30 September 2009

BERDZIKIR DENGAN "BIJI-BIJIAN TASBIH", BOLEHKAH?

Berdzikir dengan “Tasbih” Bolehkah?

Oleh : Abu Ibrohim Muhammad Ali AM.


Kebanyakan orang di tempat kita menganggap bahwa termasuk ciri khas seorang muslim yang taat kepada Alloh adalah selalu berdzikir dengan biji tasbih di tangan. Gambaran ini semakin kuat dengan gambar tokoh-tokoh yang dianggap berjasa bagi Islam tampil dengan busana muslim lengkap dengan tasbihnya yang sengaja dibuat dan dijual untuk keuntungan duniawi seperti gambar-gambar wali songo dan lainnya, ditambah lagi tayangan sinetron religi yang sarat dengan kebatilan, apabila menampilkan tokoh agama, hampir dipastikan ada biji tasbih di tangannya.

Ada di antara mereka yang selalu terlihat menjalankan tasbih di tangannya walaupun sedang mengobrol dengan rekannya, padahal terkadang pembicaraannya bertolak belakang dengan dzikir. Yang lebih merasa kurang puas, ada yang menggantungkan tasbihnya di leher walaupun mulutnya tidak terlihat berdzikir, tetapi—anehnya—orang menganggap dia selalu berdzikir (mengingat Alloh).
Sebagian lagi meyakini bahwa biji tasbih yang digantungkan di leher adalah ciri khas para malaikat yang sedang berdzikir. Ada pula yang mengatakan bahwa termasuk peninggalan (warisan) Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah biji tasbih. Ada lagi yang menjadikannya sebagai sarana pengobatan alternatif, dan masih banyak tujuan lain digunakannya biji tasbih ini dan tidak mungkin kami sampaikan semuanya.

Hal-hal di atas terjadi tidak lain karena makin jauhnya kaum muslimin dari agamanya. Oleh karena itu, para ulama yang cemburu akan agamanya segera bangkit menjelaskan hakikat biji tasbih ini. Mereka menulis tentang asal-usul dan hukum tasbih dalam agama Islam yang mulia ini (1) . Dan tulisan ini sekadar menyadur dari tulisan mereka. Mudah-mudahan Alloh melapangkan hati kita untuk menerima setiap kebenaran.

Sekilas Tentang Untaian Biji2an Tasbih

Berdzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling sempurna. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberikan petunjuk dengan cara yang paling mudah yang dapat dilakukan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Demikianlah yang diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, dan awal generasi yang setelah mereka. Lalu orang-orang yang datang setelah mereka beranggapan bahwa berdzikir hanya sebanyak hitungan ruas-ruas jari tidak cukup. Berdzikir dalam jumlah yang banyak tidak dapat dilakukan melainkan harus dihitung dengan sesuatu seperti batu kerikil atau biji-bijian, menurut mereka.

Tidak ada satu pun hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih tentang berdzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian. Yang ada hanyalah riwayat-riwayat hadits yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu).

Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid Rohimahulloh menjelaskan(2) bahwa biji tasbih tidak dikenal dalam agama Islam. Ia hanya perkara baru dalam agama (Islam). Biji tasbih adalah alat bantu ibadahnya orang Buddha dan menjadi ciri khusus agama mereka saat itu. Lalu biji tasbih dipakai orang Hindu di India oleh sekte wisnu atau siwa, kemudian juga dipakai oleh orang-orang Nasrani khususnya para pendeta dan rahib-rahibnya, setelah itu berkembang ke sebelah barat Asia. Agama Buddha terpecah menjadi dua aqidah (keyakinan): Mahayana dan Hinayana. Mahayana tersebar di sebagian besar Asia utara seperti Nepal, Tibet, Cina, Jepang, Mongol, Korea, dan lainnya. Sedangkan Hinayana banyak tersebar di Asia Selatan seperti India bagian selatan, Bangladesh, Burma (Myanmar), dan lainnya. Tatkala agama Nasrani muncul, barulah para pendetanya menggunakan biji tasbih ini untuk ibadah mereka. Adapun kaum muslimin maka tidak mengenal biji tasbih ini, kecuali orang-orang muslim yang tidak mengetahui asal usulnya mengambil cara agama lain untuk ibadah mereka.

Sendainya hadits-hadits tersebut dianggap sah(3) , justru yang lebih tampak dari kisah-kisah itu menunjukkan bahwa Rosululloh mengingkari kerikil dan biji-biji tasbih yang digunakan untuk berdzikir dan beliau memberi petunjuk yang lebih afdhol, lebih bagus, lebih sempurna, dan lebih mudah. Dan perkataan “lebih afdhol” atau “lebih bagus” bukan berarti kerikil atau biji tasbih dibolehkan, tetapi justru selain ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya hukumnya dilarang, sebagaimana firman Alloh:

(…. آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿٥٩

…. Apakah Alloh yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia? (QS. an-Naml [27]: 59)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Alloh itu lebih bagus daripada sekutu-sekutu selain-Nya, dan bukan berarti sekutu-sekutu itu juga bagus dan dibolehkan (untuk disembah). (Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 11)

Makna Tasbih

“Biji tasbih” dalam bahasa Arab biasa disebut dengan istilah السُّبْحَةَ , atau مِسْبَحَةٌ , atau مَسَابِيْحُ , atau تَسَابِيْحُ , tetapi pemakaian makna ini hanya menurut kebiasaan yang berjalan saja (4).
Adapun kata السُّبْحَةَ atau التَّسْبِيْحُ dalam hadits-hadits yang shohih maknanya bukan biji tasbih melainkan sholat sunnah, sebagaimana dalam hadits Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma bahwa ayahnya mengabarinya:

أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ صَلَّى السُّبْحَةَ بِاللَّيْلِ فِى السَّفَرِ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ

Bahwa beliau pernah melihat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sholat sunnah pada malam hari ketika sedang safar di atas kendaraan menghadap ke arah perjalanannya. (HR. al-Bukhori: 1104)

Dzikir Ada Dua Macam

Berdzikir adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat diperintahkan. Dzikir terbagi menjadi dua macam:

1. Dzikir secara mutlak, yaitu dzikir yang diperintahkan tanpa ada ikatan waktu, tempat, atau jumlah tertentu, maka dzikir semacam ini tidak boleh (5)dilakukan dengan menentukan jumlah-jumlah yang dikhususkan seperti seribu kali dan semisalnya.
Dzikir semacam ini sebagaimana dalam firman-Nya:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. al-Ahzab [33]: 41)

Membatasi suatu ibadah yang tidak dibatasi oleh Alloh adalah menambah syari’at Alloh. Alloh tidak mengikat dengan jumlah tertentu dalam dzikir jenis ini merupakan kemurahan dan kemudahan dari Alloh. Setiap hamba-Nya bebas berdzikir sesuai dengan kemampuannya tidak terikat dengan jumlah dzikir tertentu (6).

2. Dzikir muqoyyad, yaitu dzikir-dzikir yang dianjurkan supaya dilakukan dengan hitungan tertentu seperti ucapan Subhanalloh 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allohu Akbar 33 kali, dan hitungan paling banyak yang pernah dianjurkan oleh Nabi adalah 100 kali, sebagaimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ قَالَ “سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ” فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Barang siapa mengucapkan Subhanallohi wabihamdihi setiap hari seratus kali, maka dihapus dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. al-Bukhori: 6042 dan Muslim: 2691)

Berdzikir Disyari’atkan untuk Menggunakan Ruas-Ruas Jari atau Ujung-Ujungnya

Adapun yang disyari’atkan dalam dzikir muqoyyad adalah dengan menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya, sebagaimana perintah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada para istri dan kaum wanita dari kalangan sahabatnya. Beliau bersabda:

وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)

Makna اْلأَنَامِلُ

Adapun tentang maknaالأَنَامِلُ Qotadah berkata bahwa maksudnya adalah ujung-ujung jari. Sedangkan Ibnu Mas’ud, as-Suddiy, dan Robi’ bin Anas berkata, الأَنَامِلُ adalah jari-jemari itu sendiri (Tafsir al-Qur‘anil Azhim kar. Ibnu Katsir 2/108).

Ibnu Manzhur (Lisanul Arab 14/295) mengatakan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari yang paling atas yang ada kukunya.

Dalam al-Qomush al-Muhith: 2/955 disebutkan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari atau sendi-sendinya.

Dari keterangan di atas jelas bahwa berdzikir disyari’atkan dengan ujung-ujung jari atau ruas-ruas jari. Dan inilah cara yang paling mudah sesuai dengan Islam yang penuh dengan kemudahan, sehingga kaum muslimin dari semua kalangan dapat melakukannya tanpa menggunakan alat bantu seperti kerikil, biji-bijian, butiran-butiran tanah liat, atau alat penghitung modern, dan semisalnya.

Sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam Mengingkari Biji Tasbih

Para sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka selalu melakukan yang terbaik buat diri dan agama mereka. Oleh karena itu, tatkala menjumpai satu penyimpangan dalam bentuk ibadah mereka segera mengingkarinya. Dalam sebuah hadits Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu menjumpai kaum muslimin berkumpul di masjid menjadi beberapa halaqoh berdzikir dengan biji tasbih, lalu masing-masing ketua halaqoh itu menyuruh anggotanya supaya bertakbir 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertahlil 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertasbih 100 kali, maka mereka lakukan. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dan tidak menerima alasan mereka walaupun niat mereka baik dan sekadar menggunakan biji tasbih untuk menghitung dzikir mereka, Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu berkata:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ، أَوْ مُفْتَتِحُوْا بَابَ ضَلاَلَةٍ؟! قَالُوْا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ! مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ، قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ

“Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian ini sedang berada di atas agama yang lebih bagus daripada agamanya Muhammad, atau (kalau tidak) maka kalian ini sedang membuka pintu kesesatan.” Mereka berkata: “Wahai Abu Abdirrohman (Ibnu Mas’ud), yang kami inginkan hanyalah kebaikan.” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.” (HR. ad-Darimi, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 2005)

Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah atau tidak Shahih

Ada beberapa hadits yang dijadikan sandaran bagi mereka yang membolehkan penggunaan biji tasbih dalam berdzikir, akan tetapi semuanya tidak lepas dari kelemahan bahkan kepalsuan sehingga semuanya tidak bisa dijadikan hujjah, di antaranya;

1. Hadits palsu yang disandarkan pada Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu ‘anhu:

نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السَّبْحَةُ وَإِنَّ أَفْضْلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ اْلأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ

“Sebaik-baik pengingat adalah biji tasbih, dan seutama-utama tempat yang dipakai sujud adalah bumi dan yang ditumbuhkan oleh bumi.”

Takhrij hadits:

Hadits di atas dikeluarkan oleh ad-Dailami dalam Mukhtashor Musnad al-Firdaus: 4/98, as-Suyuthi dalam al-Minhah Fis Subhah: 2/141 dari al-Hawi, dan dinukil oleh asy-Syaukani dalam Nailul Author: 2/166-167.

Keterangan:
Hadits di atas adalah MAUDHU’/PALSU (7), dikarenakan beberapa sebab:

* Sanad (jalur periwayatan) hadits ini kebanyakan rowi (periwayat)nya adalah majhul (tidak dikenal), bahkan sebagian mereka tertuduh dusta dalam meriwayatkan hadits. (Di antara rowinya) Umul Hasan binti Ja’far bin al-Hasan, dia tidak dikenal biografinya.
* Abdush Shomad bin Musa al-Hasyimi dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal, menukil perkataan al-Khothib al-Baghdadi (14/41), beliau mengatakan: “Para ulama (pakar hadits) telah melemahkannya.”

* Hadits ini secara makna juga batil karena beberapa perkara (8):
a. Biji tasbih termasuk perkara baru, tidak pernah digunakan pada zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Munculnya biji tasbih ini setelah wafatnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli bahasa Arab yang mengatakan:

إِنَّ لَفْظَةَ السَّبْحَةِ مُوَلَّدَةٌ لاَ تَعْرِفُهَا الْعَرَبُ

“Sesungguhnya kata subhah (biji tasbih) adalah istilah baru yang tidak dikenal oleh orang Arab).”

b. Hadits di atas menyelisihi petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir.

Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma berkata: “Aku melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1/235, at-Tirmidzi: 4/255, Ibnu Hibban: 2334, al-Hakim: 1/547, al-Baihaqi: 2/253, dishohihkan al-Albani dalam Shohih Abu Dawud: 1346)

Demikian pula bertentangan dengan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir, beliau bersabda:

وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)

2. Hadits palsu yang disandarkan pada Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu:

كَانَ النَّبِيُّ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى

“Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan kerikil.”

Takhrij hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Qosim al-Jurjani dalam Tarikh-nya: 68, dari jalan Sholih bin Ali an-Naufali, menceritakan kepadanya Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami, menceritakan kepadanya Ibnul Mubarok dari Sufyan ats-Tsauri dari Samiy, dari Abu Sholih dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu terangkat (sampai) kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Keterangan (9):

Hadits di atas MAUDHU’/PALSU karena Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami tertuduh dusta.

Imam adz-Dzahabi—dalam Mizanul I’tidal—berkata: “Dia (al-Qudami) adalah salah satu rowi lemah, demikian dalam al-Lisan dikatakan bahwa Ibnu Adi dan ad-Daruquthni melemahkannya.”
Ibnu Hibban berkata: “Dia membalik hadits-hadits. Barangkali (kira-kira) dia telah membalik riwayat Imam Malik lebih dari 150 hadits. Dia juga meriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’ad satu kitab yang kebanyakan (hadits)nya terbalik.”

Imam al-Hakim dan an-Naqqosy berkata: “Dia juga meriwayatkan hadits dari Malik banyak hadits yang palsu.”
Abu Nu’aim berkata: “Dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar.”

3. Hadits Shofiyah bintu Huyay istri Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam (10), beliau berkata:

:دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللَّهِ وَ بَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آَلاَفِ نُوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهِنَّ، فَقَالَ: يَا بِنْتَ حُيَيْ، مَا هَذَا؟ قُلْتُ


أُسَبِّحُ بِهِنَّ، قَالَ: قَدْ سَبَّحْتُ مُنْذُ قُمْتُ عَلَى رَأْسِكَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا، قُلْتُ: عَلِّمْنِي يَا رَسُوْلَ اللَّهِ. قَالَ: قُوْلِي: سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke (rumah) saya sedangkan di hadapanku ada 4.000 biji kurma yang kugunakan untuk bertasbih. Lalu beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: ‘Wahai Bintu Huyay, apa ini?’ Aku menjawab: ‘(Biji kurma) ini kupakai untuk bertasbih.’ Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Sungguh aku telah bertasbih lebih banyak sejak aku beranjak dari sisi kepalamu daripada (tasbihmu) ini.’ Aku berkata: ‘Ajari aku (yang lebih banyak dari ini) ya Rosululloh!’ Beliau bersabda: ‘Ucapkan

سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

(Aku bertasbih sebanyak apa yang Alloh ciptakan dari segala sesuatu apa pun).’”

Takhrij hadits:
Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Tirmidzi: 4/274, Abu Bakar asy-Syafi’i dalam al-Fawa‘id: 37/255/1, al-Hakim: 1/547, dari jalan Hasyim bin Sa’id dari Kinanah maula Shofiyah dari Shofiyah.

