijuluki pemikir Islam oleh mayarakat awam. Mungkin merasa gengsi untuk mengucapkan tidak tahu di depan para penggemarnya. Allahu Musta'an…… .
Marilah kita mengoreksi diri kita masing-masing, agar kita mengetahui kedudukan kita dibanding para sahabat Rasulullah dan ulama umat ini untuk berfatwa dalam syariat Allah. Mari kita ambil pelajaran dari nasehat Abu Dziyal: "Belajarlah mengucapkan 'saya tidak tahu', jangan kamu belajar mengucapkan 'saya tahu'. Karena, jika kamu mengatakan 'saya tidak tahu’, kamu akan diajarkan sampai kamu tahu. Tapi,kalau kamu mengatakan 'saya tahu', kamu akan terus ditanyai sampai akhirnya kamu mengucapkan 'tidak tahu' ".

Maraji': Hilyatul 'Alimil Mu'allim wa Bulghatut Thalibil Muta'allim, Salim Al-Hilaly.

21 Juli 2009

Hukum Menggunakan Smiley Atau Ekspresi Wajah Di YM

Tanya: Assalamu'alaikum. Ustadz,bagaimanakah hukum smiley seperti yang ada di YM? Apakah smiley termasuk gambar yang menyerupai makhluk hidup? Jazakallahu khoiran. (Ikhsan Jaya)


Jawab:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Menurut pendapat yang kuat bahwa menggambar mahluk bernyawa dengan menghilangkan sebagian anggota badan, yang orang tidak mungkin hidup tanpanya (seperti menghilangkan dada, perut), dengan tetap menyisakan kepalanya termasuk di dalam larangan menggambar mahluk bernyawa
Ini adalah pendapat sebagian Syafi'iyyah (Lihat Nihayatul Muhtaj 6/375, Asna Al-mathalib wa Hasyiyatuhu 3/226), dan pendapat sebagian Hanabilah zaman sekarang (Lihat Fatawa wa Rasail Syeikh Muhammad bin Ibrahim 1/189-190)

Diantara dalil-dalilnya:
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((أتاني جبريل عليه السلام فقال لي أتيتك البارحة فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل وكان في البيت قرام ستر فيه تماثيل وكان في البيت كلب فمر برأس التمثال الذي في البيت يقطع فيصير كهيئة الشجرة ومر بالستر فليقطع فليجعل منه وسادتين منبوذتين توطآن ومر بالكلب فليخرج)) ففعل رسول الله صلى الله عليه و سلم
"Jibril 'alaihissalam telah datang kepadaku seraya berkata: Aku telah datang kepadamu tadi malam, dan tidaklah menghalangiku untuk masuk (rumah) kecuali karena ada patung di depan pintu, ada tirai yang bergambar (mahluk hidup), dan ada anjing di rumah. Maka hendaklah dipotong kepala patung yang ada di rumah sehingga berbentuk pohon, dan hendaklah tirai tersebut dipotong kemudian dijadikan dua bantal yang dijadikan sandaran, dan hendaknya anjing tersebut dikeluarkan, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya" (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzy, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)

Di dalam hadist ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanya membolehkan keberadaan gambar mahluk bernyawa jika dilakukan salah satu dari 2 perkara:
Pertama: Dipotong kepalanya
Kedua: Dihinakan (digunakan untuk perkara-perkara yang tidak ada penghormatan di dalamnya)
Dan bukan dengan cara menghilangkan anggota badan lain (selain kepala) yang orang tidak mungkin hidup tanpanya, seperti menghilangkan dada atau perut

Berkata Syeikh Bin Baz:
(( ويستدل بالحديث المذكور أيضا على أن قطع غير الرأس من الصورة كقطع نصفها الأسفل ونحوه لا يكفي ولا يبيح استعمالها ، ولا يزول به المانع من دخول الملائكة ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بهتك الصور ومحوها وأخبر أنها تمنع من دخول الملائكة إلا ما امتهن منها أو قطع رأسه ، فمن ادعى مسوغا لبقاء الصورة في البيت غير هذين الأمرين فعليه الدليل من كتاب الله أو سنة رسوله عليه الصلاة والسلام ))
"Hadist di atas dijadikan dalil bahwa memotong selain kepala seperti memotong separuh badan bagian bawah atau yang semisalnya adalah tidak cukup dan tidak boleh menggunakannya, dan ini tetap menjadi penghalang masuknya malaikat (ke dalam rumah), karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengoyak gambar dan menghapusnya, dan beliau mengabarkan bahwa hal ini menghalangi malaikat masuk rumah, kecuali gambar yang dihinakan atau dipotong kepalanya. Maka barangsiapa yang memiliki alasan tetap dipajangnya gambar di rumah selain kedua alasan ini maka wajib baginya mendatangkan dalil dari kitabullah dan sunnah RasulNya." (Majmu' Fatawa Syeikh Bin Baz 4/219)

2. Hadist Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma :
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الصورة الرأس فإذا قُطِع الرأس فلا صورة
"Gambar itu kepala, jika dipotong kepala maka tidak ada gambar" (HR. Al-Isma'ili di dalam Mu'jamnya, dari Ibnu 'Abbas, Dishahihkan Syeikh Al-Albany di Ash-Shahihah 4/554)
Di dalam hadist ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan ada tidaknya kepala sebagai ukuran boleh tidaknya keberadaan gambar mahluk bernyawa. Jika kepalanya ada maka tidak boleh, dan jika kepalanya tidak ada maka boleh.

3. Jangan kita qiyaskan hal ini dengan masalah memotong kepala dan menyisakan badannya karena 2 hal:
Pertama: Kepala ini adalah anggota badan yang paling utama, yang membedakan antara mahluk bernyawa dengan pohon dan benda mati.
Kedua : Badan kalau dipotong kepalanya maka akan seperti bentuk pohon, sebagaimana dalam hadist , akan tetapi kalau kepala dipotong badannya saja maka tetap berbentuk mahluk yang bernyawa.
Berkata Syeikh Bin Baz:
ولأن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أن الصورة إذا قطع رأسها كان باقيها كهيئة الشجرة ، وذلك يدل على أن المسوغ لبقائها خروجها عن شكل ذوات الأرواح ومشابهتها للجمادات ، والصورة إذا قطع أسفلها وبقي رأسها لم تكن بهذه المثابة لبقاء الوجه ، ولأن في الوجه من بديع الخلقة والتصوير ما ليس في بقية البدن ، فلا يجوز قياس غيره عليه عند من عقل عن الله ورسوله مراده . وبذلك يتبين لطالب الحق أن تصوير الرأس وما يليه من الحيوان داخل في التحريم والمنع؛ لأن الأحاديث الصحيحة المتقدمة تعمه
"Dan juga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa gambar kalau dipotong kepalanya maka sisanya seperti bentuk pohon, ini menunjukkan bahwa alasan kenapa diperbolehkan adalah karena dia bukan lagi berbentuk mahluk yang bernyawa. Dan dia lebih serupa dengan mahluk mati. Dan gambar kalau dipotong bawahnya kemudian tersisa kepalanya maka jadinya bukan seperti itu (tidak berganti menjadi bentuk mahluk mati), dan juga wajah ini di dalamnya ada keindahan penciptaan dan gambar yang tidak ada di anggota badan yang lain. Maka tidak boleh anggota badan diqiyaskan kepada kepala bagi orang yang memahami maksud Allah dan rasulNya. Dengan demikian jelas bagi pencari kebenaran bahwa menggambar kepala mahluk hidup adalah terlarang karena keumuman hadist-hadisy yang shahih" (Majmu' Fatawa Syeikh Bin Baz 4/219).

Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullah:
((أن قوله " حتى تصير كهيئة الشجرة " ، دليل على أن التغيير الذي يحل به استعمال الصورة ، إنما هو الذي يأتي على معالم الصورة ، فيغيرها حتى تصير على هيئة أخرى مباحة كالشجرة . و عليه فلا يجوز استعمال الصورة و لو كانت بحيث لا تعيش لو كانت حية كما يقول بعض الفقهاء ، لأنها في هذه الحالة لا تزال صورة اسما و حقيقة ، مثل الصور النصفية ، و أمثالها))
"ٍٍٍSesungguhnya ucapan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Sampai menjadi bentuk pohon" dalil bahwasanya perubahan yang membolehkan penggunaan gambar adalah perubahan pada tanda-tanda (yang menjadikan) gambar (itu hidup) , sehingga menjadi bentuk lain yang diperbolehkan seperti pohon, oleh karenanya tidak boleh menggunakan gambar (mahluk bernyawa) meskipun dia tidak mungkin hidup dengan cara seperti itu, karena dalam keadaan seperti ini dia masih gambar mahluk bernyawa baik nama maupun hakikatnya, seperti foto setengah badan dan yang semisalnya" (Silsilah Al-Ahadist Ash-Shahihah 1/693)

Dengan demikian kita bisa mengambil kesimpulan bahwa penggunaan smiley atau icon atau الوجوه التعبيرية (ekspresi wajah) seperti yang ada di YM tidak diperbolehkan. Apalagi terkadang di dalamnya ada hal yang tidak sesuai dengan adab islami.Alhamdulillah, perasaan masih bisa kita ungkapkan dengan kata-kata.
Wallahu a'lam.

20 Juli 2009

Bab Air (Hadits 4) : Hadits dua kullah

Hadits 4 Bulughul Marom:


وعَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عمرَ – رضي الله عنهما – قاَل قَال رَسُولُ الله –صلى الله عليه و سلم – :
((إذاَ كَانَ المـاَءُ قُـلَّـتَـيْـنِ لَـمْ يـَحْمِل الخَـبَـثَ))
وفي لفظٍ:
((لَـمْ يـَـنْجُسْ))
أخرجه الأربعة, و صححه ابن خزيمة و الحاكم و ابن حبان.

