18 November 2009

UCAPAN YANG PALING DICINTAI ALLAH

Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya;


حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْجِسْرِيِّ مِنْ عَنَزَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُخْبِرُكَ بِأَحَبِّ الْكَلَامِ إِلَى اللَّهِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِأَحَبِّ الْكَلَامِ إِلَى اللَّهِ فَقَالَ إِنَّ أَحَبَّ الْكَلَامِ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ

Abu Bakr bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami; Yahya bin Bukair menuturkan kepada kami dari Syu’bah dari al-Jurairi dari Abu Abdillah al-Jisri dari ‘Anazah dari Abdullah bin Shamit dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku beritahukan kepadamu ucapan yang paling dicintai oleh Allah?”. Maka aku katakan, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku ucapan yang paling dicintai Allah itu.” Beliau pun menjawab, “Sesungguhnya ucapan yang paling dicintai Allah adalah ‘Subhanallahi wa bihamdih’ (Maha suci Allah dan dengan memuji kepada-Nya).” (HR. Muslim [4911] as-Syamilah)

Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya;

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ يَسَافٍ عَنْ رَبِيعِ بْنِ عُمَيْلَةَ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الْكَلَامِ إِلَى اللَّهِ أَرْبَعٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ

Ahmad bin Abdullah bin Yunus menuturkan kepada kami; Zuhair menuturkan kepada kami; Manshur menuturkan kepada kami dari Hilal bin Yasaf dari Rabi’ bin ‘Umailah dari Samurah bin Jundab dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapan yang paling dicintai Allah ada empat; Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaaha illallaah, dan Allaahu akbar…” (HR. Muslim [3985] as-Syamilah)

Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya;

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْجِسْرِيِّ عَنْ ابْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْكَلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَا اصْطَفَى اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ أَوْ لِعِبَادِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ

Zuhair bin Harb menuturkan kepada kami; Habban bin Hilal menuturkan kepada kami; Wuhaib menuturkan kepada kami; Sa’id al-Jurairi menuturkan kepada kami dari Abu Abdillah al-Jisri dari Ibnu as-Shamit dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Ucapan apakah yang paling utama?”. Beliau bersabda, “Yaitu ucapan yang Allah pilih bagi para malaikat-Nya atau untuk hamba-hamba-Nya; ‘Subhanallahi wa bihamdih’.” (HR. Muslim [2910] as-Syamilah)

Imam an-Nasa’i meriwayatkan di dalam as-Sunan al-Kubra;

أَخْبَرَناَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيْدِ بْنِ الاَصْبَهَانِي قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الاَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِي عَنِ الْحَارِثِ بْنِ سُوَيِدٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ الْكَلاَمِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ وَإِنَّ أَبْغَضَ الْكَلاَمِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ اِتَّقِ اللهَ فَيَقُوْلُ عَلَيْكَ نَفْسَكَ

Muhammad bin Yahya bin Muhammad memberitakan kepada kami, dia berkata; Muhammad bin Sa’id bin al-Ashbahani menuturkan kepada kami; Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami dari al-A’masy dari Ibrahim at-Taimi dari al-Harits bin Suwaid dari Abdullah; dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ucapan yang paling dicintai Allah adalah seorang hamba mengucapkan ‘Subhanallahumma wa bihamdika wa tabaarokasmuka wa ta’aala jadduka wa laa ilaaha ghairuka’. Dan sesungguhnya ucapan yang paling Allah benci adalah seseorang yang mengatakan kepada orang lain yang menasihatinya, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah.’ dengan ungkapan, ‘Urusi urusan dirimu sendiri saja.’.” (HR. an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, 6/212. disebutkan pula oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman 650, disahihkan sanadnya oleh al-Albani dalam as-Shahihah [2939] as-Syamilah).

09 November 2009

TIDAK FAHAM MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH DENGAN BAIK?

MAYORITAS KAUM MUSLIMIN SEKARANG INI TIDAK MEMAHAMI MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH DENGAN PEMAHAMAN YANG BAIK

Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Mayoritas kaum muslimin sekarang ini yang telah bersaksi Laa Ilaaha Illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) tidak memahami makna Laa Ilaaha Illallah dengan baik, bahkan barangkali mereka memahami maknanya dengan pemahaman yang terbalik sama sekali. Saya akan memberikan suatu contoh untuk hal itu : Sebagian di antara mereka (Dia adalah Syaikh Muhammad Al-Hasyimi, salah seorang tokoh sufi dari thariqah Asy-Syadziliyyah di Suriah kira-kira 50 tahun yang lalu) menulis suatu risalah tentang makna Laa Ilaaha Illallah, dan menafsirkan dengan "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah" !! Orang-orang musyrik pun memahami makna seperti itu, tetapi keimanan mereka terhadap makna tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

" Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?' Tentu mereka akan menjawab : 'Allah'. " [Luqman : 25].

Orang-orang musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah dan sekutu-sekutu dalam beribadah kepada-Nya. Mereka beriman bahwa Rabb (pengatur dan pencipta) adalah satu (esa), tetapi mereka meyakini bahwa sesembahan itu banyak. Oleh karena itu, Allah membantah keyakinan ini yang disebut dengan ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah melalui firman-Nya :

"Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata) : 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'". [Az-Zumar : 3].

Kaum musyrikin dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa Ilaaha Illallah mengharuskannya untuk berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, menafsirkan kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah ini dengan : "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah". Padahal apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan dia beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik adalah sama secara aqidah, meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena dia mengucapkan lafazh Laa Ilaaha Illallah, sehingga dengan ungkapan ini dia adalah seorang muslim secara lafazh dan secara lahir.