Keterangan:
Hadits ini DHO’IF/LEMAH (11), didho’ifkan oleh at-Tirmidzi, beliau mengatakan: “Hadits ini ghorib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalannya Hasyim bin Sa’id al-Kufi dan sanad beliau tidak dikenal.”
Ibnu Ma’in berkata tentang Hasyim al-Kufi: “Dia tidak ada apa-apanya.”
Ibnu Adiy berkata: “Apa yang diriwayatkan tidak dapat dikuatkan dengan yang lain.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dia adalah dho’if (lemah).”

Demikian juga salah satu rowi hadits ini bernama Kinanah, dia rowi yang majhul (tidak dikenal), tidak ada yang menyatakan dia terpercaya kecuali Ibnu Hibban. Akan tetapi, terdapat penguat lain meriwayatkan dari Kinanah seperti Zuhair, Hudaij (keduanya putra Mu’awiyah), Muhammad bin Tholhah bin Mushorrif, dan Sa’dan bin Basyir al-Juhani, empat orang tersebut semuanya terpercaya ditambah lagi riwayat Yazid al-Bahili hanya beliau dinyatakan terpercaya oleh beberapa ulama dan dinyatakan dho’if oleh yang lainnya. Oleh karena itu, cacat hadits ini hanyalah pada Hasyim bin Sa’id al-Kufi yang majhul (tidak dikenal) sehingga hadits ini dho’if, dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Berdzikir Dengan Kedua Tangan atau Tangan Kanan Saja?

Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.

Pendapat pertama (12)mengatakan bahwa berdzikir boleh menggunakan kedua tangannya baik kiri atau kanan. Dalilnya:

* Keumuman hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan “tangannya”, dan tangan mencakup tangan kanan dan kiri, sebagaimana dalam sebuah hadits;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَدِهِ

Dari Abdulloh bin Amr bin Ash Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangannya.” (HR. at-Tirmidzi: 3486)

* Adapun lafazh hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya, maka hadits ini tergolong hadits syadz (ganjil) yaitu hadits yang menyelisihi riwayat yang lebih shohih yaitu riwayat yang umum mencakup semua tangan.

Pendapat kedua (13) mengatakan bahwa berdzikir hanya dengan tangan kanan saja lebih afdhol. Dalilnya:

* Ada sebuah hadits shohih menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya saja, sebagaimana hadits berikut;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ

Dari Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1330 dan dishohihkan oleh al-Albani (14)dalam Sislsilah Dho’ifah: 1002)

Pendapat yang Kuat

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ

Pendapat yang kuat insya Alloh adalah pendapat yang kedua yaitu berdzikir hanya dengan tangan kanan saja tidak selayaknya dengan tangan kiri, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Baz (Fatawa Islamiyyah hlm. 320), beliau berkata: “Sungguh telah sah dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau menghitung tasbihnya (dzikirnya) dengan tangan kanannya, dan barang siapa berdzikir dengan kedua tangannya maka tidak berdosa, lantaran riwayat kebanyakan hadits yang mutlak (mencakup tangan kedua tangan), tetapi berdzikir dengan tangan kanan saja lebih afdhol karena mengamalkan sunnah yang sah dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.”

Pendapat ini sejalan dengan hadits lain yang muttafaq ’alaihi tentang menggunakan anggota badan yang kanan dalam perkara yang terpuji, di antaranya:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِ هِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

Dari Aisyah Rodhiyallohu ‘anha, beliau berkata: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian kanan baik dalam bersandal, bersisir, bersuci, dan setiap urusannya.” (HR. al-Bukhori 1866 dan Muslim 268)

Adapun perkataan bahwa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanan saja termasuk hadits syadz (ganjil/janggal), maka pendapat ini tidak benar karena keduanya tidak bertentangan, justru satu dengan yang lain saling melengkapi dan menjelaskan yang masih umum/global.

Beberapa Mafsadat Biji Tasbih

Setelah jelas bahwa biji tasbih tidak disyari’atkan dalam berdzikir, kita juga menjumpai beberapa perkara terjadi pada orang yang menggunakan biji tasbih, di antaranya:

* Penggunaan biji tasbih akan mengabaikan sunnah Rosul Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang lebih mulia dan akhirnya terjatuh kepada larangan Alloh yang ditujukan kepada Bani Israil sebagaimana dalam firman-Nya:

…. Apakah engkau mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?…. (QS. al-Baqoroh [2]: 61)

* Menggunakan biji tasbih membuat pelakunya lalai dengan apa yang ia ucapkan, dan kita bisa menyaksikan banyak di antara mereka yang menggunakan biji tasbih sedangkan matanya ke sana kemari, karena mereka sudah tahu benar jumlah dzikirnya sesuai dengan jumlah biji tasbih. Berbeda dengan orang yang berdzikir dengan jari-jarinya, dia lebih khusyuk, tidak lalai, dan berusaha mengetahui hitungan dzikirnya dengan jari-jarinya(15).

* Menggunakan biji tasbih sangat dikhawatirkan menimbulkan riya‘ (niat ingin dilihat) dan sum’ah (niat ingin didengar) di dalamnya. Kita jumpai banyak di antara mereka mengalungkan biji tasbih yang sangat panjang dan besar, seakan-akan jiwanya berkata kepada kepada manusia: “Lihat wahai manusia, aku selalu berdzikir sebanyak jumlah biji tasbih ini(16).”

* Menggunakan biji tasbih adalah ciri khusus ibadahnya orang Buddha dan Hindu, apabila kita melakukannya maka kita terjatuh pada pelanggaran terhadap larangan menyerupai mereka, sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh al-Albani dalam Misykat al-Mashobih: 4347)

Penutup

Dzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling sempurna, yang telah diamalkan oleh generasi terbaik umat ini. Dalam ibadah agama Islam tidak pernah mengenalkan biji tasbih kepada pemeluknya. Oleh karena itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak menggunakannya dalam ibadah. kemudian sebagian orang setelah generasi terbaik ini, bersusah payah ingin ibadahnya lebih banyak dan lebih mantap menurut pikiran mereka, lalu mereka meniru kebiasaan orang Buddha, Hindu, dan para pendeta Nasrani dalam ibadahnya, dan tatkala para sahabat mengetahui hal baru ini mereka segera mengingkarinya, untuk menjaga kemurnian agama Islam ini, lalu selanjutnya para ulama kemudian juga mengikuti jalan para salafush sholih dalam berdzikir dan mengingkari hal-hal yang baru dalam agama ini.

Wallohu A’lam.

__________________________________________________
(1) Di antaranya kitab as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha kar. Dr. Bakar Abu Zaid (dan kami sarikan tulisan ini dari kitab tersebut. Demikian juga, telah difatwakan tentang masalah ini oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa: 22/506, Ibnul Qoyyim dalam Madarijus Salikin: 3/120, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah no. 83, Fatawa Rosyid Ridho: 3/435, Lajnah Fatwa al-Azhar dalam Majalah al-Azhar jilid 21 th. 1949, Fatawa Lajnah Da‘imah KSA no. 2229, dan lainnya.
(2) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 43-45.
(3) Akan tetapi, semua hadits tentang biji tasbih terbukti kelemahannya bahkan kepalsuannya sebagaimana kami jelaskan dalam pokok bahasan Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah.
(4) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 39. Al-Albani berkata kalimat السبحة (dengan makna biji tasbih) adalah kalimat yang baru yang tidak dikenal oleh orang-orang Arab (Silsilah Dho’ifah: 1/185).
(5) Lihat Ilmu Ushul Bida’ bab/pasal Hadyus Salaf wal Amal bin Nushushil Ammah.
(6) Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 102-103.
(7) Sebagaimana dikatakan al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/ 184.
(8) Dinukil secara ringkas dari Silsilah Dho’ifah: 1/ 185-187.
(9) Lihat Silsilah Dho’ifah: 3/47
(10) Demikian juga, ada hadits semisal dari Sa’ad bin Abi Waqqosh tetapi dalam sanadnya ada rowi majhul (periwayat tak dikenal) bernama Khuzaimah sebagaimana dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar, demikian juga rowi lainnya bernama Sa’id bin Abi Hilal dikatakan oleh Imam Ahmad rowi yang mukhtalith, dan ditambah lagi sebagian rowi hadits tidak menyebutkan Khuzaimah tetapi langsung dari Aisyah s\ sehingga hadits ini terputus. Kesimpulannya, hadits tersebut cacat—disebabkan oleh adanya rowi majhul—atau hadits tersebut terputus.
(11) Lihat Silsilah Dho’ifah no. 83, dan as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 16-19.
(12) Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Dr. Bakar Abu Zaid dalam kitab La Jadida Fi Ahkamish Sholat: 52-64.
(13) Seperti yang dikatakan oleh Ibnul Jazari dalam Syarah Ibnu Allan Lil Adzkar: 1/255, Ibnu Baz dalam Fatawa Islamiyyah hlm. 320, al-Albani dalam kitabnya Silsilah Dho’ifah: 3/47, demikian juga keputusan fatwa Lajnah Da‘imah KSA dalam fatwa no. 11829 tgl. 23 Romadhon 1422 H.
(14) Demikian pula hadits ini dihasankan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar: 23, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nata‘ij al-Afkar: 1/18.
(15) Dinukil secara bebas dari Kutub wa Rosa‘il Syaikh Ibnu Utsaimin: 1/198.
(16) Idem.

Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=150087125629&ref=nf

29 September 2009

Fenomena Foto Wanita di Facebook

Menyambung pembahasan mengenai 10 Faedah Menjaga Pandangan yang lalu, ada fenomena yang jika dibiarkan maka para musuh Allah akan leluasa melaksanakan misinya, yaitu fenomena foto wanita di facebook. Sebenarnya masalah ini sudah jelas dan terang jika kita tidak mengikuti hawa nafsu. Namun demikian, Saya akan berusaha mengingatkan kembali, karena sesungguhnya nasehat itu bukanlah menunjukkan iri dengkinya orang yang menasehati, justru menunjukkan sayangnya orang yang menasehati kepada orang yang dinasehati.

Berikut Saya bawakan fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin mengenai melihat wanita wanita melalui gambar/foto.

Ini bunyi teks aslinya:

وقد وسئل فضيلة الشيخ ابن عثيمين رحمه الله : عن تهاون كثير من الناس في النظر إلى صور

النساء الأجنبيات بحجة أنها صورة لا حقيقة لها ؟

فأجاب رحمه الله بقوله :
هذا تهاون خطير جداً ، وذلك أن الإنسان إذا نظر للمرأة سواء كان ذلك بوساطة وسائل الإعلام المرئية ، أو بواسطة الصحف أو غير ذلك ، فإنه لابد أن يكون من ذلك فتنة على قلب الرجل تَجُرّه إلى أن يتعمد النظر إلى المرأة مباشرة ، وهذا شيء مشاهد .


ولقد بلغنا أن من الشباب من يقتني صور النساء الجميلات ليتلذذ بالنظر إليهن ، أو يتمتع بالنظر إليهن ، وهذا يدل على عظم الفتنة في مشاهدة هذه الصور ، فلا يجوز للإنسان أن يشاهد هذه الصور ، سواء كانت في مجلات أو صحف أو غير ذلك .

Artinya:
Syaikh yang mulia Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin -rahimahullah- ditanya tentang sikap kebanyakan orang yang menyepelekan melihat gambar wanita ajnabiyyah (bukan mahrom) dengan alasan bahwa itu hanya gambar, tidak hakiki.

Syaikh rahimahullah menjawab, "ini sikap yang menyepelekan sekali, karena jika seseorang melihat wanita, baik melalui video, media cetak, atau selainnya, niscaya hal itu menyebabkan fitnah (kerusakan) di dalam hati seorang lelaki yang menggiringnya untuk melihat wanita tersebut secara langsung. Ini Fakta.

Kami telah mendengar bahwa ada sebagian pemuda yang terfitnah oleh gambar-gambar wanita yang cantik-cantik untuk dinikmatinya, dan ini menunjukkan besarnya fitnah melihat gambar tersebut. Maka tidak boleh seseorang melihat gambar tersebut, baik melalui majalah atau halaman buku, atau selainnya.
(selesai)

Pertanyaan untuk dijawab sendiri:

Untuk para lelaki:
Ketika anda melihat gambar/foto wanita, apa yang terbesit di dalam hati Anda? Kalau biasa saja, berarti perlu dipertanyakan kenormalannya, atau bisa jadi karena sudah keseringan melihat jadi sudah tidak terpengaruh lagi dengan gambar tersebut? na'udzubillahi min dzalik.


Untuk para wanita:
Apa yang anti harapkan dari memasang foto-foto anti? apakah anti berharap akan banyak yang suka dengan anti? atau tidak menyadari bahwa sebenarnya foto-foto anti itu telah dinikmati oleh para lelaki yang sedang lemah imannya? Kasihanilah kami kaum lelaki..

27 September 2009

PROFESSOR ATHEIS vs MAHASISWA

Perdebatan seru terjadi di kelas filsafat, membahas apakah Tuhan itu ada atau tidak. Profesor mengajak para mahasiswa berpikir dengan logika:

“Adakah di antara kalian yang pernah mendengar Tuhan?”
Tak ada yang menjawab.

“Adakah di antara kalian yang pernah menyentuh Tuhan?”
Lagi-lagi tak ada jawaban

“Atau ada di antara kalian yang pernah melihat Nya?!”
Masih tak ada jawaban

“Kalau begitu Tuhan itu tak ada”

Seorang mahasiswa yang religius mengacungkan tangannya, meminta izin untuk bicara.

“Apakah ada yang pernah mendengar otak profesor?” tanyanya pada seisi kelas.
Suasana hening.

“Apakah ada yang pernah menyentuh otak profesor?”
Suasana tetap hening

“Apakah ada yang pernah melihat otak profesor?”

Karena tak ada yang menjawab maka mahasiswa itu kemudian menyimpulkan,”Kalau begitu, profesor memang tak punya otak!”

Sumber : Muslim Story

Hitam di Dahi Tanda Niat Tidak Suci

Tanya:

“Bagaimana cara menyamarkan/menghilangkan noda hitam di kening/di jidat karena sewaktu sujud dalam shalat terlalu menghujam sehingga ada bekas warna hitam?”
0281764xxxx

Jawab:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

Yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29).

Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan.

Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik.

Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyuan.

Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).

عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟

Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut.

Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.

Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).

عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.

Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).

عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا.

Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).

عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.

Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah?
Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).

Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr).

Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”.

Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya.
Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”.

Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,

يَخْرُجُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ رِجَالٌ كَانَ هَذَا مِنْهُمْ هَدْيُهُمْ هَكَذَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُونَ فِيهِ سِيمَاهُمُ التَّحْلِيقُ لاَ يَزَالُونَ يَخْرُجُونَ

“Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Cirri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalul muncul”(HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth).

Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi.

---------
http://ustadzaris.com/hitam-hitam-di-dahi-tanda-niat-tidak-suci

KARAKTERISTIK AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH 'ALAA FAHMI SALAF

KARAKTERISTIK PENGIKUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Oleh : Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

[1]. Hanya bersumber kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mereka senantiasa menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber pengambilan, baik dalam ibadah, akidah, mu'amalah, sikap maupun akhlak. Setiap yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah mereka menerima dan menetapkannya. Sebaliknya, setiap yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah mereka menolaknya, tak peduli siapa pun yang berpendapat dengannya.