Dari Abdullah bin Umar radiyallahu ‘anhuma dia berkata (bahwa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “jika air mencapai dua kullah, maka (air tersebut) tidak mengandung kotoran [najis]”. Dalam lafadz lain: “(air tersebut) tidak ternajisi.”

Dikeluarkan oleh imam yang empat, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al Hakim, dan Ibnu Hibban.

Derajat hadits:

Hadits ini shahih, dinamakan juga dengan hadits qullatain (dua kullah).


Para ulama berbeda pendapat mengenai keshahihan hadits ini, sebagian ulama menghukumi hadits ini dengan syadz (nyeleneh) pada sanad dan matannya.
Syadz pada matannya dari segi bahwa hadist ini tidak ,i>masyhur padahal kandungan hadits ini sangat dibutuhkan, seharusnya dinukil secara masyhur, namun hal ini tidak. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Ibnu Umar saja.
Adapun segi idhtirob (simpang siur) pada matan, yaitu adanya sebagian riwayat “jika air mencapai dua kullah”, ada juga “jika air mencapai tiga kullah”, ada juga “jika air mencapai empat puluh kullah”. Ukuran kullahpun tidak diketahui, dan mengandung pengertian yang berbeda-beda.
Adapun ulama yang membela hadits ini dan mengamalkannya seperti Imam Asy Syaukani, beliau berkata, “telah dijawab tuduhan idhtirob (simpang siur) dari segi sanad bahwa selagi terjaga di seluruh jalur periwayatannya, maka tidak bisa dianggap idhtirob (simpang siur), karena hadits tersebut dinukil oleh yang terpercaya kepada yang terpercaya. Al Hafidz berkata, “Hadits ini memiliki jalur periwayatan dari Al Hakim dan sanadnya dikatakan baik oleh Ibnu Ma’in.” Adapun tuduhan idhtirob dari segi matan, maka sesungguhnya riwayat “tiga” itu syadz, riwayat “empat puluh kullah” itu mudhtorib, bahkan dikatakan bahwa kedua riwayat tersebut maudhu’, dan riwayat “empat puluh” di-dho’ifkan oleh Ad Daruqtni.
Syaikh Al Albani berkata, “hadits ini shahih”, diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih.
Ath Thohawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan hadits ini, dan sikap sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob (simpang siur) tidaklah dapat diterima.
Ibnu Taimiyah berkata, “kebanyakan ulama menghasankan hadits ini dan menjadikannya sebagai hujjah (dalil), mereka telah membantah perkataan yang mencela hadits ini”
Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.


Kosa kata:

* Kata قلتين (qullataini) = dua kullah. Dua kullah sama dengan 500 ritl irak, dan 1 ritl irak sama dengan 90 misqol. Dengan takaran kilo, dua kullah sama dengan 200 kg.

* Kata لم يحمل الخبث (lam yahmil khobats), yaitu tidak dicemari oleh kotoran (najis), maknanya adalah air tidak ternajisi dengan masuknya najis ke dalamnya, jika air tersebut mencapai dua kullah. Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah air tersebut dapat melarutkan (menghilangkan) najis yang masuk ke dalamnya, sehingga air tersebut tidak ternajisi.

* Kata الخبث (khobats) adalah najis.



Faedah hadits:

1. Jika air mencapai dua kullah, maka air tersebut dapat menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis tidak memberi pengaruh, dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut.

2. Dipahami dari hadits tersebut bahwa air yang kurang dari dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis dengan masuknya najis sehingga air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang tidak menjadi ternajisi dengannya.

3. Ternajisi atau tidaknya air bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya, jika najis tersebut telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada kesuciannya.



Perbedaan pendapat ulama:

* Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad, serta pengikut madzhab mereka, berpendapat bahwa air yang sedikit menjadi ternajisi dengan masuknya najis, walaupun najisnya tidak mengubah sifat air.

Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.
Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah.


* Imam Malik, Az Zhohiriyyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama-ulama salafiyah di Nejd, dan para muhaqqiqin berpendapat bahwa air tidak menjadi ternajisi dengan masuknya najis selama salah satu dari tiga sifat air (rasa, warna, dan bau) tidak berubah.


Para ulama yang mengatakan bahwa air dapat ternajisi dengan sekedar masuknya najis berdalil dengan pemahaman hadits Ibnu Umar ini. Pemahamannya menurut mereka bahwa air yang kurang dari dua kullah akan mengandung kotoran [najis]. Di dalam satu riwayat, “jika (air) mencapai dua kullah, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya”. Maka pemahamannya bahwa air yang kurang dari dua kullah menjadi ternajisi dengan sekedar masuknya najis, sebagaimana mereka berdalil dengan hadits tentang perintah menumpahkan air pada wadah yang dijilati oleh anjing tanpa memperdulikan tentang perubahan sifat air nya.
Hadits qullatain (dua kullah) tidak bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, sebab air seukuran dua kulah jika diisi dalam suatu wadah, maka air di salah satu ujung wadah tidak bergerak dengan bergeraknya ujung lainnya.


Adapun dalil- dalil para ulama yang tidak memandang sebagai air yang ternajisi kecuali dengan perubahan sifat, diantaranya hadits qullataini ini, sesungguhnya makna hadits tersebut adalah air yang mencapai dua kullah tidak ternajisi dengan sekedar masuknya najis, karena air yang mencapai dua kullah tersebut tidak mengandung kotorang [najis] dan dapat menghilangkan najis-najis di dalamnya.
Adapun pemahaman hadits tersebut, tidak lazim demikian, sebab terkadang air menjadi ternajisi jika najis mengubah salah satu sifat air, dan terkadang air tidak ternajisi. Sebagaimana mereka juga berdalil dengan hadits tentang menuangkan seember air pada air kencing Arab Badui dan dalil lainnya.
Ibnul Qoyyim berkata, “yang dituntut oleh prinsip dasar syariat adalah : jika air tidak berubah sifatnya oleh najis maka air tersebut tidak menjadi ternajisi, hal itu karena air tetap dalam sifat alaminya, dan air yang seperti ini termasuk yang thoyyib (baik) dalam firman Allah, ((dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik)). Ini dapat diqiyaskan terhadap seluruh benda cair, jika terkena najis dan tidak mengubah warna, rasa, dan bau.



Sumber: Taudhihul Ahkam min Bulughul Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam

Pertanyaan:

1. Berapa ukuran dua kullah air?
2. Jika air mencapai dua kullah, lalu terkena najis, dan najis itu merubah salah satu dari tiga sifat air (bau, warna, dan rasa), apakah air tersebut menjadi ternajisi?
3. Jika air mencapai dua kullah, lalu terkena najis, tetapi najis tersebut tidak merubah sifat air, apakah air tersebut menjadi ternajisi?
4. Jika air kurang dari dua kullah, lalu terkena najis, tetapi najis tersebut tidak merubah sifat air, apakah air tersebut menjadi ternajisi? Jelaskan perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini menurut Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Malik!



Link-link sebelumnya:

* Muqoddimah (Biografi Penulis dan Pengenalan Kitab Bulughul Marom)
* Bab Air (Hadits 1)
* Bab Air (Hadits 2 dan 3)

JILBAB

“Seorang wanita muslim tidak boleh menunda berjilbab hanya karena merasa pengetahuan agamanya masih minim.”

Memakai jilbab adalah kewajiban setiap perempuan Muslim.

Please open holy Qur’an: Al-A’raf: 26, An-Nuur: 31, Al-Ahzab: 59

“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.” (QS. Al-A’raf: 26)

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau puta-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 24)

“wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya* ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

DIHARAMKAN MEMOTONG JENGGOT DAN MEMENDEKKANNYA (Oleh: Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Berbedalah dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan biarkan jenggot." (HR. Muslim, no. 1538)

Al-Hafizh berkata dalam 'al-Fath (X/296): "Ini merupakan maksud dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu: "Sesungguhnya kebiasaan orang-orang musyrik adalah memendekkan jenggot dan ada yang mencukurnya sampai habis."

Dalam hadits ini mengandung isyarat yang kuat, bahwa memendekkan jenggot -sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian jama'ah- posisinya seperti mencukurnya, yaitu dari segi tasyabbuh (penyerupaan kepada orang musyrik). Hal ini tidak dibolehkan. Dan amalan sunnah yang berjalan di kalangan salaf dari para sahabat dan lainnya adalah membiarkan jenggot kecuali yang melebihi genggaman tangan, maka dibolehkan memotong kelebihannya.