Dan ini termasuk kewajiban kita semua sebagai da'i Islam untuk menda'wahkan tauhid dan menegakkan hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dimana mereka terjerumus kepada apa-apa yang menyalahi Laa Ilaaha Illallah. Berbeda dengan orang-orang musyrik, karena dia enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, sehingga dia bukanlah seorang muslim secara lahir maupun batin. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, mereka orang-orang muslim, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

" Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala". ]Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhum]

Oleh karena itu, saya mengatakan suatu ucapan yang jarang terlontar dariku, yaitu : Sesungguhnya kenyataan mayoritas kaum muslimin sekarang ini adalah lebih buruk daripada keadaan orang Arab secara umum pada masa jahiliyah yang pertama, dari sisi kesalahpahaman terhadap makna kalimat tahyyibah ini, karena orang-orang musyrik Arab dahulu memahami makna Laa Ilaaha Illallah, tetapi mereka tidak mengimaninya. Sedangkan mayoritas kaum muslimin sekarang ini mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini, mereka mengucapkan : 'Laa Ilaaha Illallah' tetapi mereka tidak mengimani -dengan sebenarnya- maknanya. (Mereka menyembah kubur, menyembelih kurban untuk selain Allah, berdo'a kepada orang-orang yang telah mati, ini adalah kenyataan dan hakikat dari apa-apa yang diyakini oleh orang-orang syi'ah rafidhah, shufiyah, dan para pengikut thariqah lainnya, berhaji ke tempat pekuburan dan tempat kesyirikan dan thawaf di sekitarnya serta beristighatsah (meminta tolong) kepada orang-orang shalih dan bersumpah dengan (nama) orang-orang shalih adalah merupakan keyakinan-keyakinan yang mereka pegang dengan kuat).

Oleh karena itu, saya meyakini bahwa kewajiban pertama atas da'i kaum muslimin yang sebenarnya adalah agar mereka menyeru seputar kalimat tauhid ini dan menjelaskan maknanya secara ringkas. Kemudian dengan merinci konsekuensi-kosekuensi kalimat thayyibah ini dengan mengikhlaskan ibadah dan semua macamnya untuk Allah, karena ketika Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan kaum musyrikin, yaitu :

" Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". [Az-Zumar : 3]

Allah menjadikan setiap ibadah yang ditujukan bagi selain Allah sebagai kekufuran terhadap kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah.

Oleh karena itu, pada hari ini saya berkata bahwa tidak ada faedahnya sama sekali upaya mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin dalam satu wadah, kemudian membiarkan mereka dalam kesesatan mereka tanpa memahami kalimat thayyibah ini, yang demikian ini tidak bermanfaat bagi mereka di dunia apalagi di akhirat !.

Kami mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

" Barangsiapa mati dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah mengharamkan badannya dari Neraka" dalam riwayat lain : "Maka dia akan masuk Surga". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4) dalam Zawa'id dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (3355)].

Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab terlebih dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya tempat kembalinya adalah Surga.

Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali apabila :

[1] Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
[2] Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.

Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.

" Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...." [Al-Baqarah : 146 & Al-An'am : 20]

Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun ! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma'rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa' ala berfirman dalam Al-Qur'an :

" Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad : 19].

Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits-hadits yang telah saya sebutkan tadi, diantaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :

"Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]

Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar tertancap kokoh di benak kita.

Bisa jadi, dari tidak melakukan konsekuensi-konsekuensi kalimat thayyibah ini berupa penyempurnaan dangan amal shalih dan meninggalkan segala maksiat, akan tetapi dia selamat dari syirik besar dan dia telah menunaikan apa-apa yang dituntut dan diharuskan oleh syarat-syarat iman berupa amal-amal hati -dan amal-amal zhahir/lahir, menurut ijtihad sebagian ahli ilmu, dalam hal ini terdapat perincian yang bukan disini tempat untuk membahasnya- (Ini adalah aqidah Salafus Shalih, dan ini merupakan batas pemisah kita dengan khawarij dan murji'ah). Da dia berada dibawah kehendak Allah, bisa jadi dia masuk ke Neraka terlebih dahulu sebagai balasan dari kemaksiatan-kemaksiatan yang dia lakukan atau kewajiban-kewajiban yang ia lalaikan, kemudian kalimat thayyibah ini menyelamtkan dia atau Allah memaafkannya dengan karunia dan kemuliaan-Nya. Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu :

"Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka ucapannya ini akan memberi manfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]

Adapun orang yang mengucapkan dengan lisannya tetapi tidak memahami maknanya, atau memahami maknanya tetapi tidak mengimani makna tersebut, maka ucapan Laa Ilaaha Illaallah-nya tidak memberinya manfaat di akhirat, meskipun di dunia ucapan tersebut masih bermanfaat apabila ia hidup di bawah naungan hukum Islam.

Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memfokuskan da'wah tauhid kepada semua lapisan masyarakat atau kelompok Islam yang sedang berusaha secara hakiki dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang diserukan oleh seluruh atau kebanyakan kelompok-kelompok Islam, yaitu merealisasikan masyarakat yang Islami dan mendirikan negara Islam yang menegakkan hukum Islam di seluruh pelosok bumi manapun yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan.

Kelompok-kelompok tersebut tidak mungkin merealisasikan tujuan yang telah mereka sepakati dan mereka usahakan dengan sungguh-sungguh, kecuali memulainya dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar tujuan tersebut bisa menjadi kenyataan.

[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 16-26, terbitan Darul Haq, penerjemah Fariq Gasim Anuz]
_________________________________________________


Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh dalam "Fath Al Majid" berkata :"Banyak orang yg keliru dalam memahami hadits 'Barang siapa yg mengucapkan [Laa ilaaha illallaah], maka ia akan masuk surga'. Mereka mengira bahwa dengan melafazhkan kalimat itu berarti cukup untuk menyelamatkannya dari api neraka dan masuk surga. Padahal sebenarnya tidaklah demikian.

Orang yg mengira seperti itu berarti ia telah terpedaya dan tidak mengerti makna [Laa ilaaha illallaah], karena dengan demikian berarti ia tidak menghayatinya.

Makna yang sebenarnya adalah, melepaskan diri dari setiap sesembahan dan bersungguh2 dalam mengkhususkan diri dengan semua jenis ibadah hanya untuk Allah semata serta melaksanakan ibadah2 tersebut sesuai dengan cara yang dicintai dan di ridhaiNya.