[2]. Menyerah kepada nash-nash syara', serta memahaminya sesuai dengan pemahaman As-Salafus Shalih. Mereka menyerah kepada nash-nash syara, baik mereka memahami hikmahnya maupun tidak. Mereka tidak menghakimi nash-nash tersebut dengan akal mereka, tetapi mereka menghakimi akal mereka dengan nash-nash syara'.

[3]. Itiba' dan meninggalkan ibtida'. Mereka tidak mendahului perkataan Allah dan Rasul-Nya, tidak meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka juga tida rela jika seseorang meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[4]. Mereka memperhatikan Al-Qur'an, baik dalam hal hafalan, bacaan maupun penafsiran. Juga perhatian dengan Al-Hadits, baik dalam hal dirayah (matan, isi hadits) maupun riwayah (pembawa hadits).

[5]. Mereka senantiasa berdalil dengan sunnah shahihah dan meninggalkan pembedaan antara hadits mutawatir dengan ahad, baik dalam hukum maupun aqidah.

[6]. Mereka tidak memiliki imam yang diagungkan, yang mereka ambil seluruh ucapannya kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka mereka menimbangnya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, jika ia sesuai dengan keduanya maka diterima, dan jika tida maka di tolak.

[7]. Mereka adalah orang yang paling mengerti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengetahui petunjuk, amal, ucapan dan ketetapan-ketetapannya. Karena itu, mereka adalah orang yang paling mencintai beliau dan paling setia mengikuti sunnahnya.

[8]. Mereka masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan beriman kepada Al-Qur'an secara keseluruhan pula [Al-Baqarah : 208].

[9]. Para pengikut Ahlus Sunnah mengagungkan para As-Salafush Shalih, meneladani dan menjadikan mereka sebagai teladan. Mereka melihat bahwa jalan para As-Salafus Shalih adalah jalan yang paling selamat, paling mengetahui dan paling bijaksana.

[10]. Mereka memadukan antara nash-nash tentang suatu persoalan dan mengembalikan al-mustasyabih (nash yang belum jelas) kepada al-muhkam (yang telah jelas ketentuannya), yang dengan demikian mereka bisa mencapai kebenaran dalam masalah tersebut.

[11]. Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah. Ini berbeda dengan selain mereka yang terkadang sibuk beribadah dengan meninggalkan ilmu, atau sebaliknya.

[12]. Mereka memadukan antara tawwakal kepada Allah dengan ikhtiar, mereka tidak mengingkari perlunya ikhtiar, sehingga tetap berusaha, tapi pada saat yang sama mereka tidak menggantungkan kepadanya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : " Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu berkata, 'Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu', tetapi katakanlah, 'Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki'. Karena ucapan 'seandainya' akan membuka (pintu) perbuatan setan". [Hadits Riwayat Muslim 8/56 No. 2664 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu].

[13]. Memadukan antara kekayaan harta dengan sikap zuhud terhadapnya. Para pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mengingkari orang yang memiliki kekayaan harta yang melimpah. Sebaliknya mereka memandang, setiap orang harus memenuhi kebutuhan dirinya dan orang yang ada di bawah tanggung jawabnya, dan tidak menggantungkan kepada orang lain. Tetapi, hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai puncak harapan dan keinginannya. Mereka juga tidak boleh membenci orang yang lebih menerima dan rela terhadap yang sedikit dari kesenangan dunia. Sebab mereka berpendapat, zuhud letaknya di hati, yakni meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi akhiratnya. Sedangkan orang yang lapang kekayaannya, tetapi ia meletakkannya di tangan dan tidak di hati, dan menyedekahkannya kepada fakir miskin, maka itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Dan itulah keadaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf dan para sahabat lainnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar radiyallahu 'anhum.

[14]. Mereka memadukan antara khauf (takut), raja' (harap) dan hubb (cinta), bahkan mereka berpendapat bahwa antara ketiganya tidaklah bertentangan. [As-Sajdah : 16]. Dalam hal ini terdapat ucapan yang mashur dari para salaf : "Siapa yang menyembah Allah hanya dengan cinta maka dia adalah zindiq, dan siapa yang menyembah Allah hanya dengan perasaan takut maka dia adalah haruri (Khawarij), dan siapa yang menyembah Allah hanya dengan harapan dia adalah Murji'. Sedang yang menyembah Allah dengan takut, cinta daan harapan maka dia adalah mukmin sejati".

[15]. Mereka memadukan antara kasih sayang dan lemah lembut dengan sikap keras dan kasar. Ini berbeda dengan selain golongan mereka yang berlaku keras atau lemah lembut dalam setiap kesempatan. Ahlus Sunnah wal Jama'ah senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya, menurut maslahat dan tuntutan kondisi.

[16]. Mereka memadukan antara akal dengan perasaan. Akal mereka jernih, perasaan mereka jujur dan ukuran yang mereka gunakan tepat. Mereka tidak mengalahkan akal atas perasaan atau sebaliknya, tetapi mereka memadukan antara keduanya dengan sesempurna mungkin. Perasaan mereka kuat, tetapi dikendalikan oleh akal, dan akal dikendalikan oleh syari'at : "Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki". [An-Nur : 35]

[17]. Keadilan merupakan keistimewaan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang paling agung. Mereka adalah orang yang paling adil, dan orang-orang yang paling berhak menta'ati firman Allah : "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah". [An-Nisaa' : 135]. Bahkan jika kelompok-kelompok lain bertikai maka mereka akan meminta keputusan hukum kepada Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

[18]. Amanah ilmiah. Di antara bentuk amanah ilmiah yaitu ketika menukil sesuatu, mereka tidak memalsukan atau memutarbalikkan fakta. Jika mereka menukil dari orang yang berbeda pendapat dengan mereka, maka mereka menukilnya dengan sempurna, tidak mengambil apa yang sesui dengan pendapatnya dan meninggalkan yang lain. Dan mereka tidak berfatwa atau memutuskan hukum kecuali berdasarkan apa yang mereka ketahui.

[19]. Mereka adalah kelompok moderat dan pilihan. Allah berfirman : "Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu, umat yang moderat dan pilihan". [Al-Baqarah : 143]. Sikap moderat Ahlus Sunnah wal Jama'ah tampak dalam banyak hal, baik dalam hal aqidah, hukum, perilaku, akhlak maupun lainnya. Mereka adalah kelompok pertengahan, antara yang berlebih-lebihan dan yang meremehkan.

[20]. Tidak berselisih dalam masalah-masalah prinsip aqidah. Para As-Salafush Shalih tidak berselisih dalam suatu persoalan prinsip-pun dalam agama, juga tidak dalam prinsip-prinsip aqidah. Dalam masalah Asma' dan Sifat-sifat Allah misalnya, pendapat mereka adalah satu. Pendapat mereka juga sama dalam masalah iman, defenisi dan berbagai persoalannya, dalam masalah takdir juga dalam masalah-masalah prinsip lainnya.

[21]. Mereka meninggalkan perseteruan dalam masalah agama, serta menjauhi orang-orang yang suka berseteru. Sebab perseteruan akan mengakibatkan fitnah, perpecahan, fanatisme buta dan hawa nafsu.

[22]. Perhatian untuk menyatukan kalimat umat Islam pada kebenaran. Mereka sangat peduli bagi kesatuan umat Islam, menghilangkan sebab-sebab pertikaian dan perpecahan. Sebab mereka mengetahui, persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab. Dan karena Allah memerintahkan persatuan dan melarang perselisihan. Allah berfirman : "Dan berpegang lah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai". [Ali-Imran : 103].

[23]. Mereka adalah orang-orang yang memiliki wawasan yang luas, pandangan yang jauh ke depan, paling lapang dada dalam soal perselisihan dan paling teguh memegang berbagai peringatan. Mereka tidak risih menerima kebenaran dari siapapun, juga tidak malu untuk kembali kepadanya. Selanjutnya, mereka tidak memaksakan orang lain mengikuti ijtihad mereka, tidak mengatakan sesat orang-orang yang menyelisihinya, dan tidak menjadi sesak dada mereka karena persoalan ijtihadiyah, yang di situ banyak orang berbeda paham. Termasuk tanda keluasan wawasan mereka yaitu mereka jauh dari fanatik, taklid buta dan hizbiyah.

[24]. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akhlak terpuji, rendah hati, penuh kasih sayang dan toleran. Dan mereka selalu mengajak kepada akhlak baik dan perbuatan terpuji.

[25]. Mereka senantiasa berdakwah kepada Allah dengan hikmah, pelajaran yang baik dan perbedaan dengan cara yang baik pula.

[26]. Mereka adalah ghuraba, orang-orang yang memperbaiki apa yang dirusak menusia dan selalu berbuat baik saat manusia lain rusak.

[27]. Mereka adalah Firqatun Najiyah, yang selamat dari berbagai bid'ah dan kesesatan di dunia ini dan selamat pula dari siksa Allah kelak di akhirat.

[28]. Mereka adalah Thaifah Manshurah (kelompok yang menang), karena Allah senantiasa bersama mereka menolong dan meneguhkan mereka.

[29]. Mereka tidak setia atau memusuhi kecuali berdasarkan agama. Mereka tidak memenangkan hawa nafsunya, juga tidak marah karenanya. Semua kesetiaan dan kebenciannya hanyalah semata-mata karena Allah.

[30]. Selamat dari sikap saling mengkafirkan satu sama lain. Ahlus Sunnah hanya membantah dan menjelaskan kebenaran kepada orang yang berselisih dengan mereka. Ini berbeda dengan kelompok lain seperti Khawarij yang senang berselisih, menyesatkan dan mengkafirkan.

[31]. Hati dan lisan mereka selamat dari mencerca shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya, hati mereka dipenuhi kecintaan kepada para sahabat, lisan mereka senantiasa basah memuji, karena Ahlus Sunnah berpendapat bahwa para shahabat adalah sebaik-baik generasi sebagaimana dinyatakan Allah dan Rasul-Nya.

[32]. Mereka selamat dari keragu-raguan, keguncangan dan kontradiksi. Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang awam di antara mereka. Berbeda dengan ahli kalam atau kelompok lainnya. Ar Razi, misalnya, salah seorang pembesar ilmu kalam yang karena kebingungan dan keguncangannya, dalam salah satu syairnya mengatakan : " Dan akhir dari usaha para ilmuwan adalah kesesatan". Bandingkanlah hal itu dengan ucapan Umar bin Abdul Aziz : "Di pagi hari aku tidak merasakan kegembiraan kecuali dalam qadha' dan qadar".

[33]. Selalu mengecek ulang berita-berita yang datang dan tidak gampang men-genalisir hukum. Mereka tidak mudah menghukumi fasik, kafir atau tuduhan-tuduhan lain tanpa bukti dan asalan-alasan nyata.

[34]. Mereka mendapatkan berita gembira saat datangnya kematian, karena keimanan dan istiqamah mereka dalam keimanan tersebut. [Fush-shilat : 30].

[35]. Kebaikan mereka di lipat gandakan dan derajat mereka ditingkatkan, hal itu karena aqidah mereka benar dan iman mereka kuat.

Karena semua hal di atas tidak berarti Ahlus Sunnah adalah orang-orang maksum. Tetapi manhaj (jalan) dan jama'ah mereka adalah yang maksum. Jika Ahlus Sunnah memiliki kesalahan kelompok lain lebih banyak, dan jika kelompok lain memiliki keutamaan dan ilmu maka keutamaan dan ilmu Ahlus Sunnah lebih sempurna dan lengkap.

Karena itulah, menjadi sesuatu yang niscaya agar kita meniti manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

[Sumber : Mukhtashar Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Buletin Dakwah An Nur Thn IV/No.140/ Jum'at II/R.Awal 1419H]

BEBERAPA KARAKTERISTIK ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WALJAMA'AH

Sesungguhnya orang yang mau berfikir obyektif, jika ia mau melakukan perbandingan antara berbagai keyakinan yang ada di antara umat manusia saat ini, niscaya ia menemukan beberapa karakteristik dan ciri-ciri dari ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang merupakan ‘aqidah Islamiyah yang haq (benar) berbeda dengan lainnya.

Karakter Dan Ciri-Ciri Itu Diantaranya:

[1]. Keotentikan Sumbernya.

Hal ini karena ‘aqidah Ahlus Sunnah semata-mata hanya bersandarkan kepada al-Qur-an, hadits dan ijma’ para ulama Salaf serta penjelasan dari mereka. Ciri ini tidak terdapat pada aliran-aliran Mutakalimin, ahli bid’ah dan kaum Sufi yang selalu bersandar kepada akal dan pemikiran atau kepada kasyaf, ilham, wujud dan sumber-sumber lain yang berasal dari manusia yang lemah. Mereka jadikan hal tersebut sebagai patokan atau sandaran di dalam masalah-masalah yang ghaib. Padahal ‘aqidah itu semuanya ghaib.

Sedangkan Ahlus Sunnah selalu berpegang teguh al-Qur-an dan Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Ijma’ Salafush Shalih dan penjelasan-penjelasan dari mereka. Jadi, ‘aqidah apa saja yang bersumber dari selain al-Qur-an, hadits, ijma’ Salaf dan penjelasan mereka itu, maka adalah termasuk kesesatan dan kebid’ahan.[1].

[2]. Berpegang Teguh Kepada Prinsip Berserah Diri Kepada Allah Dan Kepada Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam

Sebab ‘aqidah adalah masalah yang ghaib, dan hal yang ghaib itu hanya tegak dan bersandar kepada kepasrahan (taslim) dan keyakinan sepenuhnya (mutlak) kepada Allah (dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam). Maksudnya, hal tersebut adalah apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya (wajib diterima dan diyakini sepenuhnya. Taslim merupakan ciri dan sifat kaum beriman yang karenanya mereka dipuji oleh Allah, seraya berfirman:

"Artinya : Alif Laam Mim. Kitab al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka beriman kepada yang ghaib..."[Al-Baqarah: 1-3]

Perkara ghaib itu tidak dapat diketahui atau dijangkau oleh akal, maka oleh karena itu Ahlus Sunnah membatasi diri di dalam masalah ‘aqidah kepada berita dan wahyu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sangat berbeda dengan Ahli bid’ah dan Ahli Kalam (mutakalimin). Mereka memahami masalah yang ghaib itu dengan berbagai dugaan. Tidak mungkin mereka mengetahui masalah-masalah ghaib. Mereka tidak melapangkan akalnya [2]. dengan taslim, berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula menyelamatkan ‘aqidah mereka dengan ittiba’ dan mereka tidak membiarkan kaum Muslimin awam berada pada fitrah yang telah Allah fitrahkan kepada mereka.[3]

[3]. Sejalan Dengan Fitrah Yang Suci Dan Akal Yang Sehat.

Hal itu karena ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jam’ah berdiri di atas prinsip ittiba’ (mengikuti), iqtidha’ (meneladani) dan berpedoman kepada petunjuk Allah, bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ‘aqidah generasi terdahulu (Salaful Ummah). ‘Aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari sumber fitrah yang suci dan akal yang sehat itu sendiri serta pedoman yang lurus. Betapa sejuknya sumber rujukan ini. Sedangkan ‘aqidah dan keyakinan golongan yang lain itu hanya berupa khayalan dan dugaan-dugaan yang membutakan fitrah dan membingungkan akal belaka.[4].