Adh-Dha'ifah (6/1250)

(Dikutip dari Taujiihu as-Saari Likhtiyaraat al-Fiqhiyyah li as-Syaikh Al-Albani, edisi Indonesia: Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani, penerbit Pustaka As-Sunnah, cetakan pertama th' 2005)

Awas JIL

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan di dalam shahihnya :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَمْرَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَالْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ

Muhammad bin Sinan menuturkan kepada kami. Dia berkata; Fulaih bin Sulaiman menuturkan kepada kami. Dia berkata; Hilal bin Ali menuturkan kepada kami dari Abdurrahman bin Abi ‘Amrah dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku adalah orang yang paling dekat dan paling mencintai Isa bin Maryam di dunia maupun di akhirat. Para nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama mereka adalah satu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ahadits al-Anbiya’, lihat Fath al-Bari [6/550]. Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam Kitab al-Fadha’il dengan redaksi yang agak berbeda)

Hadits yang agung ini menyimpan pelajaran berharga bagi kita, antara lain :

1. Ibnu Hajar mengatakan, “Makna hadits ini adalah pokok agama mereka -para nabi- adalah satu/sama yaitu tauhid, meskipun cabang-cabang syari’at mereka berbeda-beda…” (Fath al-Bari [6/549])
2. Hadits ini menunjukkan bahwa agama para nabi yang diutus oleh Allah di muka bumi ini adalah tauhid yaitu memurnikan segala bentuk ibadah kepada Allah semata. Hal itu sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Allah mensyari’atkan bagi kalian ajaran agama yang telah Allah wasiatkan kepada Nuh, dan sebagaimana juga Kami wahyukan kepadamu, dan yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu hendaknya kalian menegakkan agama dan tidak berpecah belah di dalamnya…” (QS. as-Syuura : 13). Ibnu Katsir menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa agama yang diajarkan oleh segenap para nabi itu adalah beribadah kepada Allah semata tiada sekutu bagi-Nya, meskipun syari’at mereka berbeda-beda (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [7/147]). Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa; tidak ada sesembahan yang benar selain Aku, oleh sebab itu sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiyaa’ : 25).
3. Hadits ini merupakan bantahan telak bagi kaum atheis yang menolak agama.
4. Hadits ini juga merupakan bantahan bagi kaum Nasrani yang mengaku mengikuti Nabi Isa ‘alaihis salam namun tidak mau tunduk kepada ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia juga menjadi bantahan bagi kaum Yahudi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar kenabianku seorang di kalangan umat ini, Yahudi ataupun Nasrani lalu meninggal dalam keadaan tidak mengimani ajaranku melainkan dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).
5. Hadits ini merupakan bantahan telak bagi kaum Liberal dan Pluralis (semacam JIL dan begundal-begundalnya) yang mengatakan bahwa semua agama itu benar; maksud mereka Yahudi, Nasrani dan Islam adalah dilandaskan pada monothesime (baca: tauhid) –oleh sebab itu ada di antara mereka yang menulis buku dengan judul ‘Tiga agama satu tuhan’ [?!}– dengan alasan bahwa semua agama itu adalah diturunkan oleh Ibrahim ‘alaihis salam. Sungguh dangkal akal mereka, sepertinya mereka belum pernah membaca -atau pura-pura tidak tahu- ayat (yang artinya), “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi ataupun Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang bertauhid dan muslim, dan dia sekali-kali bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran : 67). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwa al-Masih putra Maryam itu adalah Allah, sedangkan al-Masih sendiri mengatakan, ‘Hai bani Isra’il, sembahlah Allah Rabbku dan Rabb kalian, sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan sama sekali tidak ada penolong bagi orang-orang yang zalim itu.” (QS. al-Maa’idah : 72). Nah, itulah jadinya kalau orang belajar Islam kepada Orientalis…, bukannya pinter malah jadi keblinger! Hadahumullah!

http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/04/28/agama-mereka-satu/#more-766

Sakaratul Maut dan Khusnul Khatimah

Oleh: Abdurrahman ibn Abdil Ghaits

Orang yang meregang nyawa, di ambang pintu kematian mengalami rasa sakit yang bukan alang kepalang. Saat-saat kritis itulah yang disebut dengan sekarat atau sakratul maut.

Kematian yang wajar dan normal dapat dikenali dengan beberapa tanda. Di antara tanda-tanda datangnya kematian itu adalah:

1. Orang yang mau meninggal akan melihat malaikat maut. Jika dia termasuk calon orang yang berbahagia maka dia akan melihat malaikat maut dalam rupa yang bagus, dan melihat malaikat rahmat berwajah putih. Mereka membawa kafan dan tikar dari sorga. Mereka duduk dari padanya sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut seraya duduk di sisi kepalanya dan berkata: “Keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaan-Nya!” Adapun jika dia termasuk calon orang yang celaka, maka dia akan melihat malaikat maut dalam rupa yang lain, serta melihat malaikat adzab menghitam wajahnya. Mereka membawa kafan dan tikar dari api neraka. Kemudian datanglah malaikat maut seraya duduk di sisi kepalanya dan memberinya kabar gembira dengan kemurkaan Allah atasnya, dan dia melihat tempat duduknya di neraka. Berkatalah malaikat maut: “Keluarlah wahai jiwa yang keji, dan bergembiralah dengan kemurkaan dan kemarahan Allah!”

2. Dengan keadaan yang demikian, saat orang yang mau meninggal melihat malaikat maut, diapun lemas, tidak bisa berkutik, mual, merasakan pedihnya sekarat, dan kesusahan, tidak mampu berkata-kata. Dia mendengar tapi tidak mampu menjawab, melihat tapi tidak mampu menerangkannya, hatipun kacau, detak jantung sudah tidak beraturan, kadang dia tersadar, kadang dia pingsan karena pedihnya sakaratul maut. Ya Allah, tolonglah kami atas sakaratul maut.

Tanda-tanda yang menunjukkan seseorang itu telah meninggal:
1. Terbelalaknya mata, berdasarkan hadits Ummu Salamah, dia berkata : “Rasulullah masuk kepada Abu Salamah, sementara matanya telah terbelalak kemudian Nabi memejamkannya seraya bersabda: ”Sesungguhnya jika roh itu dicabut, mata akan mengikutinya….” (HR. Muslim dan Ahmad)
2. Condongnya hidung kearah kanan atau kiri
3. Kendur (terbuka)nya rahang bawah, karena kendurnya seluruh anggota tubuh secara umum.
4. Diam dan berhentinya detak jantung.
5. Mendinginnya seluruh tubuh secara umum.
6. Merapatnya betis kanan dengan betis kiri, dan sebaliknya berdasarkan firman Allah : “Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan).” (QS. al-Qiyamah: 29)

Apa yang harus kita lakukan setelah kita yakin akan kematiannya?
1. Memejamkan kedua matanya
2. Menutupkan mulutnya
3. Melemaskan tulang-tulang persendian seketika, satu jam setelah kematiannya, untuk memudahkan pemindahan, pemandian dan pengkafanannya.
4. Meletakkan pemberat yang sesuai di atas perutnya agar tidak menggelembung jika tidak disegerakan prosesi pemandiannya.
5. Menutup seluruh lubang tubuh hingga diselenggarakan perawatannya.
6. Mempercepat penyelenggaraan jenazah, berdasarkan sabda Nabi “Bersegeralah kalian (menyelenggarakan) jenazah, jika dia shalih, maka sebuah kebaikan telah kalian ajukan, jika selain itu maka sebuah keburukan yang kalian letakkan dari leher-leher kalian.” (HR. Bukhari)
7. Bersegera membayarkan hutangnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda:”Jiwa seorang mukmin tergadaikan oleh hutangnya hingga dilunasi.” (HR. Turmudzi)

Khusnul khatimah dan tanda-tandanya:
1. Hadits pertama dari Mu’adz, dia berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa akhir ucapannya di dunia ini adalah Laa Ilaha Ilallah, dia masuk sorga.” (HR. Abu Dawud, dan al-Hakim)
2. Hadits kedua dari Buraidah ibn Hushaib dia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: “Kematian seorang mukmin (ditandai dengan) keringat di dahi.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Turmudzi dan lainnya)
3. Hadits ketiga dari Abdullah ibn ‘Amr, dia berkata, Rasulullah bersabda: “Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal pada hari jum’at atau malam jum’at melainkan dia akan dibebaskan dari siksa kubur.” (HR. Turmudzi)
4. Dan di antara tanda khusnul khatimah adalah mati di saat menjalankan keta’atan kepada Allah dan rasul-Nya, seperti meninggal dalam keadaan shalat, atau puasa, atau haji, umrah atau dalam keadaan berjihad di jalan Allah atau dalam dakwah kepada Allah. Dan barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, Dia akan memberinya taufik untuk beramal shalih kemudian mencabut nyawanya.
5. Pujian baik oleh sekumpulan kaum muslimin atasnya, berdasarkan hadits Anas, dia berkata, (Para sahabat) pernah melewati sebuah jenazah, kemudian mereka memuji kebaikan atasnya. Maka Nabi bersabda: “Wajib.” Kemudian mereka melewati sebuah jenazah yang lain, lalu mereka mengutarakan keburukannya. Maka Nabi bersabda: “Wajib.” Maka Umar berkata: “Apa yang wajib?” Beliau bersabda:
“Yang ini kalian menyebut baik atasnya, maka wajib baginya sorga, sementara yang itu kalian menyebut buruk atasnya maka wajib baginya neraka, kalian adalah saksi Allah di bumi-Nya.” (HR. Bukhari Muslim)
6. Tanda-tanda yang bisa dilihat dari si mayit setelah kematiannya:
a. Senyuman di wajah
b. Terangkatnyajari telunjuk, yang menunjukkan syahadat tauhid
c. Bersinar, dan bercahayanya wajah karena kegembiraan menerima kabar gembira yang didengarnya dari malaikat maut.

Adapun tanda su’ul khatimah banyak dan bermacam-macam, di antaranya:
1. Mati di atas kesyirikan, atau meninggalkan shalat dengan meremehkan perintah-perintah Allah dan rasul-Nya, begitupula mereka yang mati saat mendengarkan nyanyian (musik), suara seruling, sinema, atau film komedi, dan mereka yang mati di atas perbuatan-perbuatan keji secara umum, begitupula yang mati dengan khamr (miras) dan narkoba.
2. Di antara tanda yang tampak pada mayat setelah kematiannya adalah; murung, gelap dan menghitamnya wajah, karena kengerian yang dirasakan saat mendengar berita buruk tentang murka Allah dari malaikat maut. Kadang-kadang warna hitam ini menyelimuti seluruh tubuh -wal ‘iyadzu billah-.