Orang yg belum melaksanakan hak ibadah tersebut, atau hanya melaksanakan beberapa jenis saja, kemudian beribadah pula kepada selain Allah dengan cara berdoa kepada para wali dan orang2 shalih serta bernadzar kepada mereka dan sejenisnya, berarti orang semacam ini telah menghancurkan ibadahnya itu sendiri.Maka pernyataanya tentang [Laa ilaaha illallaah] tidak lagi berguna baginya.

Seandainya cukup hanya dengan mengucapkannya, tentu kaum musyrikin tidak pernah diperangi oleh Nabi Shallallhu 'alaihi wa sallam dan tidak akan di musuhi.

Allah subhanahu wa ta'alaa telah berfirman "maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan (yang hak) selain Allah" (QS. Muhammad ayat 19). Allah juga menyebutkan "Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya..." (QS. Al Mu'min ayat 65)

Jadi orang yang tidak mengamalkannya dan melakukan hal2 yang bertolak belakang dengannya, maka sekedar mengucapkannya/melafazhkannya itu tidaklah berguna sama sekali.

Setiap orang yang melakukan suatu ibadah untuk selain Allah, maka ia tidak tahu makna [Laa ilaaha illallaah] atau ia berdusta ketika menyatakan keimanan dalam hatinya.
Mereka itulah orang2 yang terpedaya dan tidak berguna semua amalnya, yaitu yang sesat usahanya di dalam kehidupan dunia, sementara mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan. Na'uudzu billaahi min dzaalik. [Sumber : Kitab Fathul Majid, Bab "Keistimewaan Tauhid dan dosa2 yg diampuni karenanya", Hal 57]

03 November 2009

BEBERAPA KEUTAMAAN DAN KEBERKAHAN HARI SENIN DAN KAMIS

Oleh : Dr. Nashir bin Abdirrahman bin Muhammad al Juda’i

1. Diantara keutamaan dan keberkahannya, bahwa pintu-pintu surga di buka pada dua hari tersebut, yaitu Senin dan Kamis. Pada saat inilah orang-orang Mukmin diampuni, kecuali dua orang Mukmin yang sedang bermusuhan.

Dalil yang menguatkan hal ini adalah hadits yang termaktub dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Pintu-pintu Surga di buka pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang tidak menyekutukan Alloh dengan sesuatu apapun akan diampuni dosa-dosanya, kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan. Lalu dikatakan, ‘Tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap orang ini sampai keduanya berdamai.” (HR. Muslim)

Keutamaan dan keberkahan berikutnya, bahwa amal-amal manusia diperiksa di hadapan Alloh pada kedua hari ini. Sebagaimana yang terdapat dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau bersabda:
“Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Alloh dalam setiap pekan (Jumu’ah) dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang di antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan…” (HR. Muslim)

Karena itu, selayaknya bagi seorang Muslim untuk menjauhkan diri dari memusuhi saudaranya sesame Muslim, atau memutuskan hubungan dengannya, ataupun tidak memperdulikannya dan sifat-sifat tercela lainnya, sehingga kebaikan yang besar dari Allah Ta’ala ini tidak luput darinya.

2. Keutamaan hari Senin dan Kamis yang lainnya, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sangat antusias berpuasa pada kedua hari ini.

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia mengatakan,
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis”. (HR. Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, Imam Ahmad)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menyampaikan alasan puasanya pada kedua hari ini dengan sabdanya,
“Amal-amal manusia diperiksa pada setiap hari senin dan Kamis, maka aku menyukai amal perbuatanku diperiksa sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. At Tirmidzi dan lainnya)

Dalam shahih Muslim dari hadits Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah ditanya tentang puasa hari Senin, beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab,
“Hari tersebut merupakan hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkannya Al-Qur’an kepadaku pada hari tersebut.” (HR.Muslim)

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Tidak ada kontradiksi antara dua alasan tersebut.” (Lihat Subulus Salam)
Berdasarkan hadits-hadits di atas maka di sunnahkan bagi seorang Muslim untuk berpuasa pada dua hari ini, sebagai puasa tathawwu’ (sunnah).

3. Keutamaan lain yang dimiliki hari Kamis, bahwa kebanyakan perjalanan (safar) Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam terjadi pada hari Kamis ini.

Beliau menyukai keluar untuk bepergian pada hari Kamis. Sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukhari bahwa Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan:
“Sangat jarang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam keluar (untuk melakukan perjalanan) kecuali pada hari Kamis.”

Dalam riwayat lain juga dari Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu:
“Bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam keluar pada hari Kamis di peperangan Tabuk, dan (menang) beliau suka keluar (untuk melakukan perjalanan) pada hari Kamis.” (HR.Bukhori)

Di nukil dari Kitab “Amalan dan Waktu yang Diberkahi”, penulis: Dr. Nashir bin Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, penerbit Pustaka Ibnu Katsir

02 November 2009

SIFAT WUDHU’ NABI Shallallahu ‘alaihi wa Salam

Secara syri’at wudhu’ ialah menggunakan air yang suci untuk mencuci anggota-anggota tertentu yang sudah diterangkan dan disyari’at kan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Allah memerintahkan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan , kedua mata-kaki (Al-Maaidah:6).

Allah tidak akan menerima shalat seseorang sebelum ia berwudhu’ (HSR. Bukhari di Fathul Baari, I/206; Muslim, no.255 dan imam lainnya).

Rasulullah juga mengatakan bahwa wudhu’ merupakan kunci diterimanya shalat. (HSR. Abu Dawud, no. 60).

Utsman bin Affan Radhliyallahu anhu berkata: “Barangsiapa berwudhu’ seperti yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, dan perjalanannya menuju masjid dan shalatnya sebagai tambahan pahala baginya” (HSR. Muslim, I/142, lihat Syarah Muslim, III/13).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Barangsiapa menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi mengerjakan shalat wajib bersama orang-orang dengan berjama’ah atau di masjid (berjama’ah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya” (HSR. Muslim, I//44, lihat Mukhtashar Shahih Muslim, no. 132).