[4]. Mata Rantai Sanadnya Sampai Kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Para Shahabatnya Dan Para Tabi’in Serta Para Imam Yang Mendapatkan Petunjuk

Tidak ada satu dasar pun dari dasar-dasar ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak mempunyai dasar atau sanad atas qudwah (contoh) dari para Shahabat, Tabi’in dan para Imam yang mendapatkan petunjuk hingga Hari Kiamat. Hal ini sangat berbeda dengan ‘aqidah kaum mubtadi‘ah (ahli bid’ah) yang menyalahi kaum Salaf di dalam ber‘aqidah. ‘aqidah mereka merupakan hal yang baru (bid’ah) tidak mempunyai sandaran dari al-Qur'an dan as-sunnah, ataupun dari para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Tabi’in. Oleh karena itu, maka mereka berpegang kepada kebid’ahan sedangkan setiap bid’ah adalah kesesatan.[5]

[5]. Jelas Dan Gamblang.

‘Aqidah Ahlus Sunnah mempunyai ciri khas yaitu gamblang dan jelas, bebas dari kontradiksi dan ketidakjelasan, jauh dari filsafat dan kerumitan kata dan maknanya, karena ‘aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari firman Allah yang sangat jelas yang tidak datang kepadanya kebatilan (kepalsuan) baik dari depan maupun dari belakang, dan bersumber dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya. Sedangkan ‘aqidah dan keyakinan yang lainnya berasal dari ramuan yang dibuat oleh manusia atau ta’wil dan tahrif mereka terhadap teks-teks syar’i. Sungguh sangat jauh perbedaan sumber dari ‘aqidah Ahlus Sunnah dan kelompok yang lainnya. ‘Aqidah Ahlus Sunnah adalah tauqifiyah (berdasarkan dalil/nash) dan bersifat ghaib, tidak ada pintu bagi ijtihad sebagaimana yang telah dimaklumi.[6]

[6]. Bebas Dari Kerancuan, Kontradiksi Dan Kesamaran.

‘Aqidah Islam yang murni ini tidak ada kerancuan padanya, tidak pula kontradiksi dan kesamaran. Hal itu karena ‘aqidah tersebut bersumber dari wahyu, kekuatan hubungan para penganutnya dengan Allah, realisasi ubudiyah (penghambaan) hanya kepada-Nya semata, penuh tawakkal kepada-Nya semata, kekokohan keyakinan mereka terhadap al-haq (kebenaran) yang mereka miliki. Orang yang meyakini ‘aqidah Salaf tidak akan ada kebingungan, kecemasan, keraguan dan syubhat di dalam beragama. Berbeda halnya dengan para ahli bid’ah, tujuan dan sasaran mereka tidak pernah lepas dari penyakit bingung, cemas, ragu, rancu dan mengikuti kesamaran.

Sebagai contoh yang sangat jelas sekali adalah keraguan, kegoncangan dan penyesalan yang terjadi pada para tokoh terkemuka mutakallimin (ahlu kalam), tokoh filosof dan para tokoh sufi sebagai akibat dari sikap mereka menjauhi ‘aqidah Salaf. Dan kembalinya sebagian mereka kepada taslim dan pengakuan terhadap ‘aqidah Salaf, terutama ketika usia mereka sudah lanjut atau mereka meng-hadapi kematian, sebagaimana yang terjadi pada Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H). Beliau telah merujuk kembali kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (‘aqidah Salaf) sebagaimana dinyatakan di dalam kitabnya, al-Ibanah ‘an Ushuliddiyanah, setelah sebelumnya menganut ‘aqidah mu’tazilah, kemudian talfiq (paduan antara ‘aqidah mu’tazilah dan ‘aqidah Salaf) dan akhirnya kembali kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hal serupa juga dilakukan oleh Imam al-Baqillani (wafat th. 403 H) sebagaimana dinyatakan dalam kitab at-Tamhid, dan masih banyak lagi tokoh terkemuka lainnya. [7]

[7]. ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Merupakan Faktor Utama Bagi Kemenangan Dan Kebahagian Abadi Di Dunia Dan Akhirat.

‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan faktor utama bagi terealisasinya kesuksesan, kemenangan dan keteguhan bagi siapa saja yang menganutnya dan menyerukannya kepada umat manusia dengan penuh ketulusan, kesungguhan dan kesabaran. Golongan yang berpegang teguh kepada ‘aqidah ini yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang diberikan kemenangan dan pertolongan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Akan tetap ada satu golongan dari umatku yang berdiri tegak di atas al-haq (kebenaran), tidak akan membahayakan bagi mereka siapa yang tidak menghiraukannya hingga datang perintah Allah (hari kiamat) tiba dan mereka tetap seperti itu. [8]

[8]. ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Adalah ‘Aqidah Yang Dapat Mempersatukan Umat.

‘Aqidah Ahlus Sunnah merupakan jalan yang paling baik untuk menyatukan kekuatan kaum Muslimin, kesatuan barisan mereka dan untuk memperbaiki apa-apa yang rusak dari urusan agama dan dunia. Hal ini dikarenakan ‘aqidah Ahlus Sunnah mampu mengembalikan mereka kepada al-Qur'an dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan jalannya kaum mu’minin yaitu jalannya para Shahabat. Keistimewaan ini tidak mungkin terealisasi pada suatu golongan mana pun, atau lembaga da’wah apapun atau organisasi apapun yang tidak menganut ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sejarah adalah saksi dari kenyataan ini! Hanya negara-negara yang berpegang teguh kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah sajalah yang dapat menyatukan kekuatan kaum Muslimin yang berserakan, hanya dengan ‘aqidah Salaf maka jihad serta amar ma’ruf dan nahi munkar itu tegak dan tercapailah kemuliaan Islam.[9]

[9]. Utuh, Kokoh Dan Tetap Langgeng Sepanjang Masa.

‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah utuh dan sama dalam masalah prinsipil (ushuludin) sepanjang masa dan akan tetap seperti itu hingga hari Kiamat kelak. Artinya ‘aqidah Ahlus Sunnah selalu sama, utuh dan terpelihara baik secara riwayat maupun keilmuannya, kata-kata, maupun maknanya. Ia diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya tanpa mengalami perubahan, pencampuradukan, kerancuan dan tidak mengalami penambahan maupun pengurangan. Hal tersebut karena ‘aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari al-Qur'an yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakang dan dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak pernah berbicara dengan hawa nafsu. [10]

[10]. Allah Menjamin Kehidupan Yang Mulia Bagi Orang Yang Menetapi ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Berada dalam naungan ‘aqidah Ahlus Sunnah akan menyebabkan rasa aman dan kehidupan yang mulia. Hal ini karena ‘aqidah Ahlus Sunnah senantiasa menjaga keimanan kepada Allah dan mengandung kewajiban untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar. Orang yang beriman dan bertauhid akan mendapatkan rasa aman, kebaikan, kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasa aman senantiasa menyertai keimanan, apabila keimanan itu hilang maka hilang pula rasa aman.

Firman Allah:

"Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." [Al-An’aam: 82].

Orang yang bertaqwa dan beriman akan mendapatkan rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna di dunia dan akhirat. Adapun orang yang berbuat syirik, bid’ah dan maksiyat mereka adalah orang yang selalu diliputi dengan rasa takut, was-was, tidak tenang dan tidak ada rasa aman. Mereka selalu diancam dengan berbagai hukuman dan siksaan pada setiap waktu. [11]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 33-34
[2]. Hal ini tidak boleh difahami bahwa Islam mengekang akal, menonaktifkan fungsinya dan menghapus bakat berfikir yang ada pada manusia, namun seba-liknya, Islam menyediakan bagi akal banyak sarana untuk mengetahui, mengamati, berfikir dan berkarya, sesuatu yang cukup merangsang keinginannya terhadap ciptaan Allah. Wallaahu a’lam.
[3]. Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 34.
[4]. Ibid.
[5]. Lihat Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (I/9) dan Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 35).
[6]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 35).
[7]. Lihat Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah IV/72-73 dan Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 35-36.
[8]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1920) dan at-Tirmidzi (no. 2229), dari Shahabat Tsauban Radhiyallahu'anhu.
[9]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 37-38).
[10]. Ibid, hal. 38-39.
[11]. Lihat ‘Aqiidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Mafhumuha, Khashaa'isuha, Khasaa-isu Ahliha (hal. 37) karya Muhammad bin Ibrahim al-Hamd. Cetakan I-1416 H.

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1443&bagian=0

26 September 2009

Manfa'atkanlah Al-Qur'an Desuai Dengan Tujuan

Pertama-tama, haruslah kita mengetahui untuk apa al-qur'an itu kita manfa'atkan.

Allah ta’ala telah berfirman tentang Al-Qur’an :

إِنّ هَـَذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشّرُ الْمُؤْمِنِينَ الّذِينَ يَعْمَلُونَ الصّالِحَاتِ أَنّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” [QS. Al-Israa’ : 9].

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لّيَدّبّرُوَاْ آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكّرَ أُوْلُو الألْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” [QS. Shaad : 29].

وَنُنَزّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظّالِمِينَ إَلاّ خَسَاراً

“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” [QS. Al-Israa’ : 82].

Dan masih banyak lagi ayat yang lain yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk, rahmat, obat penawar, dan jalan selamat bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat.

Sudah barang tentu bahwa segala hal yang menjadi tujuan diturunkan Al-Qur’an ini akan bermanfaat bagi manusia bila mereka membacanya, men-tadabur-inya (merenungkan/menghayati), serta mengamalkan segala kandungannya.

Al-Qur’an tidak akan banyak bermanfaat jika hanya sekedar dimiliki, dipajang, dijadikan hiasan [yakni dengan kaligrafi-kaligrafi yang tentunya kita tidak dapat mengambil manfaat dari kaligrafi tersebut karena sulitnya kita untuk dapat membacanya, begitupun dalam hal ini, seperti menjadikannya sebagai ringtone, yang tidak menempatkan al-qur'an pada manfa'atnya yang sebenarnya], atau disimpan di dalam rumah.

Tidak dipungkiri bahwa Al-Qur’an mempunyai fadlilah (keutamaan) yang cukup banyak. Termasuk dalam hal ini adalah dapat melindungi diri serta mengusir gangguan syaithan. Melalui perantaraan (wasilah) apa fadlilah tersebut didapatkan? Dengan membacanya (dan mengetahui maknanya) atau sekedar memajangnya di dinding dan di atas pintu ? Tentu kita semua memahami bahwa fadlilah tersebut akan kita dapatkan jika kita membacanya.

Råsulullåh shållallåhu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَأْخُذُ مَضْجَعَهُ يَقْرَأُ سُوْرَةً مِنْ كتَابِ اللهِ إِلا وَكَّلَ اللهُ بِهِ مَلَكاً فَلاَ يَقْرَبَهُ شيْءٌ يُؤْذِيْهِ حَتَّى يَهُبَّ مَتَى هَبَّ

”Tidaklah seorang muslim yang mengambil tempat pembaringannya lalu membaca satu surat dari Kitabullah kecuali Allah mengutus seorang malaikat. Maka tidak ada sesuatu yang mendekatinya dapat menyakitinya hingga ia bangun kapan saja ia terbangun”

[HR. Tirmidzi no. 3407. Sanadnya dla’if menurut Asy-Syaikh Al-Albani, akan tetapi dihasankan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam komentarnya terhadap kitab Al-Adzkar].

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌُ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حِيْنَ تَمْسِي وَحِيْنَ تُصْبِحُ ثَلاثَ مَرَّاتٍِ تَكْفِيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍِ

”Surat Al-Ikhlash dan Al-Mu’awwidzatain (QS. Al-Falaq dan An-Naas) jika dibaca pada waktu sore dan pagi hari sebanyak tiga kali, akan mencukupimu dari segala sesuatu”

[HR. Abu Dawud no. 5082, An-Nasa’i 8/250, At-Tirmidzi no. 3575, dan Ahmad 5/312; hasan shahih].

لا تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ

”Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya syaithan itu akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah”

[HR. Muslim no. 780].

من قالها حين يمسي أجير منها حتى يصبح ومن قالها حين يصبح أجير منها حتى يمسي

”Barangsiapa yang membaca ayat Kusi pada waktu sore hari, maka ia dijaga dari gangguan jin hingga pagi hari. Dan barangsiapa yang membacanya di waktu pagi hari, maka ia akan dijaga hingga sore hari”

[lihat Shahih At-Targhib juz 1 no. 662].

اقْرَأُوْا سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلا تَسْتَطِيْعُهَا الْبَطَلَةُ

”Bacalah surat Al-Baqarah, karena membacanya akan mendatangkan berkah dan meninggalkannya berarti kerugian. Tukang sihir tidak akan bisa berbuat jahat kepada pembacanya”

[HR. Muslim no. 804].

الْآيَتَانِ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ مَنْ قَرَأَهُمَا فِيْ لَيْلَةٍِ كَفَتَاهُ

”Dua ayat terakhir dari Surat Al-Baqarah, barangsiapa yang membacanya di malam hari maka ia telah mencukupkannya”

[HR. Bukhari no. 3786 dan Muslim no. 807].[1]

Semua nash yang shahih menunjukkan bahwa fadlilah ayat-ayat Al-Qur’an hanya dapat diperoleh – minimal – jika kita membacanya.

Al-Qur’an bukanlah jimat yang ayat-ayatnya ditulis dan dibungkus dalam kain untuk menolak bala’ dan bahaya. Al-Qur’an pun bukanlah hiasan dan barang penglaris dagangan sehingga manusia bermegah-megahan dengannya. Tidak kita dapatkan contoh dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, para shahabat, atau para ulama terpercaya setelah mereka yang memajang ayat Al-Qur’an di dinding sebagai hiasan dan penolak setan.

Abu ’Ubaid meriwayatkan dalam kitab Fadlaailul-Qur’an (1/111) dengan sanad shahih dari Ibrahim An-Nakha’i bahwa ia berkata : ”Mereka (para shahabat radliyallaahu ’anhum) membenci segala macam tamimah (jimat) [2], baik yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an atau bukan dari ayat-ayat Al-Qur’an”.

Fatwa-fatwa 'ulama mengenai penyalahgunaan al-qur'an

1. Fatwa dari Al-Lajnah Ad-Daaimah terkait dengan penggunaan al-qur'an sebagai hiasan.

س: يجري بيع لوحات تعلق على الحائط مكتوب عليها آية الكرسي تعلق على الغرف تكريما وافتخارا بالقرآن الكريم، هل مثل هذه اللوحات محرم بيعها في الأسواق واستيرادها إلى المملكة؟

ج: القرآن نزل ليكون حجة على العالمين، ودستورا ومنهاجا لجميع أفراد المسلمين، يحلون حلاله ويحرمون حرامه، ويعملون بمحكمه، ويؤمنون بمتشابهه، يحفظ في الصدور، ويكتب في المصاحف والرقاع والألواح ونحوها؛ للرجوع إليه وتلاوته منها عند الحاجة، هذا هو الذي فهم المسلمون الأوائل ودرج عملهم عليه، أما ما بدأ يظهر في هذه الأزمنة من كتابة بعض القرآن على لوحة أو رقعة كتابة مزخرفة وتعليقها داخل غرفة أو سيارة أو نحو ذلك فلم يكن هذا من عمل السلف، وقد يكون في ذلك من المفاسد أعظم مما قصد الكاتب أو المعلق من تعظيمه والافتخار به من شغل المعتنين بذلك عن الاهتمام بأغراض القرآن التي نزل من أجلها، فالأولى بالمسلم أن يترك هذه الأشياء ويبتعد عن التعامل فيها، وإن كان الأصل فيها الحل خشية أن يكثر استعمالها والتعامل فيها فتشغل الناس عما هو المقصود من القرآن.وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

Soal :

Seringkali dilakukan penjualan hiasan dinding yang tercantum di dalamnya ayat Kursi. Hal itu biasanya ditempel di ruangan sebagai bentuk penghormatan dan rasa bangga terhadap Al-Qur’an Al-Kariim. Apakah hiasan-hiasan tersebut diharamkan untuk menjualnya di pasar-pasar dan mendatangkannya ke kerajaan/negeri ini ?