Saya nasihatkan kepada orang-orang yang sembrono dalam menunaikan ibadah shalat —terutama yang meninggalkannya— agar segera bertaubat kepada Allah, dan segera menjaga shalat tersebut hingga mendapatkan kekhusyu’an di dalamnya. Dikarenakan shalat adalah tiang agama Islam, dan sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat sebagaimana suri tauladan dan Nabi kita Muhammad telah mengajarkan: “Perjanjian antara kita dan mereka (orang-orang munafik) adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkannya, dia telah kufur.” (HR. Ahmad dan Malik)

Shalat adalah sebenar-benar perisai bagi pelakunya, dialah pencegah dari perbuatan keji dan munkar, Allah berfirman : “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)

Maka di manakah anda —mudah-mudahan Allah menjaga anda- dari perisai ini?! Di manakah anda dari sungai yang akan menghapus dosa-dosa anda sebanyak lima kali dalam sehari semalam ini? Bertaubatlah saudaraku sekarang juga, sebelum hilangnya kesempatan! Dan sebelum datangnya malaikat maut secara tiba-tiba. Dikarenakan panen dari sesuatu yang telah engkau tanam di dunia dimulai saat malaikat maut memerintahkan ruh untuk keluar darimu. Maka bercocok tanamlah kebaikan, engkau akan senang dengan hasilnya!

Adapun orang yang berpaling dari kebaikan ini, dan dia meninggalkan shalat, maka tanda-tanda su’ul khatimahnya adalah hitam yang menyelimuti seluruh tubuhnya saat jenazahnya dimandikan. Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.

(Abdurrahman ibn Abdil Ghaits; dalam Kitab Al-Wajiz fi Tajhizil Jinazah)

Disalin oleh oryza dari Qiblati edisi 02 tahun 02

05 Juli 2009

Macam-Macam Bid’ah di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan barakah dan penuh dengan keutamaan. Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyariatkan dalam bulan tersebut berbagai macam amalan ibadah yang banyak agar manusia semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Akan tetapi sebagian dari kaum muslimin berpaling dari keutamaan ini dan membuat cara-cara baru dalam beribadah. Mereka lupa firman Allah ta’ala, “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian.” (QS. Al-Maidah: 3). Mereka ingin melalaikan manusia dari ibadah yang disyariatkan. Mereka tidak merasa cukup dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.

Oleh sebab itu pada tulisan ini kami mencoba mengangkat beberapa amalan bid’ah yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin, yaitu amalan-amalan yang dilakukan akan tetapi tidak diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau, semoga dengan mengetahuinya kaum muslimin bisa meninggalkan perbuatan tersebut.

Bid’ah Berzikir Dengan Keras Setelah Salam Shalat Tarawih

Berzikir dengan suara keras setelah melakukan salam pada shalat tarawih dengan dikomandani oleh satu suara adalah perbuatan yang tidak disyariatkan. Begitu pula perkataan muazin, “assholaatu yarhakumullah” dan yang semisal dengan perkataan tersebut ketika hendak melaksanakan shalat tarawih, perbuatan ini juga tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula oleh para sahabat maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Oleh karena itu hendaklah kita merasa cukup dengan sesuatu yang telah mereka contohkan. Seluruh kebaikan adalah dengan mengikuti jejak mereka dan segala keburukan adalah dengan membuat-buat perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari mereka.

Membangunkan Orang-Orang untuk Sahur

Perbuatan ini merupakan salah satu bid’ah yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah memerintahkan hal ini. Perbedaan tata-cara membangunkan sahur dari tiap-tiap daerah juga menunjukkan tidak disyariatkannya hal ini, padahal jika seandainya perkara ini disyariatkan maka tentunya mereka tidak akan berselisih.

Melafazkan Niat

Melafazkan niat ketika hendak melaksanakan puasa Ramadhan adalah tradisi yang dilakukan oleh banyak kaum muslimin, tidak terkecuali di negeri kita. Di antara yang kita jumpai adalah imam masjid shalat tarawih ketika selesai melaksanakan shalat witir mereka mengomandoi untuk bersama-sama membaca niat untuk melakukan puasa besok harinya.

Perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak di contohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga orang-orang saleh setelah beliau. Yang sesuai tuntunan adalah berniat untuk melaksanakan puasa pada malam hari sebelumnya cukup dengan meniatkan dalam hati saja, tanpa dilafazkan.

Imsak

Tradisi imsak, sudah menjadi tren yang dilakukan kaum muslimin ketika ramadhan. Ketika waktu sudah hampir fajar, maka sebagian orang meneriakkan “imsak, imsak…” supaya orang-orang tidak lagi makan dan minum padahal saat itu adalah waktu yang bahkan Rasulullah menganjurkan kita untuk makan dan minum. Sahabat Anas meriwayatkan dari Zaid bin Sabit radhiyallahu ‘anhuma, “Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat. Maka kata Anas, “Berapa lama jarak antara azan dan sahur?”, Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca ayat al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menunda Azan Magrib Dengan Alasan Kehati-Hatian

Hal ini bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan kita untuk menyegerakan berbuka. Rasulullah bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari Muslim)

Takbiran

Yaitu menyambut datangnya ied dengan mengeraskan membaca takbir dan memukul bedug pada malam ied. Perbuatan ini tidak disyariatkan, yang sesuai dengan sunah adalah melakukan takbir ketika keluar rumah hendak melaksanakan shalat ied sampai tiba di lapangan tempat melaksanakan shalat ied.

Padusan

Yaitu Mandi besar pada satu hari menjelang satu ramadhan dimulai. Perbuatan ini tidak disyariatkan dalam agama ini, yang menjadi syarat untuk melakukan puasa ramadhan adalah niat untuk berpuasa esok pada malam sebelum puasa, adapun mandi junub untuk puasa Ramadhan tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mendahului Puasa Satu Hari Atau Dua Hari Sebelumnya

Rasulullah telah melarang mendahului puasa ramadhan dengan melakukan puasa pada dua hari terakhir di bulan sya’ban, kecuali bagi yang memang sudah terbiasa puasa pada jadwal tersebut, misalnya puasa senin kamis atau puasa dawud. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mendahului puasa ramadhan dengan melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi yang terbiasa melakukan puasa pada hari tersebut maka tidak apa-apa baginya untuk berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perayaan Nuzulul Qur’an

Yaitu melaksanakan perayaan pada tanggal 17 Ramadhan, untuk mengenang saat-saat diturunkannya al-Qur’an. Perbuatan ini tidak ada tuntunannya dari praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para sahabat sepeninggal beliau.

Berziarah Kubur Karena Ramadhan

Tradisi ziarah kubur menjelang atau sesudah ramadhan banyak dilakukan oleh kaum muslimin, bahkan di antara mereka ada yang sampai berlebihan dengan melakukan perbuatan-perbuatan syirik di sana. Perbuatan ini tidak disyariatkan. Ziarah kubur dianjurkan agar kita teringat dengan kematian dan akhirat, akan tetapi mengkhususkannya karena even tertentu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah maupun para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.

Inilah beberapa bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, khususnya di negeri kita, semoga Allah ta’ala memberikan kita ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa meninggalkan perkara-perkara tersebut dan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

***

Penulis: Abu Sa’id Satria Buana
Muroja’ah: Ustadz Abu Salman
Artikel www.muslim.or.id

HUKUM IKUT SERTA DALAM PARLEMEN

Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bagaimana hukum ikut serta dalam majelis umat (parlemen) dan majelis sejenis yang ada di negeri- negeri Islam yang kadang-kadang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah?

Jawaban.
Yang saya yakini, bahwa setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara jelas dan juga tidak mengamalkan hukum-hukum Allah tersebut, maka tidak boleh bagi seorang muslim ikut serta menjadi anggota pada majelis negara tersebut ataupun parlemennya.

Oleh karena itu saya berpendapat bahwa tidak ada manfaatnya bagi kaum muslimin untuk ikut serta dalam hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, terutama untuk masa depan mereka yang panjang.

Karena dampak keikutsertaan ini tidak memberikan manfaat secara konkrit, karena biasanya kelompok kecil yang ingin menegakkan syariat ini suaranya hilang tertelan suara-suara kelompok lain yang pada akhirnya mereka tidak memperoleh apa- apa kecuali fitnah bagi diri mereka sendiri.

Mereka ini sering mengatakan bahwa boleh melanggar syariat dalam rangka mencapai maslahat yang besar walaupun dengan melakukan mafsadah (kerusakan) yang kecil, namun kenyataannya tidak ada sedikitpun maslahat yang mereka peroleh; tidak besar dan tidak pula kecil.

Praktek ini telah dilakukan oleh sebagian jamaah jamaah Islam di Suria. Mereka ikut serta dalam parlemen Suria, padahal di dalamnya terdapat apa yang dinamakan dengan hukum negara. Akhirnya kaum muslimin tidak mendapatkan manfaat apapun dari keikutsertaan ini kecuali hanya mencari-cari pembenaran terhadap perbuatan yang mereka lakukan dan penyelewengan-penyelewengan yang mereka kerjakan dengan dalih bahwa kemaslahatan umatlah yang menuntut hal itu, serta dengan anggapan bahwa penegakkan hukum-hukum syariat terlalu dini untuk dilaksanakan. Padahal menurut syariat, tidak boleh memberikan loyalitas kepada orang yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah. Dengan keikutsertaan ini, akhirnya mereka mendapat kerugian yang nyata dan tak ada keuntungan sedikitpun yang berarti.

Jika kita menginginkan tegaknya hukum Islam dan berdirinya daulah (negara) Islam, maka wajib bagi kita membentuk masyarakat Islam. Dari masyarakat Islam inilah akan tegak hukum Islam. Dan tegaknya hukum Islam menurut logika pasti berawal dari masyarakat Islam.

Saya sangat yakin bahwa perjuangan keras yang dilakukan selama setengah abad lebih oleh jamaah-jamaah Islam tidak mungkin akan berakhir dengan sia-sia. Tapi kenyataannya perjuangan mereka yang sangat panjang berakhir dengan kegagalan seperti debu yang beterbangan. Kenapa ini terjadi? Karena mereka berjuang menegakkan daulah Islam tapi dengan cara yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Kalian mengetahui berapa lama Rasulullah tinggal di Makkah, berdakwah, menanamkan benih-benih tauhid dalam hati mereka yang sekian lama berkubang dalam kesyirikan dan kekafiran kepada Allah subhana wa ta'ala.