Maka wajiblah bagi segenap kaum muslimin untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam segala hal, lebih-lebih dalam berwudhu’. Al-Hujjah kali ini memaparkan secara ringkas tentang tatacara wudhu’ Rasulullah saw melakukan wudhu’:

1. Memulai wudhu’ dengan niat.

Niat artinya menyengaha dengan kesungguhan hati untuk mengerjakan wudhu’ karena melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan mengikuti perintah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Ibnu Taimiyah berkata: “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan dalam hati. (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan bahwa segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya… (HSR. Bukhari dalam Fathul Baary, 1:9; Muslim, 6:48).

2. Tasmiyah (membaca bismillah)

Beliau memerintahkan membaca bismillah saat memulai wudhu’. Beliau bersabda:

Tidak sah/sempurna wudhu’ sesorang jika tidak menyebut nama Allah, (yakni bismillah) (HR. Ibnu Majah, 339; Tirmidzi, 26; Abu Dawud, 101. Hadits ini Shahih, lihat Shahih Jami’u ash-Shaghir, no. 744).

Abu Bakar, Hasan Al-Bashri dan Ishak bin Raahawaih mewajibkan membaca bismillah saat berwudhu’. Pendapat ini diikuti pula oleh Imam Ahmad, Ibnu Qudamah serta imam-imam yang lain, dengan berpegang pada hadits dari Anas tentang perintah Rasulullah untuk membaca bismillah saat berwudhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah!” (HSR. Bukhari, I: 236, Muslim, 8: 441 dan Nasa’i, no. 78)

Dengan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam: ”Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah” maka wajiblah tasmiyah itu. Adapun bagi orang yang lupa hendaknya dia membaca bismillah ketika dia ingat. Wallahu a’lam.

3. Mencuci kedua telapak tangan

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencuci kedua telapak tangan saat berwudhu’ sebanyak tiga kali. Rasulullah saw juga membolehkan mengambil air dari bejancdengan telapak tangan lalu mencuci kedua telapak tangan itu. Tetapi Rasulullah melarang bagi orang yang bangan tidur mencelupkan tangannya ke dalam bejana kecuali setelah mencucinya. (HR. Bukhari-Muslim)

4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung

Yaitu mengambil air sepenuh telapak tangan kanan lalu memasukkan air kedalam hidung dengan cara menghirupnya dengan sekali nafas sampai air itu masuk ke dalam hidung yang paling ujung, kemudian menyemburkannya dengan cara memencet hidung dengan tangan kiri. Beliau melakukan perbuatan ini dengan tiga kali cidukan air. (HR. Bukhari-Muslim. Abu Dawud no. 140)

Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini ada penunjukkan yang jelas bagi pendapat yang shahih dan terpilih, yaitu bahwasanya berkumur dengan menghirup air ke hidung dari tiga cidukan dan setiap cidukan ia berkumur dan menghirup air ke hidung, adalah sunnah. (Syarah Muslim, 3/122).

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menganjurkan untuk bersungguh-sungguh menghirup air ke hidung, kecuali dalam keadaan berpuasa, berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah. (HR. Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no. 38, Nasa’i )

5. Membasuh muka sambil menyela-nyela jenggot.

Yakni mengalirkan air keseluruh bagian muka. Batas muka itu adalah dari tumbuhnya rambut di kening sampai jenggot dan dagu, dan kedua pipi hingga pinggir telinga. Sedangkan Allah memerintahkan kita:

”Dan basuhlah muka-muka kamu.” (Al-Maidah: 6)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Humran bin Abaan, bahwa cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam membasuh mukanya saat wudhu’ sebanyak tiga kali”. (HR Bukhari, I/48), Fathul Bari, I/259. no.159 dan Muslim I/14)

Setalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam membasuh mukanya beliau mengambil seciduk air lagi (di telapak tangan), kemudian dimasukkannya ke bawah dagunya, lalu ia menyela-nyela jenggotnya, dan beliau bersabda bahwa hal tersebut diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. (HR. Tirmidzi no.31, Abu Dawud, no. 145; Baihaqi, I/154 dan Hakim, I/149, Shahih Jaami’u ash-Shaghir no. 4572).

6. Membasuh kedua tangan sampai siku

Menyiram air pada tangan sampai membasahi kedua siku, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

”Dan bashlah tangan-tanganmu sampai siku” (Al-Maaidah: 6)

Rasulullah membasuh tangannya yang kanan sampai melewati sikunya, dilakukan tiga kali, dan yang kiri demikian pula, Rasulullah mengalirkan air dari sikunya (Bukhari-Muslim, HR. Daraquthni, I/15, Baihaqz, I/56)

Rasulullah juga menyarankan agar melebihkan basuhan air dari batas wudhu’ pada wajah, tangan dan kaki agar kecemerlangan bagian-bagian itu lebih panjang dan cemerlang pada hari kiamat (HR. Muslim I/149)

7. Mengusap kepada, telinga dan sorban

Mengusap kepala, haruslah dibedakan dengan mengusap dahi atau sebagian kepala. Sebab Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan:

”Dan usaplah kepala-kepala kalian…” (Al-Maidah: 6).