Jawab :

Al-Qur’an diturunkan supaya menjadi hujjah atas alam ini serta menjadi undang-undang dan manhaj bagi seluruh kaum muslimin. Mereka menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram (di dalam Al-Qur’an), mengamalkan hukumnya, iman terhadap ayat-ayat mutasyabihaat.

Al-Qur’an dihafal di dada (kaum muslimin), dan ditulis dalam lembaran-lembaran, dedaunan dan pelepah, serta yang lainnya; untuk dijadikan rujukan dan membacanya (dari lembaran itu) ketika dibutuhkan. Inilah yang dipahami generasi pertama kaum muslimin dan mereka beramal di atasnya.

Adapun sesuatu yang baru muncul di jaman belakangan ini, berupa penukilan sebagian (ayat-ayat) Al-Qur’an pada hiasan atau kertas tulisan yang dihiasi serta menempelkannya dalam ruangan; maka itu semua bukan termasuk amalan generasi salaf. Dan bisa saja kerusakan yang timbul dengan sebab itu lebih besar daripada pengagungan dan rasa bangga yang dimaksud oleh orang yang menulis atau menempelkannya. Yaitu efeknya yang berupa membuat para pemerhati barang itu disibukkan dari memperhatikan tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an.

Maka sebaiknya seorang muslim meninggalkan hal-hal ini dan menjauhkan (diri) dari berinteraksi (at-ta’aamul) di dalamnya, meskipun pada dasarnya hal tersebut halal. Hal tersebut dilakukan karena khawatir bahwa perbuatan dan interaksi tersebut akan merajalela sehingga menyibukkan manusia dari maksud Al-Qur’an yang sebenar-benarnya.

Wabillaahit-taufiq. Wa shallallaahu ’alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Iftaa’ – ’Abdul-’Aziz bin Baaz (Ketua), ’Abdurrazzaq Al-’Afifi (Wakil Ketua), ’Abdullah bin Ghudayan (Anggota); dan ’Abdullah bin Qu’ud (anggota).

[Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah no. 1871, juz 4 halaman 72 – 73.]

2. Fatwa Syaikh Al-Fauzan mengenai dijadikannya al-qur'an sebagai nada dering (ringtone)

ما رأيكم فيمن يضع في الجوالِ بدلا مِن الموسيقى أذان أو قراءة القرآنِ الكريم؟

حكم استعمالِ الأذان والقرآن الكريم بدلا مِن الموسيقى في الجوالات
ما رأيكم فيمن يضع في الجوالِ بدلا مِن الموسيقى أذان أو قراءة القرآنِ الكريم؟
هذا امتهانٌ للأذانِ والذِّكر وللقرآن الكريم؛ فلا يُتخذ لأجل التنبيه.
ما يُتخذُ القرآنُ لأجل التنبيه؛ يُقال: هذا خيرٌ مِن الموسيقى ! طيب الموسيقا: أنت مُلزَم بها ؟!! اترك الموسيقى، ضع شيء منبِّه، لا فيه موسيقى،
ولا فيه قرآن، منبه فقط
[من شريط بعنوان: " لقاء مفتوح مع الشيخ العلاّمة صالح بن فوزان الفوزان - حفظه الله- " بتاريخ 23 -10-1426هـ].

Soal:

Apa pendapat anda tentang penggunaan adzan atau qiraat Al-Qur'an sebagai nada dering handphone untuk menggantikan ringtone musik?

Jawab:

Hal ini merupakan penghinaan atau termasuk merendahkan (penyalahgunaan) terhadap adzan, dzikir, dan Alquran.

Jadi, tidak seharusnya menjadikannya sebagai alarm (ringtones). Alquran tidak boleh dijadikan sebagai alarm/nada dering.

Jika dikatakan: “Ini lebih baik daripada musik!” Bantahlah: “Ya, apakah kamu terpaksa dengan musik?!

Tinggalkan musik dan taruhlah sesuatu yang ada sebagai ringtone, seperti bunyi normal.

Sesuatu yang bukan mengandung musik ataupun yang mengandung Alquran. Sesuatu yang sederhana sebagai bunyi dering.

Kesimpulan:

Tidak dibenarkan memasang Al-Qur’an di dinding atau yang lainnya untuk tujuan mengusir setan ataupun sebagai hiasan. Setan hanya akan lari ketika ayat Al-Qur’an dibaca dan diperdengarkan. Bukan dengan dipajang. Al-Qur’an diturunkan juga bukan sebagai hiasan [seperti menjadikannya dalam bentuk-bentuk seperti kaligrafi atau ringtone] yang justru rentan menimbulkan riya’ bagi pelakunya [3]. Sudah selayaknya setiap muslim menghindari hal-hal yang demikian. [Dan sebaiknya, kita hanya menggunakan al-qur'an sesuai dengan tujuan diturunkannya]

Wallaahu a’lam.

Dinukil dari tulisan Abul-Jauzaa'
(dengan penambahan yang seperlunya tanpa merubah makna)

Dengan judul asli:
Hukum Al-Qur'an yang Dipajang Sebagai Hiasan dan Pengusir Setan

Catatan kaki :

[1] An-Nawawi berkata : “Ada yang mengatakan yaitu cukup baginya dari qiyamul-lail; ada pula yang mengatakan yaitu cukup baginya dari (gangguan) syaithan; dan ada pula yang mengatakan yaitu cukup baginya dari berbagai gangguan penyakit. Dan kemungkinan juga dari semuanya” [Syarah Shahih Muslim 6/91].

[2] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya jampi-jampi, tamiimah (jimat-jimat), dan tiwalah (pellet, susuk, dan sejenisnya) termasuk syirik” [HR. Abu Dawud no. 3883, Ibnu Majah no. 3530, Ahmad 1/381, dan lain-lain; shahih].

[3] Sebagian orang memajang ayat-ayat Al-Qur’an di dinding (atau menjadikannya sebagai ringtone) ingin menunjukkan tentang iltizam (komitmen) mereka terhadap syari’at. Padahal banyak diantara mereka yang justru jauh dari syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari yang mereka jalani !

Diantara mereka ada yang memasang ayat-ayat haji, namun mereka sendiri tidak berhaji padahal mampu.

Diantara mereka ada yang memasang ayat-ayat hijab (jilbab) tapi istri dan anak mereka tidak memakai jilbab.

Diantara mereka ada yang memasang ayat-ayat tentang shalat, tapi ia dan keluarganya sering melalaikannya……

Allaahul-Musta’an !

25 September 2009

SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP ILMU FILSAFAT/ILMU

Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Imam Abu Hanifah Rahimahullah berkata: “Aku telah menjumpai para ahli Ilmu Kalam/Ilmu Filsafat. Hati mereka keras, jiwanya kasar, tidak peduli jika mereka bertentangan dengan al-Qur-an dan as-Sunnah. Mereka tidak memiliki sifat wara’ dan tidak juga takwa.” [1]

Imam Abu Hanifah Rahimahullah juga berkata saat ditanya tentang pembahasan dalam ilmu kalam dari sosok dan bentuk, ia berkata: “Hendaklah engkau berpegang kepada as-Sunnah dan jalan yang telah ditempuh oleh Salafush Shalih. Jauhi olehmu setiap hal baru, karena ia adalah bid’ah.” [2]

Al-Qadhi Abu Yusuf (wafat th. 182 H) Rahimahullah [3], murid dari Abu Hanifah Rahimahullah, berkata kepada Bisyr bin Ghiyaats al-Marisii: [4] “Ilmu tentang kalam adalah suatu kebodohan dan bodoh tentang Ilmu Kalam adalah suatu ilmu. Seseorang, manakala menjadi pemuka agama atau tokoh ilmu kalam, maka ia adalah zindiq atau dicurigai sebagai zindiq (kafir).” Dan beliau berkata pula: “Barangsiapa yang belajar ilmu kalam, ia akan menjadi zindiq...” [5]

Imam Ahmad Rahimahullahberkata: “Pemilik ilmu kalam/Ilmu Filsafat tidak akan beruntung selamanya. Para ulama kalam itu adalah orang-orang zindiq (kafir).” [6]

Imam Ibnul Jauzy Rahimahullah(wafat th. 597 H) berkata: “Para ulama dan fuqaha (ahli fuqaha) umat ini dahulu mendiamkan (mengabaikan) ilmu kalam bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mereka menganggap ilmu kalam itu tidak mampu menyembuhkan seorang yang haus, bahkan dapat menjadikan seorang yang sehat menjadi sakit. Oleh karena itu, mereka tidak memberi perhatian kepadanya dan melarang untuk terlibat di dalamnya.” [7]

Imam Syafi’i Rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang memiliki ilmu kalam, ia tidak akan beruntung.” Beliau juga mengucapkan: “Hukum untuk Ahli Kalam menurutku adalah mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan sandal atau sepatu dan dinaikkan ke unta, lalu diiring keliling kampung. Dan dikatakan: ‘Inilah balasan orang yang meninggalkan al-Kitab dan as-Sunnah dan mengambil ilmu Kalam.’” [8]

Beliau Rahimahullah juga menyatakan [9]

Segala ilmu selain al-Qur-an hanyalah menyibukkan.
terkecuali ilmu hadits dan fiqh untuk mendalami agama.
Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: “Qoola Hadatsana (Telah menyampaikan hadits kepada kami).”
selainnya itu adalah ‘gangguan syaitan’ belaka.

_________
Foote Note
[1]. Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/74) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil.
[2]. Ibid, I/75.
[3]. Beliau adalah murid Abu Hanifah yang paling pintar, seorang ahli hadits dan termasuk Qadhi yang masyhur. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (VIII/535-539).
[4]. Ia adalah seorang tokoh Ahlul Bid’ah yang sesat, ayahnya seorang Yahudi. Ia mengambil pendapat-pendapat Jahm bin Shafwan dan berhujjah dengannya. Ia termasuk orang yang menguasai ilmu Kalam.
Qutaibah bin Sa’id berkata: “Bisyr al-Mariisi adalah kafir.” Dan Abu Zur’ah ar-Raaziy berkata: “Bisyr al-Mariisi adalah zindiq.” Bisyr mati pada tahun 218 H. Lihat Miizanul I’tidal karya Imam adz-Dzahabi (I/322-323 no. 1214).
[5]. Syarah ‘Aqiidah ath-Thahawiyah, tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki (hal. 17).
[6]. Lihat kitab Talbis Iblis (hal. 112).
[7]. Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/75) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil.
[8] Lihat Ahaadits fii Dzammil Kalam wa Ahlihi (hal. 99) karya Imam Abul Fadhl al-Maqri’ (wafat th. 454 H), tahqiq Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda‘I; Jaami’ul Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi karya Ibnu ‘Abdil Barr (II/941), dan Syarah ‘Aqiidah Thahawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki, hal. 17-18.
[9]. Lihat Diwan Imam Syafi’i hal 388 no. 206, tartib dan syarah Muhammad ‘Abdur-rahim, cet. Daarul Fikri 1415 H
___________
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
______________________

LARANGAN IMAM MALIK TERHADAP ILMU KALAM DAN BERDEBAT DALAM AGAMA

Oleh :Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush'ab bin Abdullah bin az-Zubairi, katanya, Imam Malik pernah berkata: "Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja. karena hal-hal di atas [1]

[2]. Imam Abu Nu'aim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi, katanya, saya mendengar Imam Malik berkata: "Seandainya ada orang melakukan dosa besar seluruhnya kecuali menjadi musyrik. kemudian dia melepaskan diri dari bid'ah-bid'ah Ilmu Kalam ini, dia akan masuk surga." [2]

[3]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik berkata, "Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan bohong."[3]

[4]. Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, saya mende-ngar Imam Malik berkata: "Berdebat dalam agama itu aib (cacat)." Beliau juga berkata: "Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" [4]

[5]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Mahdi, katanya, saya masuk ke rumah Imam Malik, dan di situ ada seorang yang sedang ditanya oleh Imam Malik: "Barangkali kamu murid dari 'Amir bin 'Ubaid. Mudah-mudahan Allah melaknat ‘Amr bin ‘Ubaid karena dialah yang membuat bid’ah Ilmu Kalam. Seandainya kalam itu merupakan Ilmu, tentulah para Sahabat dan Tabi’in sudah membicarakannya, sebagaimana mereka juga berbicara masalah hukum (fiqih) dan syari’ah.”[5]

[6]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari ‘Aisyah bin Abdul Aziz, katanya, saya mendengar Imam Malaik berkata: “Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”. Imam Malik menjawab: “Penganut bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah. Mereka tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para Sahabat dan Tabi’in tidak membicarakannya.” [6]

[7]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam Syafi’i, katanya, Imam Malik bin Anas, apabila kedatangan orang yang dalam agama mengikuti seleranya saja, beliau berkata: “Tentang diri saya sendiri, saya sudah mendapatkan kejelasan tentang agama dari Tuhanku. Sementara anda memilih ragu-ragu. Pergilah saja kepada orang-orang yang masih ragu-ragu, dan debatlah dia.”[7]

[8]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad al-Mishri al-Maliki, di mana ia berkata dalam bab al-Ijarat dalam kitab al-Khilaf, Imam Malik berkata: “Tidak boleh menyebarkan kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang dalam beragama hanya mengikuti selera, bid’ah dan klenik; dan kitab-kitab itu adalah kitab-kitab penganut kalam, seperti kelompok Mu’tazilah dan sebagainya.”[8]

Dan Itulah sekilas tentang sikap Imam Malik bin Anas dan pendapat-pendapat beliau tentang masalah Tauhid, Sahabat, Imam, Ilmu Kalam dan Lain-lain

_________
Foote Note
[1].Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415
[2]. Al-Hilyah, VI/325
[3]. Dzamm Al-Kalam, lembar 173-B
[4]. Syaraf ASh-hab Al-Hadits, hal. 5
[5]. Dzan Al-Kalam, lembar 173-B
[6]. Ibid, lembar 173
[7]. Al-Hilyah, VI/324
[8]. Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 416-417

[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]

sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1885/slash/0
____________________________

LARANGAN ABU HANIFAH TERHADAP ILMU KALAM DAN BERDEBAT DALAM MASALAH AGAMA

Oleh : Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Imam Abu Hanifah berkata: "Di kota Bashrah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (selera) sangat banyak. Saya dating di Bashrah lebih dari dua puluh kali. Terkadang saya tinggal di Bashrah lebih dari satu tahun, terkadang satu tahun, dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu karena saya mengira bahwa Ilmu Kalam itu adalah ilmu yang paling mulia". [1]

[2]. Beliau menuturkan: "Saya pernah mendalami Ilmu Kalam, sampai saya tergolong manusia langka dalam Ilmu Kalam. Suatu saat saya tinggal dekat pengajian Hammad bin Abu Sulaiman. Lalu ada seorang wanita datang kepadaku, ia berkata: Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu ingin menalaknya dengan talak yang sesuai sunnah. Berapakah dia harus menalaknya?"

Pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya jawab. Saya hanya menyarankan agar dia datang ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: "Lelaki itu dapat menalaknya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan juga tidak dilakukan hubungan jima', dengan satu kali talak saja. Kemudian istrinya dibiarkan sampai haid dua kali. Apabila istri itu sudah suci lagi, maka ia halal untuk dinikahi.

Begitulah, wanita itu kemudian datang lagi kepada saya dan memberitahukan jawaban Hammad tadi. Akhirnya saya berkesimpulan, "saya tidak perlu lagi mempelajari Ilmu Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kepada Hammad".[2]

[3]. Beliau berkata lagi: "Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, karena telah merintis jalanuntuk orang-orang yang mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu ini tidak ada gunanya bagi mereka".[3]

Beliau juga pernah ditanya seseorang, "Apakah pendapat anda tentang masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan jism?. Beliau menjawab, 'itu adalah ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru karena hal itu adalah bid'ah". [4]

[4]. Putra Imam Abu Hanifah, yang namanya Hammad, menuturkan, "Pada suatu hari ayah datang ke rumahku. Waktu itu di rumah ada orang-orang yang sedang menekuni Ilmu Kalam, dan kita sedang berdiskusi tentang suatu masalah. Tentu saja suara kami keras, sehingga tampaknya ayah terganggu. Kemudian saya menemui beliau, 'Hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?', Tanya beliau. Saya menjawab dengan menyebutkan nama mereka satu persatu. 'Apa yang sedang kalian bicarakan?', Tanya beliau lagi. Saya menjawab, 'Ada suatu masalah ini dan itu'. Kemudian beliau berkata: "Hai Hammad, tinggalkanlah Ilmu Kalam".

Kata Hammad selanjutnya: "Padahal setahu saya, ayah tidak pernah berubah pendapat, tidak pernah pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya. 'Hammad kemudian berkata kepada beliau., 'wahai Ayahanda, bukankah ayahanda pernah menyuruhku untuk mempelajari Ilmu Kalam?' "Ya, memang pernah". Jawab beliau, "Tetapi itu dahulu. Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari Ilmu Kalam", tambah beliau

"Kenapa, wahai ayahanda?", Tanya Hammad lagi. Beliau menjawab, "Wahai anakku, mereka yang berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu pendapat dan agama mereka satu. Nemun syetan mengganggu mereka sehinggamereka bermusuhan dan berbeda pendapat".[5]

[5]. Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berkata: "Jangan sekali-kali kamu berbicara kepada orang-orang awam dalammasalah ushuluddin dengan mengambil pendapat Ilmu Kalam, karena mereka akan mengikuti kamu dan akan merepotkan kamu".[6]

Inilah rangkuman dari pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah, tentang aqidah beliau dalam masalah ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam dan ahli-ahli Ilmu Kalam

_________
Foote Note
[1]. Al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal.137
[2]. Tarikh Baghdad XIII/333
[3]. Al-Harawi, Dzamm 'Ilm Al-Kalam, hal. 28-31
[4]. Al-Harawi, Dzamm 'Ilm Al-Kalam, lembar 194-B
[5]. Al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal.183-184
[6]. Ibid, hal.37

[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]

http://www.almanhaj.or.id/content/1191/slash/0

Pemikiran Hasan Al-Banna (Ikhwanul Muslimin)

oleh Syaikh Ayyid asy Syamari, pengajar di Makkah al Mukaramah

Pendahuluan
Sesungguhnya bagi orang yang mau mengenal manhaj salaf (metodologi salaf dalam beragama) dan menyadari adanya silang pendapat di antara jama'ah-jama'ah Islami, tidaklah sulit untuk mengenali al-haq dalam masalah kita ini. Yang demikian itu karena agama Islam itu telah sempurna, sebagaimana yang Allah katakan dalam firman-Nya,

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku sempurnakan atas nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu." (Al-Maidah :3).

Nabi Shalallahu 'alahi wassalam telah menerangkan dalam sabdanya, "Aku tinggalkan kamu di atas kejelasan yang putih cemerlang, malam seperti siangnya, tidak menyimpang darinya kecuali orang yang binasa."

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Dan inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah jalan itu dan kamu jangan mengikuti jalan-jalan yang lain sehingga kalian berpecah-belah dari jalan Allah. Itulah yang Allah wasiatkan padamu agar kamu bertaqwa." (Al-An'am : 153)

Jadi, urusan agama sangat jelas dan mudah bagi orang yang menginginkannya. Seandainya kebenaran itu sulit dicari dan samar, berarti Allah membebani pada hamba-Nya suatu perkara yang ia tidak mampu memikulnya. Namun Allah telah menyebutkan sumber kebenaran itu dan memerintahkan manusia mengambilnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
“Dan berpegang-teguhlah dengan tali agama Allah dan janganlah kamu berpecah belah." (Ali 'Imran: 103).

Yang disebut "tali agama Allah" adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Maka jika kamu berselisih dalam satu perkara maka kembalikan perkara itu kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu adalah lebih baik dan lebih bagus akibatnya." (An-Nisa’ : 59)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Katakanlah:"Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (Ali Imran : 32).

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa :65)

Jadi al-haq itu jelas dan sumber-sumber rujukan juga nyata. Segala puji dan karunia hanyalah milik Allah.

Al-Qur'an Al-Karim terjaga. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Kamilah yang menurunkan adz-dzikr (Al-Qur'an) dan Kamilah yang akan menjagannya." (Al-Hijr :9).

Demikian juga As-Sunnah terpelihara karena As-Sunnah adalah bagian dari "Adz- Dzikr." As-Sunnah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum, mengkhususkan, membatasi dan menerangkan maksud Allah Subhanahu wata'ala. Segala puji dan karunia milik Allah bahwa saat ini kitab-kitab As-Sunnah tersebar di tengah-tengah masyarakat dan mudah diperoleh. Sungguh khidmat dan sumbangsih As-Sunnah kepada Islam sangatlah besar.

Adapun Ahli ilmu telah memilah dan memilih mana sunnah yang shahih dan mana yang dhaif (lemah).

Ilmu-ilmu sunnah tersebar dalam banyak bidang ilmu agama, baik dalam aqidah, ibadah, muamalah, pedagangan, suluk, akhlak, dakwah, bagaimana dan kapan berdakwah di jalan Allah dan seterusnya.

Seseorang tinggal mengambil dan memegangnya erat-erat. Demikian juga, bagi yang ingin mengetahui apa sikap yang semestinya dijalankan terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah, maka kita temukan bahwa As-Sunnah itu sendiri telah menerangkan jalan dalam bermuamalah dengan mereka.

As-Sunnah telah menerangkan bagaimana kita bermuamalah terhadap orang-orang yang salah dalam masalah fiqih, misalnya seorang yang salah shalatnya. Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam ketika melihat orang yang salah shalatnya berkata, "Kembali dan shalatlah, sesungguhnya kamu belum shalat." Beliau mengulangi perintahnya sampai berkali-kali kemudian berkata, "Sungguh tidak ada yang lebih baik shalatnya kecuali orang ini!"

Beliau mengajarinya shalat dan tidak memperingatkan manusia darinya, tidak menuduh sesat dan bid'ah tetapi mengajari cara shalat yang benar.

Contoh lain adalah seorang sahabat yang menyangka tidak boleh makan minum hingga tampak "benang putih dan benang hitam" di bulan Ramadhan. Ia letakkan dua benang putih dan hitam di bawah bantalnya ketika tidur. Ketika terlihat perbedaan warna kedua benang itu, maka ia pun tidak makan dan minum. Padahal sebenarnya yang dimaksud dalam ayat dengan "benang putih dan hitam" adalah terbit fajar. Nabi menerangkannya dan tidak memerintahkan manusia mewaspadai orang ini (yang keliru karena tidak tahu-peny).

Namun ketika beberapa sahabat mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi Wassalam dan melihat ibadah beliau, maka mereka merasa kalau ibadah mereka selama ini terlalu sedikit, dan ingin menambah-nambah ibadah dari apa yang telah dituntunkan beliau. Mengetahui ini, Rasulullah pun menjadi sangat marah, lantas berkhutbah dengan menyebutkan ibadah-ibadahnya; bahwa beliau shalat dan tidur, puasa dan berbuka, serta menikahi wanita. Setelah itu beliau memerintahkan mereka dan berkata, "Barangsiapa membenci sunnahku maka bukan dari golonganku". Disini kita dapati sikap beliau berbeda dengan sikap terhadap orang pertama.

Suatu ketika sahabat Ammar bin Yasar Radhiyallahu 'anhu kedapatan meminum khamr, maka ia pun dihukum cambuk, dan pada waktu itu sebagian sahabat mencercanya. Maka beliau Shallallahu 'alaihi Wassalampun mencegah para Sahabat seraya mengatakan bahwa dia masih mencintai Allah dan RasulNya. Dengan ini, dapat kita simpulkan bahwa beliau mengubah tata caranya dalam bertindak. Berbeda ketika menghadapi orang yang ingin menambah ibadah di luar batasan syariat.

Dan ketika ada seseorang (Dzul Huwaishirah) yang berkata kepada beliau, "Hai Muhammad, bersikap adillah, engkau belum berbuat adil!" Beliau memberi isyarat kepadanya dan berkata, "Akan keluar dari perut orang ini beberapa kaum, yang yang kalian akan merendah bila shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dibandingkan dengan puasa mereka, amal-amal kalian dibanding dengan amal-amal mereka. Mereka membaca Al-Qur'an akan tetapi tidak sampai ke tenggorokan mereka (tidak paham), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari buruannya. Seandainya aku menjumpai mereka maka aku akan membinasakan mereka seperti Allah membinasakan kaum 'Ad. Barang siapa membunuh mereka maka mendapat pahala sekian dan sekian dan barangsiapa dibunuh mereka maka mati syahid." (HR. Bukhari nomor 5058 dan Muslim nomor 147/1064)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam mentahdzir orang ini (tahdzir ialah memperingatkan manusia dari pelaku kebid’ahan dan kemaksiatan/’kejahatan, penerjemah). Hal ini bisa diterangkan dari sisi bahwa penyelisihan terhadap syariat itu bermacam-macam. Orang terakhir ini tidaklah seperti orang yang pertama dalam contoh-contoh di atas. Ia menyelisihi perkara akidah, menentang hukum Rasulullah, mencela pembagian dan amanah Rasulullah. Oleh karena itu beliau bersabda, “Mengapa kalian tidak percaya padaku, sedangkan aku dipercaya oleh Dzat yang ada di langit ?”

Maksudnya, wahai saudaraku, hendaknya kalian mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam telah menerangkan kepada kita bagaimana bermuammalah bersama orang-orang yang menyelisihi syariat. Beliau menjelaskan kaidah-kaidahnya sebagai cahaya ilmu dan menempatkannya pada kasus-kasus yang sesuai.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda : "Barang siapa mengadakan perkara baru dalam urusan kami yang tidak ada padanya maka dia tertolak."

Sehingga kita harus menolak setiap perkara yang baru dalam agama (bid'ah) karena Nabi Shallallahu 'alaihi Wassalam telah menolaknya dan karena beliau mengatakan ,
"Kalian harus berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah dengan erat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah- beliau menerangkan bahwa diantara sahabat yang hidup sepeninggal beliau akan melihat perselisihan yang banyak terhadap perkara baru dalam agama. Sesungguhnya setiap perkara baru tersebut adalah bid'ah."

Para Salaf beragama di atas jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam dan tokoh salaf pertama adalah para Shahabat Radhiallahu 'anhum. Sesungguhnya mereka telah mengajarkan pemahaman agama yang benar kepada orang-orang yang tidak mengerti. Sampai Ibnu Abbas berkata, "Janganlah kamu duduk-duduk dengan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu sesungguhnya duduk-duduk bersama mereka menimbulkan penyakit hati."

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu telah memerangi Khawarij. Umar bin Khathab mencambuk Shabigh yang menanyakan ayat-ayat yang samar (mutasyabihat). Kemudian beliau membuang Shabigh ke Kufah dan memperingatkan manusia darinya.

Jadi, ahli bid'ah disikapi dengan keras. Mengapa? Karena Ahli Bid'ah akan berbuat seperti Bani Israil terhadap kitab Taurat dan Nashara terhadap kitab Injil. Mereka memperlakukan kedua kitab itu dengan jalan bid'ah. Satu generasi datang lalu menafsirkan Taurat. Sebagian lain menulis Taurat dari hasil pikirannya. Sebagian lainnya menafsirkan dengan logika sendiri yang tidak dikehendaki Allah dan Rasul- Nya, yakni Musa ' Alaihi Salam. Jadi kitab Taurat ini memiliki beberapa tafsiran dan pada saat sama dijadikan rujukan (kitab) suci.

Demikian juga kitab Injil ditafsirkan dalam banyak pemahaman sehingga menjadi rujukan utama. Dimasukkanlah ke dalam agama Isa 'Alaihis Salam perkara baru dan menjadilah perkara itu seolah agama yang datang dari sisi Isa. Padahal kenyataannya itu adalah bid'ah yang dilakukan oleh para pendeta dan ulama jahat mereka.

Seandainya setiap bid'ah dimasukkan ke dalam agama, sehingga terjadi kebid'ahan dalam akidah, akhlak, suluk dan dakwah niscaya akan keluar " agama baru " yang lain sama sekali dari agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam. Oleh karena itu kita mendapati Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam bersikap keras terhadap setiap perkara baru dalam agama, baik berupa pengurangan ataupun penambahan. Adapun orang yang masih mengikuti syariat namun terjatuh ke dalam dosa besar, beliau jelaskan larangannya dan tegakkan hukuman jika memang terdapat ketentuan hukumnya. Sesungguhnya orang ini tahu bahwa perbuatannya bukan dari agama Allah dan ingin bertaubat. Berbeda dengan orang yang mengadakan perkara bid'ah dan meletakkannya pada posisi agama yang ia serukan.

Maksud dari muqaddimah ini adalah untuk memberikan pondasi pada masalah yang penting yaitu kesungguhan dalam menerangkan manhaj yang shahih dan kesungguhan pembelaan terhadap As-Sunnah serta kesungguhan menghalangi setiap pintu-pintu agama yang akan dimasuki bid'ah-bid'ah. Ini adalah termasuk amar ma'ruf nahi munkar yang besar. Sebagaimana telah kita ketahui bid'ah-bid'ah mengantarkan manusia kepada syirik besar seperti mengagungkan kubur, meminta berkah dan syafaat kepada mayat-mayat yang ada di kubur yang menyebabkan kaum muslimin keluar dari agama ini.

Sebut saja Syi'ah Rafidhah yang telah menciptakan bid'ah yang sangat besar sehingga menjadikan sebagian kaum muslimin keluar dari Islam. Demikian pula orang-orang sufi yang telah sampai pada tahap keyakinan "wihdatul wujud" (menyatunya Allah dengan Makhluk). Fenomena inilah yang mendorong kita untuk tetap berjalan di atas petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam dalam menyikapi Ahli Bid'ah dan pelaku dosa besar. Agar kita tidak seperti Khawarij yang sesat dalam menyikapi pelaku dosa besar.

Dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah telah membantah prisip Khawarij ini dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir. Dan mereka telah menyebutkan banyak dalil yang membantah prinsip golongan sesat ini serta menerangkan bagaimana sikap yang sebenarnya terhadap pelaku dosa beasr dan kebid'ahan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Contoh kasus adalah bagaimana salaf mensikapi bid'ah Qadariyah. Disebutkan misalnya "Shahih Muslim" ketika Yahya bin Ma'mar dan Abdur Rahman Al-Humairi sedang berdebat, orang-orang berkata: "Seandainya kita menemui salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam, kita akan mengabarkan kepadanya apa yang mereka katakan tentang takdir". Lalu Abdullah bin Umar kami datangkan ke masjid dan kami merubungnya. Kami berkata, "Wahai, Abu Abdir Rahman, beberapa orang membaca Al-Qur'an dan mempelajari ilmu yang dengannya mereka meyakini ketiadaan takdir dan bahwa semua kejadian adalah baru (tidak didahului takdir)." Ibnu Umar berkata, "Jika kamu bertemu mereka kabarkan kepada mereka bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Zat yang Ibnu Umar bersumpah dengannya, seandainya mereka bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan diterima selama mereka tidak meyakini takdir."

Kemudian Ibnu Umar berkata, "Ayahku Umar bin Khatab mengatakan kepadaku - kemudian ia menyebutkan hadits Jibril yang panjang- didalamnya terdapat ucapan,"Hai Muhammad, kabarkan kepadaku tentang Iman!" Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam menjawab, "Kamu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab- kitab, Rasul-rasul, Hari akhir dan kamu beriman dengan takdir yang baik dan buruk..".

Yang saya tekankan disini adalah bahwa kita harus mengetahui sikap yang sepatutnya terhadap orang-orang yang menyelisihi syariat. Dan itu sudah terdapat kitab-kitab salaf.

Ketika golongan Khawarij sesat dalam bermuamalah maka para salaf membantah mereka. Demikian pula ketika muncul bid'ah Murji'ah yang menyatakan bahwa dosa- dosa besar tidak mempengaruhi Iman, para Salaf membantah mereka dan menempatkan duduk persoalan pada posisi yang sebenarnya.

Pada waktu muncul gerakan Mu'tazilah, para imam Salaf juga membantahnya. Seperti Imam Ahmad bin Hambal yang memancangkan bendera Ahlus Sunnah, membantah dan berdiri tegak pada posisi yang telah kita ketahui. Demikian juga Imam Ad-Darimi, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan selain mereka, telah membantah pikiran-pikiran yang menyimpang seperti Shufiyah (sufi, red), Jahmiyah dan lainnya.

Adalah Ahlus Sunnah memiliki sikap yang tegas di hadapan golongan-golongan yang menyimpang tersebut. Dan sikap mereka dapat kita baca dalam kitab-kitab mereka seperti kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab. Sampai hari ini ulama Ahlus Sunnah senantiasa memperingatkan ahli bid'ah dalam rangka menjaga agama, agar agama tetap murni dari penyimpangan dan penggantian sebagaimana yang telah dilakukan Bani Israil di zaman terdahulu.

Penggantian dan penyimpangan agama terjadi pada setiap zaman dan tempat. Maka hendaknya setiap kita berlindung kepada Allah dari fitnah ini, sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi wasallam berdoa, Allahumma inni a’udzu bika minal fitan maa dhoharo minhaa wama bathon
"Ya Allah aku berlindung kepada -Mu dari fitnah yang nampak dan tidak tampak."

"Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan fitnah."

"Ya, Allah yang membolak-balikan hati dan pandangan kokohkanlah hatiku di atas agama-Mu."

Dengan demikian pembahasan tentang Ikhwanul Muslimin, Surruriyah, Quthbiyah dan sejenisnya dapat kita temukan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta pijakan Salaf yang menerangkan kebenaran kepada kita. Kita hanya menelaah Kitabullah, As-Sunnah dan kitab-kitab salaf untuk meneliti penyimpangan Ikhwanul Muslimin. Apakah pada mereka atau pada Salaf ? Kemudian kita mengambil manhaj yang benar.

Ikhwanul Muslimin
Kalau kita melihat para penggagas dan orang-orang yang berada di sekitar Ikhwanul Muslimin kita akan temukan bahwa sesungguhnya mereka adalah ahli bid'ah yang telah dibantah.

Pembesar mereka berakidah Asy'ariyah dan Hasan Al-Banna adalah seorang yang berakidah Asy'ari. Dalam kitabnya "Al'Aqa'id" ia menetapkan 13 sifat bagi Allah yang terbagi menjadi : sifat tujuh yang merupakan sifat ma'ani, sifat lima yang disebut dengan sifat nafsiyah dan sifat wujud. Inilah rumusan aqidah Asma' wash Shifat Allah dari Asy'ari.

Dalam memahami sifat Dzatiyah Allah seperti Tangan, Dua mata, Wajah, Kaki, Telapak kaki, Kedatangan dan Tertawa, mazhab Asy'ari memiliki dua prinsip : kalau tidak mentakwil pasti membiarkan maknanya (tafwidh). Mentakwil adalah memaknakan dengan makna yang tidak menunjukkan lafazhnya, seperti "tangan" diartikan dengan "memberi kenikmatan" atau sifat "marah" diartikan dengan "pahala". Adapun membiarkan sifat (tafwidh) adalah tidak mau memberi makna. Misalnya tentang sifat "wajah" dikatakan, "Aku tidak menetapkan sifat wajah". Lantas, apa maksud firman Allah,
“Dan tetap kekal wajah Rabbmu." (Ar-Rahman : 27).

Sebenarnya mereka meniadakan sifat ini. Sisi pertama dengan mentakwil dan sisi kedua dengan diam tidak mentakwil, dengan meyakini tidak ada maknanya.

Hasan al-Banna termasuk golongan Asy'ari dimana ia menetapkan sifat yang tujuh, sifat-sifat negatif yang lima dan sifat nafsiyah. Setelah itu dia memilih jalan yang berbeda dari jalan asy'ari, yaitu jalan membiarkan (tafwidh), serta menggabungkan prinsipnya dengan manhaj salaf.

Sebelumnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membantah prinsip tafwidh dengan mantap dan panjang lebar dalam kitab 'Majmu' Fatawa".

Maka Hasan Al-Banna adalah seorang yang berakidah asy'ari yang sesat dan juga seorang sufi sebagimana dia akui sendiri dalam kitabnya "Mudzakirat Dai'yah". Dia menghadiri wirid-wirid dan dzikir-dzikir shufiyah, membai'at tarekat Al-Hashafiyah Asy-Syadziliyah. Ia kagum pada kitab-kitab sufi dan ia sebutkan dalam bukunya beberapa judul kitab-kitab sufi tersebut, antara lain "Al-Mawahib Al-Laduniyah" (Pemberian-Pemberian Langsung dari Allah) karya Al-Qisthilani. Orang-orang yang bergabung bersamanya mengikuti prinsipnya. Ia membentuk Yayasan Al-Hashafiyah yang kemudian diketuai oleh Ahmad Askari atau As-Sukri. Di dalam buku "Mudzakirat" di atas, Hasan Al-Banna menyebutkan bahwa Yayasan Al-Hashafiyah yang dibentuknya berubah bentuk yang baru yaitu menjadi Ikhwanul Muslimin.

Ketika membentuk jama'ah baru ia masih dalam akidah sebelumnya. Setelah itu ia menulis dzikir-dzikir, wirid-wirid dan lain sebagainya supaya Ikhwanul Muslimin punya dzikir khusus sebagimana tarekat-tarekat yang lain. Ia juga membuka kesempatan bagi tarekat-tarekat sufi yang lain untuk bergabung dan membai'at Ikhwanul Muslimin.

Di dalam kitab "Mudzakirat Dai'yah" Hasan Al-Banna memuji kalangan shufiyah, pertemuan-petemuan mereka, dzikir berjama'ah, maulid Nabi, sima' (mendengar) nyanyian. Pada akhir hayatnya ia sempat membagi-bagikan kitab-kitab sufi kepada teman-temannya. Demikian juga dalam risalah-risalahnya ia membahas asma wash shifat. Hasan Al-Banna telah menerangkan akidahnya dan menulis untuk pengikut- pengikutnya.

Prinsip Pertama : Persatuan Batil
Dalam perjalanan hidupnya, Hasan Al-Banna bermukim di negara Mesir yang memiliki banyak partai. Ada partai sekuler, sosialis, dan nasionalis. Ia hendak menyatukan golongan-glongan itu ke dalam wadah Ikhwanul Muslimin. Golongan yang dia ketuai ini, hendak mengumpulkan semua golongan dalam satu nama. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya itu adalah suatu "trik politik". Dengan semboyan persatuan ia bermaksud mengumpulkan lawan-lawan dalam akidahnya tersebut. Ia mengikat mereka dengan nama Islam yang umum tanpa melihat pemahaman Islam yang benar dan kewajiban berpegang teguh dengannya. Secara faktual ia mempraktekkan prinsip, "Kami sepakat dengan apa yang kita sepakati dan saling memaafkan pada perkara yang kita perselisihkan."

Itulah prinsip pertama Hasan Al-Banna yang merupakan prinsip politik : prinsip persatuan. Umar At-Tilmisani dalam bukunya "Dzikriyat la Muzdakarat" menyebutkan bahwa manhaj Ikhwanul Muslimin sudah semakin jauh menyimpang, misalnya saja sampai pada tingkat berupaya menjalin kerjasama dengan Syi'ah. Ketika ia bertanya kepada Hasan Al-Banna tentang apa sikap kita terhadap Syi'ah, Hasan Al-Banna menjawab, "Syi'ah seperti empat mazhab yang ada.".

Hasan Al-Banna menyatukan semua orang yang mengaku Islam apakah mereka berakidah sufi, wihdatul wujud, syi'ah dan rafidhah. Kalau kita melihat hizb yang dia bentuk, tampak seolah penggagasnya hendak membuat sebuah daulah negara.

Dan kita ketahui negara demokrasi di masa kini memberi kebebasan kepada warganya ntuk menganut akidah mana saja. Siapa pun akan tetap diakui sebagai warga negara selama ia patuh terhadap UU negara.

Hasan Al-Banna telah membuat aturan-aturan, organisasi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, kewajiban-kewajiban, bai'at dan larangan-larangan bagi jama'ah Ikhwanul Msulimin yang harus dipegang oleh setiap orang yang bergabung di dalamnya.

Adapun akidah yang dia inginkan adalah akidah Shufiyah, Asy'ariyah, atau akidah Ta'thil (meniadakan sifat Allah), atau akidah Syi'ah. Dia mengharuskan pengikutnya berbai'at dan itu termasuk bagian dari sepuluh rukun (ushul 'isyrin) yang dia sebutkan dalam risalah-risalahnya. Seolah-olah ia hendak mendirikan negara. Bahkan kita pernah menjumpai sebagian anggota Ikhwanul Muslimin tidak melaksanakan shalat seperti yang telah disebutkan oleh Abbas As-Sisi. Konon ia pernah mendatangi sekelompok anggota Ikhwanul Muslimin dalam satu pertempuran, ia berkata, "Kami hendak shalat Ashar akan tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengerjakan shalat."

Adalah Shalah Syadi sedang berpergian dan banyak orang membuat kerusuhan dengan bom dan mereka melakukannya di atas kapal, ia berkata, "Salah seorang di antara mereka tidak shalat."

Dalam bukunya "Dzikriyat la Muzdakarat" At-Tilmisani berkata, "Seorang saudagar kaya yang masih minum arak minta bai'at kepada Hasan Al-Banna dan ia dibai'at serta dimasukkan ke dalam keanggotaan Ikhwanul Muslimin."

Mencukur jenggot, menjulurkan pakaian di bawah mata kaki dan mendengarkan musik adalah tidak apa-apa menurut Ikhwanul Muslimin. Bahkan boleh saja hal itu dilakukan terang-terangan. Mereka mempunyai persediaan dana yang banyak untuk membeli alat musik yang baru sebagaimana disebutkan dalam kitab "Dzikriyat la Muzdakarat". Jadi para pengikutnya boleh melakukan apa saja, asal tetap patuh pada perintah jama'ah.

Jama'ah ini mirip negara, mereka tidak menyerukan Islam, mereka menyeru untuk membentuk negara. Orang-orang yang menyerukan Islam haruslah menyeru kepada satu akidah yang benar, kepada satu peribadatan, dan kepada satu muamalah yang sesuai dengan dalil. Adapun mereka tidak demikian.

Tata cara shalat Ikhwanul Muslimin berbeda-beda. Ada yang mencukur jenggot, ada yang tidak. Ada shalat berjamaah dan ada yang tidak. Ada yang berakidah Asy'ari, ada Syi'ah dan lainnya, semuanya masuk ke dalam Ikhwanul Muslimin, persis seperti negara demokrasi.

Urusan yang paling penting adalah bai'at kepada Hasan Al-Banna, patuh loyal kepada bendera Ikhwanul Muslimin, taat, melaksanakan tugas yang dirancang oleh jama'ah dan imam. Dengan demikian tujuan yang paling besar adalah agar setiap orang menjadi Ikhwanul Muslimin.

Prinsip kedua : Bai'at
Bai'at Ikhwanul Muslimin adalah bai'at shufiyah dan bai'at kemiliteran, sebagaimana yang telah ditetapkan Hasan Al-Banna ketika menerangkan rukun bai'at yang sepuluh. Ia menerangkan rukun bai'at ini adalah bai'at shufiyah dan militer. Ikrarnya berbunyi, "Mendengar, taat, tidak merasa berat, ragu, dan bimbang."

Sebelum membentuk jama'ah Ikhwanul Muslimin ia telah membai'at dengan cara sufi yang ia sebutkan dalam kitabnya "Mudzakarat Da'iyah." Ia telah membai'at Syaikh Hashafiyah, setelah itu ia membentuk Ikhwanul Muslimin dan mengadopsi manhajnya ke dalam jama'ahnya. Bahkan istilah "mursyid 'am" yang menjadi gelar Al Banna diambil dari istilah sufi, yang berarti "wali yang sempurna." Sebagian orang memang mengelarinya "mursyid" dalam kitab-kitab shufiyah. Semua kitab itu ada pada saya dan telah saya teliti. Dan ternyata memang sebutan "Mursyid" berasal dari istilah orang-orang sufi.

Hasan Al-Banna telah memilih sebutan ini untuk dirinya, demikian pula para penggantinya menggunkan gelar yang sama.

Bai'at mereka dibagi menjadi dua macam:


Pertama, bai'at Shufiyah yang mengharuskan taat seratus persen kepada guru dan pemimpin. Umar At-Tilmisani berkata dalam bukunya "Dzikriyat La Mudzakkarat" berkata, "Seorang di hadapan Hasan Al-Banna harus seperti mayat di depan orang yang memandikannya." Ini termasuk syiar Sufiyah yang berbunyi, "Mendengar dengan pendengaran al Banna, melihat dengan penglihatan Al Banna." Yang berarti mengharuskan ta'at, tidak boleh melanggar.

Kedua, baiat Militer. Bai'at ini mengharuskan sseorang taat pada pimpinan dalam jihad, peperangan dan yang berkaitan dengannya sebagaimana yang telah disebutkan dimuka bahwa jama'ah ikhwanul muslimin adalah jama'ah sufiyah dan militer.

Gejala militerismenya nampak jelas ketika pada tahun 1940 M Hasan Al Banna membentuk tandzim (Organisasi sayap) khusus bagi Ikhwanul Muslimin. Anggotanya di baiat (sumpah setia) kepada pimpinan (Hasan Al Banna) dengan mushaf Al Qur'an. Bila pemimpin memberikan instruksi untuk membuat keributan atau melakukan pembunuhan, maka harus dilaksanakan.