Kemudian tatkala Allah mengizinkan beliau untuk hijrah ke Madinah, disana mulailah beliau menancapkan tonggak-tonggak untuk berdirinya daulah Islam.

Menjadi tugas kita hari ini untuk merealisasikan dua hal yang saya namai dengan tashfiyyah (pemurnian) dan tarbiyah (pembinaan). Kami mengajak para dai-dai Islam untuk mengatasi perselisihan yang terjadi antara mereka di dalam manhaj (cara beragama) dan prakteknya dengan cara berlandaskan dua hal tersebut.

Maksud dari tashfiyyah adalah: Kita murnikan Islam dari segala sesuatu yang masuk ke dalam Islam, yang jumlahnya terlalu banyak untuk disebut. Dan ini membutuhkan kerja teramat keras dari para ahli ilmu (untuk memurnikannya kembali).

Kita bersihkan Islam ini dari aqidah-aqidah yang bertentangan dengan Islam. Kita bersihkan kitab-kitab sunnah dari hadits-hadits yang dhaif dan palsu. Kita bersihkan kitab-kitab tafsir dari Israiliyat yang merusak. Kita bersihkan fiqih dari hukum-hukum (yang keliru) yang senantiasa masih diikuti oleh banyak ulama. Kita bersihkan kitab-kitab akhlaq, perilaku dari penyimpangan-penyimpangan dan seterusnya.

Termasuk hal yang memprihatinkan adalah banyak ulama yang lupa atau mungkin berpura-pura lupa bahwa keadaan Islam hari ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Islam di masa awal (zaman shahabat). Mereka menduga bahwa jika kita berusaha menegakkan hukum Islam maka undang-undang dan peraturan telah tersedia dengan apa yang telah kita miliki saat ini berupa kitab-kitab. Padahal sering kami sebutkan bahwa kitab-kitab ini di dalamnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan terhadap syari'ah.

Sebagai contoh saya sebutkan, bahwa seorang dai Islam yang telah berpulang ke rahmatullah telah menulis sebuah kitab tentang undang-undang Islam. la menyebutkan di dalamnya permasalahan-permasalahan yang diambil dari madzhab Hanafy. Padahal ia belum mempelajari fiqih secara sunnah, atau sekurang-kurangnya ia belum menyertakan sunnah yang shahih dalam dirasah-nya terhadap madzhab Hanafi.

la menyebutkan dalam undang-undang ini bahwa jika telah tegak hukum Islam pada hari ini maka boleh bagi seorang hakim muslim membunuh seorang muslim yang membunuh orang kafir. Padahal ini jelas bertentangan dengan hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari:

"Tidaklah seorang muslim dibunuh, disebabkan (ia telah membunuh) seorang kafir."

Ini adalah sebuah contoh singkat yang menerangkan kepada kita bahwa seandainya kita telah menegakkan hukum Islam dan kita mengumumkan hal itu, maka kita tetap tidak akan sanggup menerapkan hukum secara utuh dan benar. Kenapa? Karena orang yang tidak mempunyai sesuatu, tidak akan bisa memberikan sesuatu.[1]

Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa mereka bukan hanya mengambil sumber dari 4 madzhab dengan alasan persatuan saja tapi mereka juga mengambil sumber dari madzhab syi 'ah.

Mungkin kalian mendengar apa yang terjadi di Mesir sejak beberapa tahun yang lalu; apa yang mereka sebut dengan pendekatan antar madzhab, dan yang mereka maksudkan adalah pendekatan antara madzhab ahlus-sunnah dan madzhab syi'ah.

Akibatnya sebagian mereka (ahlus-sunnah) menjadi kesyi'ah-syi'ahan, dan terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran syi'ah. Dan anehnya tidak ada seorang syi 'ah-pun yang terpengaruh secara mutlak dengan ahlus-sunnah.

Lebih parah lagi, mereka juga mengambil pendapat-pendapat madzhab zaidiyyah, serta me-ruju' kepada kitab-kitab mereka. Sebagian ulama di universitas Damaskus dalam beberapa program-programnya berpedoman dengan kitab Musnad Zaid. Padahal Musnad Zaid menurut ulama ahlus sunnah diriwayatkan oleh seorang pendusta dan pemalsu (hadits).

Semua hal ini terjadi karena disebabkan tidak adanya pelaksanaan pokok pertama, yaitu tashfiyyah (pemurnian), yang selanjutnya diteruskan dengan pokok kedua yaitu tarbiyah.

Dan saat ini saya melihat masalah besar yang melanda sebagian salafiyyun yang telah Allah berikan nikmat berupa petunjuk kejalanNya yang lurus, yaitu mengikuti Al Kitab dan Sunnah, akan tetapi sava melihat satu kekurangan pada diri ikhwan-ikhwan kita, salafivvin, di berbagai negeri Islam, yaitu ketika mereka lebih lebih mementingkan masalah tashfiyyah (pemurnian) daripada tarbivah (pembinaan), sehingga kita lihat penyimpanaan-penyimpangan dalam akhlaq dan mu'amalah (pergaulan mereka)[2]. Maka kitapun akhirnya hidup dengan pembinaan yang sama seperti yang dialami oleh bapak-bapak dan kakek-kakek kita.

Pada prinsipnya kita akan membiarkan perbuatan para penguasa setelah kita menasehati mereka dengan cara yang sesuai dengan kenyataan dan zaman. Dan yang lebih penting kita membina diri kita dan anak-anak kita, yang berarti kita menaburkan benih-benih yang akan tumbuh menjadi cikal bakal tegaknya hukum Islam dan berdirinya daulah Islamiyah.

Adapun mereka yang ridha masuk parlemen yang tidak berdasarkan hukum Allah dan menganggap masuk parlemen itu karena tujuannya untuk mencegah dan mengurangi kejelekan, maka orang-orang seperti ini tidak boleh langsung dikafirkan bahkan ia mungkin mendapat pahala. Akan tetapi kita katakan kepada mereka bahwa masuknya mereka ke dalam parlemen tersebut tidak akan meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang telah ada.

Dan kebanyakan bangsa-bangsa Islam saat ini serta penguasa yang muslim, tidak memahami makna laa ilaaha illallah yang merupakan masalah yang sangat besar. Sayang sekali apabila masalah yang sangat besar ini kita abaikan, sementara kita sibuk membenarkan/meluruskan masalah-masalah hukum saja dan membiarkan kaum muslimin berada dalam kesesatan yang nyata. Karena itu kita harus mengajak kaum muslimin agar mereka memahami syariat mereka, khususnya azas syariat ini yaitu tauhid.

_________________________
Catatan kaki dari penerjemah:

[1] Maksud beliau rahimahullah: Bagaimana mungkin mereka akan menegakkan hukum Islam yang benar sedangkan mereka sendiri tidaklah mengetahui bagaimana hukum Islam yang benar yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah yang shahih -pent.
[2] Garis bawah dan penebalan adalah dari penterjemah, karena menganggap bahwa ucapan beliau rahimahullah tersebut pada saat ini merupakan peringatan yang amat penting bagi kalangan salafiyyin, khususnya yang ada di Indonesia, -pent.-


[Disalin dari buku Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Al-Bani, hal 111-116, Penerjemah Adni Kurniawan, Pustaka At-Tauhid]

WASIAT EMAS BAGI AHLUS SUNNAH PENGIKUT MANHAJ SALAF

Oleh : Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad asy-Syihhi -Hafidhahullahu-


JANGANLAH MENGAMBIL ILMU KECUALI DARI AHLUS SUNNAH
Imam Muhammad bin Sirin pernah berkata : Sesungguhnya ilmu itu adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu.

Beliau juga berkata : "Mereka (salaf/sahabat) dahulu tidak pernah bertanya tentang isnad (silsilah periwayat hadits) tetapi ketika terjadi fitnah mereka berkata : sebutkan kepada kami guru-guru kalian. Lalu dilihat, bila dia Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya, tapi jika ahli bid’ah maka ditolak haditsnya".[1]

Pada saat sebagian mereka yang bertaubat tidak memperdulikan untuk mengenal pokok dan ketentuan ini, mereka menjadi santapan syubhat, dan sasaran permainan orang-orang yang mengaku-ngaku salafi dan punya ilmu, tidaklah seseorang yang mengaku dirinya memiliki ilmu dan (pura-pura) menampakkan hubungannya dengan kibarul ulama Ahlus Sunnah melainkan kamu mendapatkan para pemuda yang baru bertaubat telah duduk mengelilinginya tanpa diteliti hakikat, dan tanpa diperiksa sejarah hidupnya, ketika dia melihat pengikutnya sudah sangat banyak, dan para pendukungnya sudah sangat menyukainya mulailah dia menampakkan apa yang disembunyikannya dan yang diinginkannya, kamu melihatnya mulai menyeru kepada kepemimpinan dalam dakwah, atau kepada persatuan (antar semua golongan-pent), atau yang lainnya dari hal-hal yang menyelisihi pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Pada waktu itulah mereka yang baru bertaubat mulai tampak goncang dan terpecah menjadi dua kelompok atau tiga : kelompok pendukung, kelompok oposisi, dan kelompok yang bingung, sesungguhnya hal ini terjadi karena dua hal :

Pertama :
Tidak adanya keinginan mereka (yang bertaubat) untuk menuntut ilmu yang bermanfaat terutama tentang pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena ilmu merupakan penjaga bagi pemiliknya dari ketergelinciran.