Rasulullah mencontohkan tentang caranya mengusap kepala, yaitu dengan kedua telapak tangannya yang telah dibasahkan dengan air, lalu ia menjalankan kedua tangannya mulai dari bagian depan kepalanya ke belakangnya tengkuknya kemudian mengambalikan lagi ke depan kepalanya. (HSR. Bukhari, Muslim, no. 235 dan Tirmidzi no. 28 lih. Fathul Baari, I/251)

Setelah itu tanpa mengambil air baru Rasulullah langsung mengusap kedua telingannya. Dengan cara memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga, kemudian ibu jari mengusap-usap kedua daun telinga. Karena Rasulullah bersabda: ”Dua telinga itu termasuk kepala.” (HSR. Tirmidzi, no. 37, Ibnu Majah, no. 442 dan 444, Abu Dawud no. 134 dan 135, Nasa’i no. 140)

Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah, no. 995 mengatakan: “Tidak terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits nabi saw) yang mewajibkan mengambil air baru untuk mengusap dua telinga. Keduanya diusap dengan sisa air dari mengusap kepala berdasarkan hadits Rubayyi’:

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada di tangannya. (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan)

Dalam mengusap kepala Rasulullah melakukannya satu kali, bukan dua kali dan bukan tiga kali. Berkata Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu : “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya satu kali. (lihat _Shahih Abu Dawud, no. 106). Kata Rubayyi bin Muawwidz: “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berwudhu’, lalu ia mengusap kepalanya yaitu mengusap bagian depan dan belakang darinya, kedua pelipisnya, dan kedua telinganya satu kali.“ (HSR Tirmidzi, no. 34 dan Shahih Tirmidzi no. 31)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga mencontohkan bahwa bagi orang yang memakai sorban atau sepatu maka dibolehkan untuk tidak membukanya saat berwudhu’, cukup dengan menyapu diatasnya, (HSR. Bukhari dalam Fathul Baari I/266 dan selainnya) asal saja sorban dan sepatunya itu dipakai saat shalat, serta tidak bernajis.

Adapun peci/kopiah/songkok bukan termasuk sorban, sebagaimana dijelaskan oleh para Imam dan tidak boleh diusap diatasnya saat berwudhu’ seperti layaknya sorban. Alasannya karena:

Peci/kopiah/songkok diluar kebiasaan dan juga tidak menutupi seluruh kepala.

Tidak ada kesulitan bagi seseorang untuk melepaskannya.

Adapun Kerudung, jilbab bagi wanita, maka dibolehkan untuk mengusap diatasnya, karena ummu Salamah (salah satu isteri Nabi) pernah mengusap jilbabnya, hal ini disebutkan oleh Ibnu Mundzir. (Lihat al-Mughni, I/312 atau I/383-384).

8. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: ”Dan basuhlah kaki-kakimu hingga dua mata kaki” (Al-Maidah: 6)

Rasulullah menyuruh umatnya agar berhati-hati dalam membasuh kaki, karena kaki yang tidak sempurna cara membasuhnya akan terkena ancaman neraka, sebagaimana beliau mengistilahkannya dengan tumit-tumit neraka. Beliau memerintahkan agar membasuh kaki sampai kena mata kaki bahkan beliau mencontohkan sampai membasahi betisnya. Beliau mendahulukan kaki kanan dibasuh hingga tiga kali kemudian kaki kiri juga demikian. Saat membasuh kaki Rasulullah menggosok-gosokan jari kelingkingnya pada sela-sela jari kaki. (HSR. Bukhari; Fathul Baari, I/232 dan Muslim, I/149, 3/128)

Imam Nawai di dalam Syarh Muslim berkata. “Maksud Imam Muslim berdalil dari hadits ini menunjukkan wajibnya membasuh kedua kaki, serta tidak cukup jika dengan cara mengusap saja.”

Sedangkan pendapat menyela-nyela jari kaki dengan jari kelingking tidak ada keterangan di dalam hadits. Ini hanyalah pendapat dari Imam Ghazali karena ia mengqiyaskannya dengan istinja’.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “…barangsiapa diantara kalian yang sanggup, maka hendaklahnya ia memanjangkan kecermerlangan muka, dua tangan dan kakinya.” (HSR. Muslim, 1/149 atau Syarah Shahih Muslim no. 246)

9. Tertib

Semua tatacara wudhu’ tersebut dilakukan dengan tertib (berurutan) muwalat (menyegerakan dengan basuhan berikutnya) dan disunahkan tayaamun (mendahulukan yang kanan atas yang kiri) [Bukhari-Muslim]

Dalam penggunaan air hendaknya secukupnya dan tidak berlebihan, sebab Rasulullah pernah mengerjakan dengan sekali basuhan, dua kali basuhan atau tiga kali basuhan [Bukhari]

10. Berdoa

Yakni membaca do’a yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam:

“Asyahdu anlaa ilaa ha illalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abdullahi wa rasuulahu. Allahummaj ‘alni minattawwabiina waja’alni minal mutathohhiriin (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah)

Dan ada beberapa bacaan lain yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Semoga tulisan ini menjadi risalah dalam berwudhu’ yang benar serta merupakan pedoman kita sehari-hari.

Maraji’:

Sifat Wudhu’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Syaikh Fadh asy Syuwaib.

At-Tadzkirah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari

Al-Hujjah Risalah No: 27 / Thn IV / 1422H

"SUNAH-SUNNAH DALAM WUDHU

Oleh : Syaikh Khalid al Husainan

[a]. Mengucapkan Bismillah[1]
[b]. Membasuh Kedua Telapak Tangan Tiga Kali[2]
[c]. Mendahulukan Berkumur-Kumur (Madhmadhoh) Dan Istinsyaq (Memasukkan Air Ke Dalam Hidung Lalu Menghirupnya Dengan Sekali Nafas Sampai Ke dalam Hidung Yang Paling Ujung) Sebelum Membasuh Muka.
[d]. Setelah Istinsyaq Lalu Istintsaar (Mengeluarkan /Menyemburkan Air Dari Hidung Sesudah Menghirupnya Dengan Telapak Tangan Kiri).
Berdasarkan hadits :
" ...Lalu Nabi membasuh kedua telapak tangan tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq, lalu istintsaar lalu membasuh muka tiga kali…"[Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226]
[e] Bersungguh-Sungguh Dalam Berkumur-Kumur Dan Istinsyaq Bagi Orang Yang Sedang Tidak Berpuasa.
Berdasarkan hadits :
"Bersungguh-sungguh dalam menghirup air ke hidung, kecuali kalau kamu sedang berpuasa. [HR.Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no.38; Nasaaiy, no. 114 dan Ibnu Majah, no. 407 & 448 dan selain mereka).