Tidakkah kamu melihat bagaimana ilmu itu bisa menjaga Abi Bakroh Radhiyallahu anhu pada waktu perang Jamal ketika mereka mengangkat Aisyah Ummul mukminin Rodhiyallahu anha maka sebuah hadits yang beliau dengar dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjaganya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda -ketika mendengar kabar matinya Kisra/raja Persi dan pengangkatan anak perempuannya (sebagai ratu-pent) - : Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita, ketika terjadi fitnah beliau ingat hadits ini maka beliau terjaga darinya, yang mana beliau berkata : Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada waktu matinya Kisra, beliau bertanya : siapa yang akan mengantinya?. Mereka menjawab : Anak perempuannya".

Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda : Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita, beliau (Abu Bakroh) berkata : Ketika Aisyah datang ke Bashroh aku ingat sabda Rasulillah Shallallahu alaihi wa sallam ini, maka Allah menjagaku dengannya. [2] .

Kedua.
Tidak merujuk kepada ahli ilmi, padahal seharusnyalah untuk bertanya kepada ahli ilmu atau kepada muridnya dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengenal orang yang ingin diambil darinya ilmunya tersebut. Dan ditanya : Apakah dia itu dari tholibul ilmi as-salafi atau bukan ? apakah dia itu betul-betul belajar ilmu yang benar yang layak untuk diambil ilmunya atau tidak ?

Jika jawabannya tidak, maka selesai perkara -alhamdulillah-, jika jawabannya positif maka ditimba darinya ilmu tanpa adanya fanatik tapi ditempatkan pada kedudukannya yang layak.

Ini adalah point yang sangat penting yaitu membedakan antara ahli ilmi ar-rabbani yang merupakan rujukan dalam masalah-masalah ilmiyah dan dalam masalah (nazilah) yang sedang terjadi seperti dua orang imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani [3]dan Abdul Aziz bin Abdillah Bin Baz [4] rahimahumallahu dan yang masih hidup diantara mereka dari kalangan ulama rabbani seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin [5]. Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan Syaikh kami Muqbil Bin Hadi Al-Waadi’i [6] serta yang setingkat dengan mereka dari kalangan ahli ilmi dan fatwa dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah [7]. Mereka itu memiliki kedudukan masing-masing. Dan antara tholibil ilmi yang dikenal ilmu dan berpegang teguhnya dengan sunnah lewat buku-buku mereka serta pujian ahli ilmi ar-rabbani bagi mereka, mereka itu memiliki kedudukan masing-masing.

Dan yang dibawah mereka dari tholibul ilmu yang dikenal kesalafiyaannya serta kemampuannya dalam mengajar.

_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukaddimah shohihnya.
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari (7099), Nasai (5403) dan Tirmidzi (2365) dan ini adalah lafadz beliau.
[3]. Al-Imam Al-Allamah Al-Mujaddid Al-Muhadits Al-Faqih As-Salafy penolong sunnah dan pembasmi bid’ah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Al-Albani, beliau -rahimahullah- lahir pada tahun 1334 H dan wafat pada 22 Jumadits Tsani 1420 H -pent.
[4]. Mujaddid millah Imam Ahlus Sunnah Samahatusy syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, beliau -rahimahullah- lahir pada bulan Dzulhijjah 1330 H dan wafat pada 27 Muharram 1420 H -pent.
[5] Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah al-faqih al-fadhil az-zahid al-wari Al-Allamah Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin At-Tamimi, beliau lahir pada 27 ramadhan 1347 H dan wafat pada 15 Syawwal 1421H -pent.
[6]. Beliau telah wafat, rahimahullahu
[7]. Tidak lupa juga Fadhilatusy Syaikh Al-Allamah Muhaditsul Madinah dan pengajar di masjid Nabawi Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr Hafidhahullah-pent.

[Dialih bahasakan dari : al-Washayya as-Saniyyah lit-Ta`ibi as-Salafiyyah oleh Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad asy-Syihhi -Hafidhahullahu-, Alih Bahasa : Abu Abdirrahman as-Salafy, Lc, Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyah Edisi 13 Th III Shafar 1426H/April 2005M]

PENJELASAN BAHWA AL-QUR'AN LEBIH MEMBUTUHKAN AS-SUNNAH DARIPADA AS-SUNNAH MEMBUTUHKAN AL-QUR'AN

Oleh : Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi


Diriwayatkan dari Makhul, ia berkata : "Al-Qur'an lebih membutuhkan As-Sunnah daripada As-Sunnah membutuhkan Al-Qur'an", diriwayatkan oleh Said bin Mansur.

Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Katsir, ia berkata : 'As-Sunnah memutuskan (menetapkan) Al-Qur'an dan tidaklah Al-Qur'an memutuskan (menetapkan) As-Sunnah", diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan Said bin Manshur.

Al-Baihaqi berkata : "Maksud dari ungkapan di atas, bahwa kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur'an adalah sebagai yang menerangkan sesuatu yang datang dari Allah, sebagaimana firman Allah.

"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka". [An-Nahl : 44]

Bukan berarti bahwa sesuatu dari As-Sunnah bertentangan dengan Al-Qur'an.

Saya (penulis) mengatakan : "Kesimpulan bahwa maksud Al-Qur'an membutuhkan As-Sunnah adalah bahwa As-Sunnah menerangkan Al-Qur'an, As-Sunnah merinci segala ungkapan yang bersifat umum dalam Al-Qur'an, karena ungkapan dalam Al-Qur'an adalah ringkas dan padat hingga dibutuhkan seseorang yang mengetahui hal-hal yang tersembunyi dalam Al-Qur'an untuk diketahui dan yang mengetahui hal itu tidak lain hanyalah manusia yang diturunkan kepadanya Al-Qur'an yaitu Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah yang dimaksud dari ungkapan bahwa As-Sunnah memutuskan (menetapkan) Al-Qur'an, dan Al-Qur'an diturunkan bukan untuk menerangkan As-Sunnah dan bukan untuk memutuskan (menetapkan) As-Sunnah, karena As-Sunnah sudah jelas dengan sendirinya, karena As-Sunnah belum sampai pada derajat Al-Qur'an dalam hal keringkasan dan dalam hal keajaibannya, karena As-Sunnah merupakan penjelasan Al-Qur'an, dan sesuatu yang menerangkan haris lebih jelas, lebih terang dan lebih mudah daripada yang diterangkan. Wallahu a'lam.

Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Hisyam bin Yahya Al-Makhzumy, bahwa seorang laki-laki dari Tsaqif datang kepada Umar bin Khaththab, ia bertanya kepadanya tentang seorang wanita haidh yang mengunjungi Ka'bah, apakah wanita itu boleh pergi sebelum bersuci ?, maka Umar berkata : "Tidak" lalu laki-laki dari Tsaqif itu berkata kepada Umar : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi fatwa kepadaku dalam hal wanita seperti ini dengan fatwa yang tidak seperti apa yang telah engkau fatwakan", maka Umar memukul laki-laki itu dan berkata : "Mengapa engaku meminta fatwa dariku pada sesuatu yang telah difatwakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".

Diriwayatkan dari Ibnu Khuzaimah, ia berkata : "Tidak boleh seorang berpendapat dengan pendapatnya jika terdapat kabar yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal tersebut".

Diriwayatkan dari Yahya bin Adam, ia berkata :"Tidaklah dibutuhkan pendapat manusia pada suatu masalah jika terdapat sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah itu, dan hendaklah dikatakan bahwa itu adalah Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, agar diketahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dengan ketetapan seperti demikian".

Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata : "Pendapat setiap orang boleh diambil dan juga boleh ditinggalkan kecuali pendapat (ucapan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".


[Disalin dari buku Mifthul Jannah fii Al-Ihtijaj bi As-Sunnah, edisi Indonesia KUNCI SURGA Menjadikan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam Sebagai Hujjah, oleh Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi terbitan Darul Haq, hal 94-96, penerjemah Amir Hamzah Fachruddin]

Nomer Surat dalam Al Qur'an berdasarkan urutan waktu turunnya wahyu.

No. Surat No surat. Jumlah ayat. Kategori
_____________________________________________________________
1. Al 'Alaq 96 19 Makiyah
2. Al Qalam 68 52 Makiyah
3. Al Muzzammil 73 20 Makiyah
4. Al Muddatstsir 74 56 Makiyah
5. Al Faatihah 1 7 Makiyah
6. Al Lahab 111 5 Makiyah
7. At Takwir 81 29 Makiyah
8. Al A'laa 87 19 Makiyah
9. Al Lail 92 21 Makiyah
10. Al Fajr 89 30 Makiyah
11. Adh Dhuhaa 93 11 Makiyah
12. Al Insyirah 94 8 Makiyah
13. Al 'Ashr 103 3 Makiyah
14. Al 'Aadiyaat 100 11 Makiyah
15. Al Kautsar 108 3 Makiyah
16. At Takaatsur 102 8 Makiyah
17. Al Maa'uun 107 7 Makiyah
18. Al Kaafiruun 109 6 Makiyah
19. Al Fiil 105 5 Makiyah
20. Al Falaq 113 5 Makiyah
21. An Naas 114 6 Makiyah
22. Al Ikhlas 112 4 Makiyah
23. An Najm 53 62 Makiyah
24. 'Abasa 80 42 Makiyah
25. Al Qadr 97 5 Makiyah
26. Asy Syams 91 15 Makiyah
27. Al Buruuj 85 22 Makiyah
28. At Tiin 95 8 Makiyah
29. Al Quraisy 106 4 Makiyah
30. Al Qaari'ah 101 11 Makiyah
31. Al Qiyaamah 75 40 Makiyah
32. Al Humazah 104 9 Makiyah
33. Al Mursalat 77 50 Makiyah
34. Qaaf 50 45 Makiyah
35. Al Balad 90 20 Makiyah
36. Ath Thaariq 86 17 Makiyah
37. Al Qamar 54 55 Makiyah
38. Shaad 38 88 Makiyah
39. Al A'raaf 7 75 Makiyah
40. Al Jin 72 28 Makiyah
41. Yaa siin 36 83 Makiyah
42. Al Furqaan 25 77 Makiyah
43. Faathir 35 45 Makiyah
44. Maryam 19 98 Makiyah
45. Thaahaa 20 135 Makiyah
46. Al Waaqi'ah 56 96 Makiyah
47. Asy Syu'araa' 26 227 Makiyah
48. An Naml 27 93 Makiyah
49. Al Qashash 28 88 Makiyah
50. Al Israa' 17 111 Makiyah
51. Yunus 10 109 Makiyah
52. Huud 11 123 Makiyah
53. Yusuf 12 111 Makiyah
54. Al Hijr 15 99 Makiyah
55. Al An'aam 6 165 Makiyah
56. Ash Shaaffaat 37 182 Makiyah
57. Luqman 31 34 Makiyah
58. Saba' 34 54 Makiyah
59. Az Zumar 39 75 Makiyah
60. Al Mu'min 40 85 Makiyah
61. Fush shilat 41 54 Makiyah
62. Asy Syuraa 42 53 Makiyah
63. Az Zukhruf 43 89 Makiyah
64. Ad Dukhaan 44 59 Makiyah
65. Al Jaatsiyah 45 37 Makiyah
66. Al Ahqaaf 46 35 Makiyah
67. Adz Dzaariyaat 51 60 Makiyah
68. Al Ghaasyiyah 88 26 Makiyah
69. Al Kahfi 18 110 Makiyah
70. An Nahl 16 128 Makiyah
71. Nuh 71 28 Makiyah
72. Ibrahim 14 52 Makiyah
73. An Anbiyaa' 21 112 Makiyah
74. Al Mu'minun 23 118 Makiyah
75. As Sajdah 32 30 Makiyah
76. Ath Thuur 52 49 Makiyah
77. Al Mulk 67 30 Makiyah
78. Al Haaqah 69 52 Makiyah
79. Al Ma'aarij 70 44 Makiyah
80. An Nabaa' 78 40 Makiyah
81. An Naazi'aat 79 46 Makiyah
82. Al Infithaar 82 19 Makiyah
83. Al Insiqaaq 84 25 Makiyah
84. Ar Ruum 30 60 Makiyah
85. Al 'Ankabuut 29 69 Makiyah
86. Al Muthaffifiin 83 36 Makiyah
87. Al Baqarah 2 286 Madaniyah
88. Al Anfaal 8 75 Madaniyah
89. Ali 'Imran 3 200 Madaniyah
90. Al Ahzab 33 73 Madaniyah
91. Al Mumtahanah 60 13 Madaniyah
92. An Nisaa' 4 176 Madaniyah
93. Az Zalzalah 99 8 Madaniyah
94. Al Hadiid 57 29 Madaniyah
95. Muhammad 47 38 Madaniyah
96. Ar Ra'd 13 43 Madaniyah
97. Ar Rahmaan 55 78 Madaniyah
98. Al Insaan 76 31 Madaniyah
99. Ath Thalaaq 65 12 Madaniyah
100. Al Bayyinah 98 8 Madaniyah
101. Al Hasyr 59 24 Madaniyah
102. An Nuur 24 64 Madaniyah
103. Al Hajj 22 78 Madaniyah
104. Al Munaafiquun 63 11 Madaniyah
105. Al Mujaadilah 58 22 Madaniyah
106. Al Hujuraat 49 18 Madaniyah
107. At Tahriim 66 12 Madaniyah
108. At Taghaabun 64 18 Madaniyah
109. Ash Shaff 61 14 Madaniyah
110. Al Jumu'ah 62 11 Madaniyah
111. Al Fath 48 29 Madaniyah
112. Al Maa-idah 5 120 Madaniyah
113. At Taubah 9 129 Madaniyah
114. An Nashr 110 3 Madaniyah

SOAL JAWAB TAUHID & AQIDAH

Oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.


Tanya : Siapakah Rabbmu?
Jawab : Rabbku adalah Allah yang telah memeliharaku dan memelihara seluruh alam dengan segala nikmat-Nya. Dia lah sesembahanku, tidak ada bagiku sesembahan selain-Nya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”

Tanya : Apakah makna kata Rabb?
Jawab : Yang menguasai dan yang mengatur, dan hanya Dia (Allah) yang berhak untuk diibadahi

Tanya : Apa makna kata Allah?
Jawab : Yaitu yang memiliki sifat ketuhanan dan berhak diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya

Tanya : Dengan apa kamu mengenal Rabbmu?
Jawab : Dengan memperhatikan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya

Tanya : Makhluk apakah yang terbesar yang bisa kamu lihat di antara makhluk ciptaan-Nya?
Jawab : Langit dan bumi

Tanya : Apakah ayat (tanda kekuasaan)-Nya yang paling besar?
Jawab : Malam dan siang, matahari dan bulan

Tanya : Apakah dalil atas hal itu?
Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Allah menutupkan malam kepada siang dan mengikutinya dengan cepat, matahari dan bulan serta bintang-bintang semuanya ditundukkan dengan perintah-Nya. Ingatlah, sesungguhnya penciptaan dan pemberian perintah adalah hak-Nya, Maha berkah Allah Rabb seluruh alam.” (QS. al-A’raf : 54).

Tanya : Untuk apakah Allah menciptakan kita?
Jawab : Untuk beribadah kepada-Nya

Tanya : Apa yang dimaksud beribadah kepada-Nya?
Jawab : Mentauhidkan Allah dan menaati-Nya

Tanya : Dalam hal apa kita menaati-Nya?
Jawab : Kita taati perintah-Nya dan kita jauhi segala yang dilarang-Nya kepada kita

Tanya : Apa dalil untuk hal itu?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56).

Tanya : Apa makna ’supaya mereka beribadah kepada-Ku’?
Jawab : Maknanya adalah agar mereka mentauhidkan Allah

Tanya : Apa yang dimaksud dengan tauhid?
Jawab : Tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah

Tanya : Apakah perkara terbesar yang dilarang Allah untuk kita?
Jawab : Perkara terbesar yang dilarang Allah adalah syirik yaitu berdoa kepada selain Allah [saja] atau berdoa kepada selain-Nya di samping berdoa kepada-Nya.

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya (dalam beribadah) dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’ : 36).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan ibadah?
Jawab : Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi

Tanya : Apa sajakah yang termasuk macam-macam ibadah?
Jawab : Ibadah itu banyak jenisnya, di antaranya adalah : doa, takut, harap, tawakal, roghbah (keinginan), rohbah (kekhawatiran), khusyu’, khas-yah (takut yang dilandasi ilmu), inabah (taubat), isti’anah (meminta pertolongan), isti’adzah (meminta perlindungan), istighotsah (meminta keselamatan dari bahaya), menyembelih, nadzar, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya.

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Seluruh masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyeru bersama-Nya sesuatu pun.” (QS. al-Jin : 18).

Tanya : Apa hukum bagi orang yang mengalihkan ibadah kepada selain Allah?
Jawab : Orang yang melakukannya dihukumi musyrik dan kafir

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang menyeru bersama Allah sesembahan yang lain padahal tidak ada bukti baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun : 117).

Tanya : Perkara apakah yang diwajibkan pertama kali oleh Allah kepada kita?
Jawab : Yaitu mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah

Tanya : Apa yang dimaksud dengan thaghut?
Jawab : Segala sesuatu yang menyebabkan hamba melampaui batas, yang berupa sesembahan, orang yang diikuti atau sosok yang ditaati, maka dia adalah thaghut

Tanya : Ada berapakah thaghut itu?
Jawab : Jumlah mereka banyak, namun pembesarnya ada lima : Iblis -semoga Allah melaknatnya-, orang yang diibadahi dan ridha dengan hal itu, orang yang menyeru orang lain untuk beribadah kepada dirinya, orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, dan orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak ada paksaan dalam agama, sungguh telah jelas antara petunjuk dengan kesesatan. Barangsiapa yang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia telah berpegang dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus, Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 256).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan Urwatul Wutsqa (buhul tali yang sangat kuat)?
Jawab : Maksudnya adalah laa ilaha illallah

Tanya : Apa makna laa ilaha illallah?
Jawab : Laa ilaha adalah penolakan, sedangkan illallah adalah penetapan

Tanya : Apa yang ditolak dan apa yang ditetapkan?
Jawab : Aku menolak segala sesembahan selain Allah dan aku tetapkan bahwa seluruh jenis ibadah harus ditujukan kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; sesungguhnya aku berlepas diri dari semua sesembahan kalian kecuali dari Dzat yang telah menciptakanku, sesungguhnya Dia pasti menunjuki diriku. Dan Allah menjadikan kalimat itu tetap ada pada keturunannya (Ibrahim) semoga mereka mau kembali (kepada kebenaran).” (QS. az-Zukhruf : 26-28).

Tanya : Apakah agamamu?
Jawab : Agamaku Islam, yaitu menyerahkan diri kepada Allah dengan bertauhid, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanya Islam.” (QS. Ali Imran : 19). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat nanti dia pasti termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran : 85).

Tanya : Ada berapakah rukun Islam?
Jawab : Ada lima; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke rumah Allah yang suci jika memiliki kemampuan.

Tanya : Apakah dalil syahadat laa ilaha illallah?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, demikian pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dengan menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran : 18).

Tanya : Apakah dalil syahadat anna Muhammadar rasulullah?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sekali-kali Muhammad itu bukanlah ayah salah seorang lelaki di antara kalian, namun dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab : 40).

Tanya : Apa makna syahadat anna Muhammadar rasulullah?
Jawab : Maknanya adalah menaati perintahnya, membenarkan beritanya, menjauhi segala larangannya, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’atnya

Tanya : Apakah dalil sholat, zakat serta tafsir dari tauhid?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan penuh ikhlas melakukan amal karena-Nya (tanpa disertai kesyirikan), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah : 5)

Tanya : Apakah dalil puasa?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah : 183).