Makna bersungguh-sungguh dalam berkumur-kumur adalah menggerakkan air di ke seluruh bagian mulutnya. Sedangkan makna bersungguh-sungguh dalam istinsyaq adalah menghirup air sampai ke bagian hidung yang terdalam.
[f]. Menyatukan Antara Berkumur Dan Istinsyaq Dengan Sekali Cidukan Tangan Kanan, Tanpa Pemisahan Antara Keduanya.
[i]. Mengusap Kepala
Cara mengusap kepala, memulai dari bagian depan kepala depan kemudian menggerakkan kedua tangannya hingga ke belakang (tengkuk) lalu mengembalikan ke tempat semula.

Hukum membasuh kepala adalah wajib yaitu berlaku keumuman pada setiap apa yang dibasuh dari kepala dalam berbagai kondisi. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membasuh kepalanya lalu menjalankan kedua tangannya ke belakang dan mengembalikannya…[Hadits Riwayat Bukhary no. 185 dan Muslim no. 235. Pent]
[j]. Menyela-Nyela Jari-Jari Kedua Tangan Dan Kedua Kaki.
Berdasarkan hadits:
Artinya : Sempurnakanlah wudhu, selai-selailah jari-jemari [HR.Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no.38; Nasaaiy, no. 114 dan Ibnu Majah, no. 448. Pent]
[k]. At Tayaamun (Memulai Dari Sebelah Kanan)

At- Tayaamun (dalam wudhu) artinya memulai membasuh anggota wudhu yang sebelah kanan kemudian yang kiri dari kedua tangan maupun kaki.

"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai dalam mendahulukan yang kanan ketika memakai sandalnya, menyisir, bersuci dan dalam semua urusannya. [Hadits Riwayat Bukhari no. 168 dan Muslim, no. 268 dan selain keduanya. Pent.]

[l]. Menambah Bilangan Basuhan Dari Sekali Menjadi Tiga Kali Basuhan. Tambahan Ini Berlaku Dalam Membasuh Muka, Kedua Tangan Dan Kedua Kaki.

[m]. Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat Setelah Selesai Dari Wudhu Dengan Ucapan.

Asyhadu alla ilaaha illallaahu wahdahu la syariikalahu wa asyahadu anna Muhammadan abduhu wa rasuuluhu".

"Aku bersaksi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.

Tiada lain balasannya kecuali pasti dibukakan baginya pintu-pintu surga yang bejumlah delapan, lalu ia masuk dari pintu mana saja yang ia sukai' [Hadits Riwayat Muslim, no. 234; Abu Dawud, no. 169; Tirmidzi, no. 55 ; Nasaaiy, no. 148 dan Ibnu Majah, no. 470. Pent]
[n]. Wudhu Di Rumah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Barangsiapa yang berwudhu di rumahnya, kemudian berjalan ke masjid untuk melaksanakan kewajiban dari Allah dan langkah yang satu menghapuskan dosa dan langkah yang lain mengangkat derajat. [Hadits Riwayat Muslim no. 666]
[o]. Ad-Dalk
Yaitu meletakkan tangan yang basah (yang akan dipakai untuk menggosok atau membasuh,-pent) pada anggota wudhu bersama air atau setelahnya.

[p]. Berhemat Dalam Menggunakan Air
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu’ dengan satu mud [3].[Muttafaqun alaihi] [4]
[q]. Melewati Batasan Yang Diizinkan Dalam Membasuh Empat Anggota Wudhu (Kedua Tangan Dan Kedua Kaki)
Karena Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berwudhu, kemudian ia membasuh tangan hingga mengenai bagian lengan atasnya, kemudian membasuh kakinya sampai betis, kemduian ia berkata : “Demikian aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu [Hadits Riwayat Muslim no. 246]"

01 November 2009

Bagaimana Menyikapi Orang Awam yang berbuat Bid’ah?

Ditulis oleh As-Salafy di/pada Oktober 27, 2009

Dibawakan oleh al Ustadz Abdullah Sya’roni di sela-sela pembahasan kajian kitab Syarhus Sunnah lil Imam Al Barbahari

Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhali
Kaitannya dengan orang awam yang berbuat bid’ah, Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhali ditanya: Orang yang ikut-ikutan kepada pelaku bid’ah apakah mereka juga perlu kita hajr (dijauhi atau diboikot)?

Maka syaikh menjawab: Orang yang tertipu dari kalangan mereka (yakni orang yang jahil cuma ikut-ikutan) dapat kita ketahui (oo.. ini cuma ikut-ikutan). Jangan tergesa-gesa untuk mengatakan dia mubtadi’, dia sesat. Ajarkan dulu mereka dan terangkan dulu kepada mereka al haq. Karena kebanyakan mereka itu menginginkan kebaikan, sampai shufi-pun menginginkan kebaikan. Demi Allah, seandainya di sana terdapat kegiatan-kegiatan dakwah Salafy, niscaya engkau akan melihat mereka akan masuk ke dalam salafy secara berbondong-bondong ataupun perorangan. Jangan landasan yang ada pada kalian itu adalah manghajr orang, mentahdzir orang, menjauhi umat, jangan !! (tahdzir sana tahdzir sini). Hendaklah yang menjadi asas (landasan) kalian adalah hidayatunnas (memberikan petunjuk kepada manusia). memasukkan orang kepada kebaikan.

Permasalahan hajr (memboikot seseorang karena melakukan kebid’ahan) ini terkadang dipahami dengan salah. Kalau kamu menghajr orang seluruhnya lantas siapa yang akan masuk ke dalam sunnah? (Siapa yang masuk ke dalam Salafy? sana dihajr sini ditahdzir).

Wahai ikhwah sekalian, al hajr terhadap ahlul bid’ah memang dilakukan seperti di zamannya Imam Ahmad Rahimahullah dan ketika itu bumi penuh dengan Salafiyyun. Sehingga kalau Imam Ahmad Rahimahullah mengatakan, “Fulan itu adalah mubtadi’” maka gugur ia, tidak bisa bergerak (mubtadi’ tersebut) karena banyaknya salafy.

Adapun sekarang salafiyyah yang ada di Zamanmu ini seperti rambut putih di sapi yang berwarna hitam. Hendaknya yang menjadi landasan dakwah kalian adalah mengajak manusia kepada petunjuk dan menyelamatkan mereka dari kebathilan (bukannya dihajr). Tetapi ber-ramah tamahlah kalian ajak manusia, dakwahi mereka, dekati mereka dan insya Allah kalian akan banyak meraih manusia masuk ke dalam dakwah kalian.

Adapun kalau kamu gondok (cemberut ketemu orang), karena beranggapan semua manusia menyimpang padahal kamu tidak pernah menasihati mereka, tidak pernah menjelaskan sesuatu kepada mereka, ini adalah keliru, yang seperti ini menutup pintu kebaikan pada wajah manusia. Janganlah kaidah atau asas yang kalian bangun di atas dakwah itu sekedar cela sana cela sini. Al Hajr itu kalau di zamannya Imam Ahmad kalian mengatakan, “boikot dia, jauhi dia, hati-hati dari dia” mungkin satu dari ahlul bid’ah itu akan kembali kepada al haq karena terpaksa, dia akan kembali. Adapun sekarang kamu menoleh ke sana kemari tidak melihat Salafy. Orang yang melakukan satu kebid’ahan kemudian diboikot, karena dia merasa punya pengikut tidak mendengar kalian malah sudah pergi bersama pengikutnya. Maka hati-hatilah dalam perkara ini.

Hendaklah kaidah yang ada pada kalian merangkul manusia. Demi Allah mayoritas manusia itu mereka menginginkan kebaikan, mereka pergi ke masjid apa yang mereka inginkan? mereka menginginkan surga, wahai ikhwah! Mereka menginginkan kebaikan! Tetapi caranya, hendaklah cara yang kalian tempuh penuh dengan hikmah.

Demi Allah! Seandainya cara yang penuh hikmah, yang penuh dengan kasih sayang, yang kamu tidak merasa lebih tinggi darinya. Kalau orang itu merasakan kamu merasa lebih tinggi darinya maka dia tidak akan masuk kepadamu. Dia tidak menginginkan al haq dari kamu karena dia melihat kamu sombong. Akan tetapi Merendah hatilah, dakwahi mereka dengan hikmah insya Allah banyak dari manusia menjadi Salafy.

Kemudian syaikh membawakan sebuah contoh kasus:

India, tadinya kebanyakan mereka adalah khurofi, penyembah kubur, penuh dengan khurafat. Kemudian masuklah ahlul hadits, dengan membawa ilmu dan hikmah dalam dakwah. Sehingga meraih jutaan ikhwah karena hikmah dan ilmunya tadi dengan tiga-empat orang dari murid Syaikh Nadhir Hasan. Sehingga dengan dakwah mereka ini, ahli hadits yang berdakwah dengan ilmu dan hikmah, berbalik keadaan India kepala dengan kaki (180 derajat).

Kemudian salah seorang dari mereka diuji oleh Allah, datang ahli bid’ah kemudian tiba-tiba mukul dengan cangkul sampai selesai dipukuli. Perkiraan ahli bid’ah ini bahwa da’i ini meninggal (padahal tidak meninggal, cuma pingsan)

Kemudian para pengikutnya datang dan mengambil orang yang mukul ini dan dimasukkan ke penjara. Ketika da’i ini siuman (sadar dari pingsan) berkata, “Mana yang memukulku tadi, ke mana dia?” Dijawab, “Bahwa dia sudah dititipkan ke penjara” Maka dia berkata, “Selamanya dia tidak akan di penjara, saya sudah maafkan dia” Maka dijawab, “Tapi ia sudah dipenjara” Mereka tidak mau mengeluarkannya dari penjara.

Akhirnya da’i ini yang tadi pingsan dan mau mengeluarkan tapi tidak bisa, dia memberikan nafkah kepada keluarga mubtadi’ yang memukulnya tadi, karena tidak ada yang menafkahi keluarga mubtadi tadi selama dipenjara. Yang memukul ini tadi ternyata dia adalah tokoh mubtadi’ dan ketika dia bebas dari tahanan karena melihat keluarganya dinafkahi akhirnya dia menjadi seorang Salafy dan ini banyak contohnya [1]. Kemudian juga dibawakan contoh di antaranya di Sudan [2].

Yang saya inginkan tidak harus kalian itu sampai ke tingkat ini. Akan tetapi yang aku inginkan dari kalian, wahai ikhwah, adalah sedikit saja ada rasa hikmah, ada rasa lemah lembut, ada kesabaran dan ada niatan baik. Sedikit saja empat sifat ini tadi aku inginkan ada pada kalian. Hendaklah kalian memberi petunjuk kepada manusia, demi Allah dengan akhlak yag penuh hikmah dan lemah lembut manusa akan menerima dakwah kalian.

Tetapi kalau yang ada di sisi kalian itu kekerasan dan kekasaran, firman Allah Ta’ala,

لَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali Imran: 159)

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ditegur oleh Alah seperti ini. Wahai ikhwah, semoga Allah memberkahi kalian, sebagian ikhwan kita pada mereka terdapat kekerasan yang berlebihan yang mengeluarkan seseorang dari Salafy (ooh.. dia itu bukan Salafy… Maka dia gak pernah memasukkan seorangpun ke dalam salafy, bisanya ngeluarian, ngeluarin, masukinnya mana? ooh saya bagian pengeluaraan, bagian pemasukan ada lagi), ini ada sekarang…. mereka inilah disebut para pengusir !!

Hendaklah mereka bertaubat kepada Allah Azza wajalla dan memperbaiki akhlak mereka, semoga Allah memberkahi kalian dan hendaklah kalian di atas cara seperti ini, jangan yang menjadi landasan dakwah kalian adalah boikot sana boikot sini cela sana cela sini.