Tanya : Apakah dalil haji?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wajib bagi umat manusia untuk menunaikan ibadah haji ke baitullah karena Allah, yaitu bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kufur maka sesungguhnya Allah Maha kaya dan tidak membutuhkan seluruh alam.” (QS. Ali Imran : 97).

Tanya : Apakah pondasi ajaran dan kaidah dalam agama Islam?
Jawab : Ada dua perkara : [Pertama] adalah perintah untuk beribadah kepada Allah semata dan memotivasi manusia untuk melakukannya, membangun loyalitas di atasnya dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya (tidak beribadah kepada Allah). [Perkara Kedua] adalah memperingatkan manusia dari kesyirikan dalam hal ibadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bersikap keras dalam hal itu (mengingkari syirik), membangun permusuhan di atasnya, dan mengakfirkan orang yang melakukannya (kemusyrikan).

Tanya : Ada berapakah rukun iman?
Jawab : Ada enam; yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik dan yang buruk

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Bukanlah kebaikan itu kamu memalingkan wajahmu ke arah timur ataupun barat, akan tetapi yang disebut kebaikan adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab, dan para nabi.” (QS. al-Baqarah : 177).

Tanya : Apakah dalil iman kepada takdir?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan ukuran/takdir.” (QS. al-Qamar : 49).

Tanya : Apa yang dimaksud ihsan?
Jawab : Ihsan terdiri dari satu rukun yaitu; kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya dan jika kamu tidak bisa maka yakinlah bahwa Dia senantiasa melihatmu

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah akan bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. an-Nahl : 128).

Tanya : Siapakah Nabimu?
Jawab : Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim, sedangkan Hasyim berasal dari keturunan Quraisy, Quraisy dari bangsa Arab, sedangkan Arab merupakan keturunan Nabi Ismail putra Ibrahim al-Khalil (kekasih Allah) semoga shalawat dan salam yang paling utama tercurah kepadanya dan kepada nabi kita.

Tanya : Berapakah umur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab : Enam puluh tiga tahun; empat puluh tahun sebelum diangkat menjadi nabi dan dua puluh tiga tahun sebagai nabi dan rasul

Tanya : Dengan apakah beliau diangkat menjadi Nabi? Dan dengan apa diangkat sebagai rasul?
Jawab : Beliau diangkat menjadi Nabi dengan turunnya Iqra’ dan diangkat sebagai rasul dengan turunnya al-Muddatstsir

Tanya : Di manakah negerinya?
Jawab : Beliau berasal dari Mekah lalu berhijrah ke Madinah, dan kemudian beliau wafat di sana -semoga shalawat dari Allah dan keselamatan senantiasa tercurah kepadanya- setelah Allah sempurnakan agama dengan mengutus beliau (beserta ajarannya).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan hijrah?
Jawab : Berpindah dari negeri syirik menunju negeri Islam, sementara hijrah itu tetap berlaku hingga tegaknya hari kiamat

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat itu dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. Maka malaikat bertanya kepadanya; Di manakah dulu kalian berada? Mereka menjawab; Kami dulu berada dalam keadaan tertindas dan lemah di muka bumi. Mereka berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di atasnya? Mereka itulah orang-orang yang tempat kembalinya adalah neraka Jahannam dan sungguh neraka itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’ : 97).

Tanya : Apakah dalilnya dari Sunnah (Hadits)?
Jawab : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah terputus hijrah sampai taubat terputus, dan tidak akan terputus [kesempatan] bertaubat hingga matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan ad-Darimi).

Tanya : Apakah Rasul masih hidup atau sudah mati?
Jawab : Beliau telah meninggal sedangkan agamanya masih tetap ada hingga hari kiamat tiba

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya kamu pasti mati dan mereka pun akan mati, kemudian nanti pada hari kiamat di sisi Rabb kalian maka kalian pun akan saling bermusuhan.” (QS. az-Zumar : 31).

Tanya : Apakah setelah mati manusia akan dibangkitkan?
Jawab : Iya, benar

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dari tanah itulah Kami ciptakan kalian dan kepadanya kalian Kami kembalikan, dan dari dalamnya Kami akan mengeluarkan kalian untuk kedua kalinya.” (QS. Thaha : 55).

Tanya : Apakah hukum orang yang mendustakan hari kebangkitan?
Jawab : Orang yang melakukan hal itu adalah kafir

Tanya : Apakah dalilnya?
Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Orang-orang kafir itu mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan lagi, katakanlah; sekali-kali tidak, demi Rabbku, kalian benar-benar akan dibangkitkan kemudian akan dikabarkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan [di dunia], dan hal itu bagi Allah sangatlah mudah.” (QS. at-Taghabun : 7).

______________________________

Diterjemahkan dari :
Maa yajibu ‘alal muslim ma’rifatu wal ‘amalu bihi
Oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi rahimahullah
Dengan pengantar Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Alu Jarullah

Sumber : Akh Ari Wahyudi
www.abu0mushlih.wordpress.com

BACAAN AL-FATIHAH ATAS ORANG YANG TELAH MENINGGAL

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Membacakan Al-fatihah atas orang yang telah meninggal tidak saya dapatkan adanya nash hadits yang membolehkannya. Berdasarkan hal tersebut maka tidak diperbolehkan membacakan Al-Fatihah atas orang yang sudah meninggal. Karena pada dasarnya suatu ibadah itu tidak boleh dikerjakan hingga ada suatu dalil yang menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut dan bahwa perbuatan itu termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalilnya adalah bahwasanya Allah mengingkari orang yang membuat syari’at dan ketentuan dalam agama Allah yang tidak dizinkanNya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah. Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih” [Asy-Sura : 21]

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya belaiu bersabda.

“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak”[1]

Apabila tertolak maka termasuk perbuatan batil yang tidak ada manfaatnya. Allah berlepas dari ibadah untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan cara demikian.

Adapun mengupah orang untuk membacakan Al-Qur’an kemudian pahalanya diberikan untuk orang yang telah meninggal termasuk perbuatan haram dan tidak diperbolehkan mengambil upah atas bacaan yang dikerjakan. Barangsiapa mengambil upah atas bacaan yang dilakukannya maka ia telah berdosa dan tidak ada pahala baginya, karena membaca Al-Qur’an termasuk ibadah, dan suatu ibadah tidak boleh dipergunakan sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan duniawi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“ Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan” [Huud : 15]

[Nur ‘Alad Darbi, Juz I, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]
______________________

BACAAN AL-FATIHAH UNTUK KEDUA ORANG TUA

Oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Membacakan surat Al-Fatihah untuk kedua orang tua yang telah meninggal atau yang lain merupakan perbuatan bid’ah karena tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya Al-Fatihah boleh dibacakan untuk orang yang meninggal atau arwah mereka, baik itu orang tuanya atau orang lain. Yang disyariatkan adalah mendo’akan bagi kedua orang tua dalam shalat dan sesudahnya, memohonkan ampunan dan maghfirah bagi keduanya dan sejenisnya yang termasuk doa yang bisa bermanfaat bagi yang sudah meninggal.

[Nur ‘Alad Darbi, Juz III, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]
_______________________

MENGUPAH QARI’ UNTUK MEMBACA AL-QUR’AN

Oleh :Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Mengupah seorang qari’ untuk membacakan Al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal termasuk bid’ah dan makan harta manusia dengan tidak benar. Karena bila seorang qari’ membacakan Al-Qur’an dengan tujuan untuk mendapatkan upah atas bacaannya, maka perbuatannya termasuk kebatilan, karena ia menginginkan harta dan kehidupan dunia dari perbuatannya tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Huud : 15-16]

Perkara ibadah -termasuk membaca Al-Qur’an- tidak boleh dilakukan dengan tujuan duniawi dan mencari harta, akan tetapi harus dilakukan dengan tujuan untuk medekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seorang qari’ yang membaca Al-Qur’an dengan diupah, maka tiada pahala baginya, dan bacaannya tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal. Harta yang dikeluarkan merupakan harta yang sia-sia, tidak bermanfaat. Kalaulah harta itu digunakan untuk suatu sedekah atas nama orang yang meninggal, sebagai ganti dari mengupah seorang qari’, maka inilah perbuatan yang disyariatkan dan bisa mendatangkan suatu manfaat bagi orang yang telah meninggal.

Maka menjadi kewajiban bagi para qari untuk mengembalikan harta yang telah mereka perolah dari manusia sebagai upah atas bacaan yang mereka lakukan atas orang yang telah meninggal, karena menggunakan harta tersebut tergolong makan harta manusia dengan cara tidak benar. Dan hendaknya mereka takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon kepadanya untuk memberikan rizki kepada mereka dengan cara selain cara yang haram tersebut.

Bagi setiap muslim hendaknya tidak makan harta manusia dengan cara yang tidak disyariatkan sedemikian ini. Benar bahwa membaca Al-Qur’an termasuk salah satu ibadah yang utama, barangsiapa membaca satu haruf dari Al-Qur’an maka akan mendapatkan suatu kebaikan, dan suatu kebaikan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat. Tapi itu bagi orang yang niatnya benar dan hanya menginginkan keridhaan Allah semata serta tidak menginginkan suatu tujuan duniawi.

Mengupah seorang qari untuk membacakan Al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal : Pertama : Termasuk perbuatan bid’ah, karena tidak ada dari para salaf shalih yang melakukannya. Kedua : Bahwa perbuatannya termasuk memakan harta manusia dengan cara tidak benar, karena suatu ibadah dan ketaatan tidak boleh mengambil upah karenanya.

[Nur ‘Alad Darbi, Juz III, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]

[Disalin dari kitab 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur’an, Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Penerbit Darul Haq