Pembokitan terhadap ahlul bid’ah itu disyariatkan kalau memberikan manfaat. Kalau kamu hidup di zamannya Imam Ahmad Rahimahullah maka lakukanlah hajr! Akan tetapi di zaman siapa kamu sekarang ini? Barokallahu fiikum, wajib memiliki sikap lemah lembut, penuh hikmah, dan sabar. Mendekati manusia dan menunjukkan mereka kepada kebaikan.

[Dari Transkrip rekaman kajian rutin kitab yarhus Sunnah lil Imam al Barbahari yang dibawakan oleh al Ustadz Abdullah Sya'roni]

____________
Footnote:

[1] Berkata Ustadz Abdullah Sya’roni, “Diantaranya kejadian yang pernah menimpa saya di Poso, dua kali saya kena tonjokan dan satu kali kena tendangan. Seorang mubtadi’, khurofi mukul dua kali di majelis, otomatis masyarakat dan santri-santri membela saya dan seandainya saya melawanpun bisa. Tetapi sabar, dan penuh dengan hikmah, dan subhanallah dengan kejadian itu satu dusun mendukung dakwah kita.”

[2] Dahulu ada orang bernama Abul Mahjub di daerah Sudan, dialah salah seorang yang telah menyebarkan manhaj salafiyyah di Sudan. Sebelumnya orang-orang Sudan telah menyerangnya, mengungkungnya dengan mengikat kakinya, lalu dilemparkan keluar mesjid. Lalu seketika ia bangun, ia tertawa, dan tidak menampakkan kedengkian terhadap orang-orang itu, dan dia tidak membalas, atau yang selainnnya, dia hanya tersenyum dan tertawa. Bermula dari sinilah para masyaikhnya beralih ke dakwah salafiyyin.

http://sunniy.wordpress.com/2009/10/17/bagaimana-menyikapi-orang-awam-yang-berbuat-bidah/

Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu

Ditulis oleh As-Salafy di/pada Oktober 30, 2009

Bertahun-tahun sudah kita luangkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Suka duka yang dirasakan juga begitu banyak. Mengingat masa lalu terkadang membuat kita tersenyum, tertawa dan terkadang membuat kita menangis. Inilah kehidupan yang harus kita jalani. Kehidupan sebagai seorang thalibul’ilmi. Akan tetapi, mungkin kita sering melupakan, apakah ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang bermanfaat ataukah sebaliknya.

Penulis teringat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

Artinya: “Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim No. 6906 dan yang lainnya dengan lafaz-lafaz yang mirip)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang dijamin oleh Allah untuk menjadi pemimpin Bani Adam di hari akhir nanti, sangat sering mengulang doa-doa ini, apalagi kita, yang sangat banyak berlumuran dosa, sudah seharusnya selalu membacanya.

Mengetahui ciri-ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat sangatlah penting. Oleh karena itu, berikut ini penulis sebutkan beberapa ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat yang penulis ambil dari kitab Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang berjudul Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf.

Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:

1. Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.

2. Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.

3. Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.

4. Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.

5. Senantiasa didengar doanya.

6. Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.

7. Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.

8. Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.

9. Selalu mengharapkan akhirat.

10. Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.

11. Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.

12. Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.

13. Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka.

14. Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada Allah Taala.

Adapun ciri-ciri ilmu yang tidak bermanfaat di dalam diri seseorang:

1. Ilmu yang diperoleh hanya di lisan bukan di hati.

2. Tidak menumbuhkan rasa takut pada Allah.

3. Tidak pernah kenyang dengan dunia bahkan semakin bertambah semangat dalam mengejarnya.

4. Tidak dikabulkan doanya.

5. Tidak menjauhkannya dari apa-apa yang membuat Allah murka.

6. Semakin menjadikannya sombong dan angkuh.

7. Mencari kedudukan yang tinggi di dunia dan berlomba-lomba untuk mencapainya.

8. Mencoba untuk menyaing-nyaingi para ulama dan suka berdebat dengan orang-orang bodoh.

9. Tidak menerima kebenaran dan sombong terhadap orang yang mengatakan kebenaran atau berpura-pura meluruskan kesalahan karena takut orang-orang lari darinya dan menampakkan sikap kembali kepada kebenaran.

10. Mengatakan orang lain bodoh, lalai dan lupa serta merasa bahwa dirinya selalu benar dengan apa-apa yang dimilikinya.

11. Selalu berburuk sangka terhadap orang-orang yang terdahulu.

12. Banyak bicara dan tidak bisa mengontrol kata-kata.

Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Di saat sekarang ini, manusia boleh memilih apakah dia itu ridha untuk dikatakan sebagai seorang ulama di sisi Allah ataukah dia itu tidak ridha kecuali disebut sebagai seorang ulama oleh manusia di masanya. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang pertama, maka dia akan merasa cukup dengan itu… Barang siapa yang tidak ridha kecuali ingin disebut sebagai seorang ulama di hadapan manusia, maka jatuhlah ia (pada ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),

من طلب العلم ليباهي به العلماء أو يماري به السفهاء أو يصرف وجوه الناس إليه فليتبوأ مقعده من النار

Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu untuk menyaing-nyaingi para ulama, mendebat orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka dia itu telah mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (*)

*) Dengan Lafaz yang seperti ini, penulis belum menemukannya dengan sanad yang shahih. Akan tetapi, terdapat lafaz yang mirip dengannya di Sunan At-Tirmidzi No. 2653 dengan sanad yang hasan, yaitu:

من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار

***

اللهم إني أسألك علما نافعا و رزقا طيبا و عملا متقبلاز آمين

Maraji’:

1. Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiah

2. Shahih Muslim, Dar As-Salam

3. Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma’arif

***

Penulis: Ustadz Said Yai Ardiansyah (Mahasiswa Fakultas Hadits, Jami’ah Islamiyah Madinah, Saudi Arabia)

Sumber Artikel : http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/yang-kita-lupakan-dalam-menuntut-ilmu.html