Demikianlah hari-hari yang mereka lalui. Mereka membunuh dan membantai manusia. Hal ini disebutkan oleh Mahmud As Shabagh dalam bukunya ''Tandzim khash.' (kelompok khusus). Mahmud menyebut beberapa contoh gerakan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin seperti kerusuhan, pembunuhan, demonstrasi, pembunuhan polisi/tentara pemerintah dan rakyat jelata,. Serta cerita-cerita lainnya dari liku-liku mereka yang panjang.

Saya akan sebutkan satu kasus yang menunjukkan aktifitas kemiliteran dari Ikhwanul Muslimin. Pernah ditemukan lembaran-lembaran dokumen yang berisi rencana menggulingkan pemerintahan Faruq dalam aksi tandzim rahasia Ikhwanul Muslimin. Tak disangka dokumen ini terbuka dalam mobil jip, lalu pihak pemerintah menciduk orang-orang yang namanya tersebut dalam tandzim rahasia itu. Mendengar anak buahnya diciduk, Hasan Al Banna mengutus seseorang melalui As Sindi - As Sindi adalah pemimpin 'tandzim khusus' yang melaksanakan perintah- perintah Hasan Al Banna.

Kepemimpinan Hasan Al Banna dalam organisasi adalah langkah politik praktis yang diketahui kebanyakan orang, sedangkan 'tandzim khusus' adalah sayap militer yang melakukan manuver-manuver yang diperintahkan ketua umum. Jadi menurut Al Banna, dialah yang memberi tugas-tugas kepada As Sindi dalam kedudukannya sebagai ketua umum.

Ia (Hasan Al Banna) sendiri telah mengutus seseorang untuk menggoyang pemerintah yang menyimpan dokumen rahasia milik Ihwanul Muslimin. Caranya dengan meletakkan sebuah tas koper berisi bom di sisi lemari yang menyimpan dokumen tersebut. Ia (utusan Al Banna) meletakkan kopernya dan pergi. Lalu seorang lelaki lain melihat tas itu dan mengambilnya. Maka si utusan mengikuti orang ini untuk meminta kopernya kembali (supaya disangka bahwa ia lupa membawa kopernya sendiri). Ketika lelaki itu melihat utusan Al Banna ia terus berjalan. Kemudian utusan Al Banna berlari di belakangnya dan berteriak, 'Lemparkan koper itu, ada bom di dalamnya'. Maka lelaki itu melemparkan koper tersebut, dan meledakkan bom. Seketika itu juga lelaki itu mati karena terkena ledakan bom. Publik bertanya-tanya tentang kejadian tersebut -karena sudah diketahui bahwa yang ingin diambil adalah dokumen yang terdapat dalam lemari rahasia. Sementara utusan Al Banna mengingkari kalau ia punya hubungan dengan Ikhwanul Muslimin.

Beberapa media menuduh bahwa kejadian itu didalangi oleh Ihkwanul Muslimin. Dalam koran Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna membuat siaran pers bahwa ia berlepas diri dari kejadian itu dan menyatakan bahwa perbuatan itu bukan dari Islam. Mahmud Ash Shobagh berkata, utusan Al Banna tadi ketika diperlihatkan kepadanya koran yang memberitakan Ikhwanul Muslimin menyatakan bahwa disebabkan perbuatanmu kamu bukan orang Islam lagi. Iapun mengaku dan berkata, 'Mereka telah menipuku, merekalah yang mengutusku agar meletakkan bom, sekarang mereka mengkafirkanku'.

Akan tetapi lelaki itu tidak mengerti maksud Hasan Al Banna, kaena ucapan Hasan Al Banna tidak seperti yang difahaminya. Ucapannya itu dimaksudkan Al Banna sebagai ucapan dalam kondisi perang, sedangkan perang adalah tipu daya, kata Mahmud Ash Shabagh.

Yakni Hasan Al Banna berdusta dalam siarannya. Ia berkeyakinan hidup dalam negeri perang, dan dengan begitu ia telah mengkafirkan negeri yang ia tempati. Jadi orang pertama yang mencetuskan masalah mengkafirkan daulah/negara adalah Hasan Al Banna, bukan Sayyid Quthub, dialah yang mengorganisir 'tandzim khusus' setelah mengkafirkan negara dan berusaha menggulingkan kepala negara. Mahmud Ash Shobagh mengabarkan kepada kita bahwa Hasan Al Banna memandang bahwa peperangan adalah tipu daya dan peperangan hanyalah dilancarkan kepada orang- orang kafir.

Bahkan pada tahun 1944 M Hasan Al Banna membai'at Jamal Abdul Nasher. Jamal masuk dalam tandzim khusus yang dikomandani As Sindi. Tujuannya ialah menggulingkan pemerintahan Faruq. Sungguh Hasan Al Banna tidak akan menggulingkan suatu pemerintahan kecuali karena dia menganggap pemerintahan itu kafir. Untuk kemudian ia mengkafirkan hakimnya. Jadi inilah prinsip pergerakan. Dan inilah latar belakang dibalik aksi teror yang dia perintahkan melalui As Sindi secara langsung.

Kami akan membicarakan bagaimana bai'at dijalankan oleh anggota Ikhwanul Muslimin. Pernah terjadi kasus seorang hakim yang bernama Khozim. Ia menjatuhkan vonis penjara bagi sebagian anggota Ikhwanul Muslimin. As Sindi tidak terima. Akhirnya ia mengkafirkan hakim tadi. Ia lalu menyuruh beberapa anggota pasukan khusus Ikhwanul Muslimin untuk membunuh sang hakim. Namun dalam operasinya, dua orang anggota Ikhwanul Muslimin tertangkap dan dipenjara. Mendengar anggotanya dipenjara, Hasan Al-Banna marah besar kepada Sindi, mengapa ia marah besar? Karena As Sindi berbuat menurut kemauan sendiri tanpa ada komando darinya. Mahmud As Shobagh menyebutkan bahwa Hasan Al-Banna dan tokoh Ikhwanul Muslimin lainnya kemudian mengadili As-Sindi. Lihatlah 'Negara kecil Ikhwanul Muslimin'. Semestinya yang diadili adalah si pembunuh di hadapan mahkamah. As-Sindi ditanya, 'Mengapa kamu berbuat tanpa komando?'

Seandainya ia telah mendapatkan perintah membunuh dari pimpinan yang itu merupakan bagian dari keharusan bai'at yang berbunyi : 'Dengarlah, jangan ragu…' niscaya ia akan selamat dari pengadilan. Hasan Al-Banna tidak mempermasalahkan tentang bolehkah membunuh hakim itu, tetapi mendebat mengapa As-Sindi berbuat semaunya ?

Mahmud As-Shobagh berkata, 'Aku pernah sekali duduk bersama Imam Hasan Al- Banna ketika dia sedang marah kepada hakim Khozin, karena dia menghukum Ikhwanul Muslimin dengan hukum seperti itu, sehingga aku menyangka Imam ini menyuruhku membunuhnya.' Orang-orang bertanya, 'Mengapa kamu hendak membunuh hakim itu karena kamu menyangka bahwa Imam Hasan Al-Banna ingin membunuhnya ?'

Dengan demikian itu adalah kesalahan. Kenapa salah? Karena Hasan Al-Banna belum memerintahkannya ? jadilah Hasan Al-Banna sebagai satu-satunya ahli fatwa di tubuh Ikhwanul Muslimin. Jika ia mengatakan 'Bunuhlah!' maka anggotanya dengan taat akan membunuh.

Dari sini diketahui bahwa baiat Ikhwanul Muslimin adalah baiat sufiyah di satu sisi dan baiat militer di sisi yang lain. Seolah terbentuk sebuah negara di mana yang bertindak sebagai hakim adalah Hasan Al-Banna. Dialah yang berhak menfatwakan pembunuhan, memberikan instruksi-instruksi, teror, jihad dan lain sebagainya. Bukti paling nyata adalah usaha kudeta pemerintah pada tahun 1953 M.

Prinsip ketiga : Marhalah (Fase-fase) dalam Dakwah
Inilah prinsip aliran batiniyah sebagaimana yang disebutkan Al-Ghazali dalam bukunya 'Ihya 'Ulumuddin.'

Aliran sufyah memiliki fase-fase (marhalah) dalam dakwah. Maksudnya, pertama kali orang-orang yang didakwahi diberi ajaran Islam secara umum. Kemudian jika hal ini diterima, maka mereka diberikan ajaran-ajaran khusus sampai kepada apa yang mereka inginkan.

Dalam risalahnya, Hasan Al-Banna menyebutkan bahwa dakwahnya meliputi tiga marhalah. Marhalah pertama adalah marhalah umum yaitu dakwah kepada Islam secara umum seperti dakwah untuk meninggalkan riba, maksiat-maksiat, menampakkan syiar-syiar Islam dan membantu kebutuhan kaum muslimin.

Marhalah kedua adalah marhalah khusus yang lepas dari marhalah petama. Ketika seorang masuk ke dalam Ikhwanul Muslimin, dia tetap dalam keadaan buta tentang Ikhwanul Muslimin, kecuali bahwa organisasi ini berusaha menolong Islam dan kaum muslimin, hajat-hajat, kemiskinan, kelaparan kaum muslimin dan seterusnya. Kemudian Al-Banna berkata, kita melihat orang yang kita pilih dari marhalah kedua ini dan ketika itu kita akan menggembleng orang-orang tertentu lalu kita masukkan mereka ke marhalah ini. Dan marhalah kedua adalah marhalah khusus yang membina pribadi untuk taat, mendengar, jihad, membunuh, membuat teror, semua urusan yang diinginkan pemimpin dan mengkafirkan pemerintah.

Setelah itu Al-Banna berkata, tibalah saatya marhalah ketiga yaitu marhalah jihad. Al-Banna sendiri telah sampai pada marhalah ketiga dan menjalankannya. Dia telah mencipta marhalah pertama hingga banyak kaum muslimin yang masuk ke dalamnya kemudian dia mencipta marhalah kedua melalui As-Sindi dan 'Tanzhim khusus'.

Terakhir dia membentuk marhalah ketiga dan terbunuh pada tahun 1948 sebelum dapat merealisasikan konsepnya. Marhalah ketiga baru dapat direalisasikan oleh penerusnya, Al-Hudhaibi, pada tahun 1952 dengan keberhasilan mengkudeta pemerintah Al-Faruq.

Jadi secara hakikat Hasan Al-Bannalah yang membuat pondasi-pondasi tadi sebelum Sayyid Quthub, dialah yang mencipta prinsip pengkafiran pemerintah muslim, terorisme, dan kudeta yang semuanya telah ia ucapkan, lakukan dan tuangkan ke dalam buku-bukunya. Sedangkan Sayyid Quthub adalah salah satu individu yang terpengaruh oleh konsep Hasan Al-Banna yang insya Allah kita bicarakan sebentar lagi.

Maksudnya bahwa Ikhwanul Muslimin memiliki fase-fase (marhalah-marhalah) yang menjadi prinsip gerakan mereka, dan marhalah ini menampilkan sesuatu yang umum kemudian memasukkan sesuatu yang lebih khusus.

Oleh karena itulah manusia merasa kesulitan. Jika anda menyebutkan suatu masalah dari marhalah ke dua kepada orang yang masih berada pada marhalah pertama, maka dia akan berkata , ' Tidak, ucapanmu tidak benar!' Marhalah-marhalah inilah yang menjadikan manusia dan negara bimbang dalam menyikapi Ikhwanul Muslimin.

Prinsip keempat: Dusta
Termasuk prinsip yang mereka pegangi adalah berbohong (taqiyah) dan menampakkan apa yang tidak sama dengan yang disembunyikan. Prinsip ini telah dijelaskan oleh Hasan Al-Banna. Dan dia pada tahun 1940 telah membentuk tanzhim khusus yang di antara sekian banyak prioritas utamanya adalah membuat teror di mana-mana. Hal ini disesbutkan oleh Mahmud Abdul Halim dalam bukunya 'Ikhwanul Muslimin wa Ahwal Tsintai 'Asyara Tarikh.'

Pada tahun 1944 M Jamal Abdul Nasher mambai'at tanzhimnya, tanzhim yang berupaya mengkudeta pemerintahan Faruq. Pada tahun 1946 M, Hasan Al-Banna mengirim surat terbuka kepada Raja Faruq, ia memuji Raja Faruq dan berkata, 'Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin merasa takut terhadap kemuliaan Anda dan Ikhwanul Muslimin begini dan begini,' demikianlah ia memuji Raja faruq dan mendoakan kebaikan untuknya.

Sementara itu dia merencanakan kudeta dari tahun 1944 M dan mengorganisir tanzhim khusus pada tahun 1940 M enam tahun sebelum mengirim surat. Maka hal ini bisa dikatakan termasuk masalah tipu daya (taqiyah). Sebelumnya kita telah menyebutkan dari Mahmud Ash-Shabagh bahwa Hasan Al-Banna cuci tangan dari aksi teror salah seorang anggotanya. Ia lakukan ini dalam rangka perang, sedangkan perang adalah tipu daya!

Prinsip kelima: Tanzhim Hizb
Setelah itu bagaimanakah cara Hasan Al-Banna mengikat tali kendali dakwah dan golongan ini? Dia membentuk prinsip lainnya, yaitu organisasi kepartaian (tanzhim hizb).

Ia membentuk kepemimpinan umum dengan sistem kepemimpinan 'ala mursyid' dan dinamakan 'Maktab Al-Irsyad' (kantor bimbingan). Dia sendiri adalah pimpinan puncak.

Bagi tiap-tiap maktab terdapat anggota-anggota, kepala keluarga, dan wakil- wakilnya yang menyebarkan prinsip ini ke keluarga-keluarga mereka. Bila terjadi kasus tertentu dalam satu keluarga maka masalah itu harus disampaikan kepada kepala keluarga. Kepala keluarga menyampaikannya kepada wakil. Wakil-wakil menyampaikannya kepada kantor bimbingan umum yang bermarkas di Mesir dan akhirnya sampai ke Hasan Al-Banna.

Dengan demikian mereka menempuh organisasi negara dalam prinsip-prinsip yang telah dibentuk Al-Banna dan tidak ditemukan pada zaman salaf.

Pada zaman salaf ada pemimpin-pemimpin yang baik dan jelek. Kemudian ulama salaf menerangkan sunnah bagaimana bermuamalah dengan pemimpin. Mereka menyebarkan ilmu agama di masjid-masjid. Itulah jalan salaf. Adapun Ikhwanul Muslimin menempuh jalan bid'ah yang telah dicipta oleh Hasan Al-Banna yaitu jalan batiniyah. Bagi mereka yang membaca kitab-kitab batiniyah niscaya akan menemukan mereka punya wakil-wakil yang diberi nama nuqaba' (naqib-naqib) seperti penamaan organisasinya.

Sebelum dinasti Umawiyah jatuh, dai-dai dinasti Abbasiyah mempraktekkan metode ini. Mereka punya wakil-wakil yang tersebar dalam jabatan-jabatan daulah (negara) Umawiyah. Wakil-wakil itu punya tanggung jawab dan harus melaporkan kepada pucuk pimpinan tertinggi.

Oleh karena itulah Sururiyah banyak membicarakan jatuhnya dinasti Umawiyah dan membahas tentang metode dinasti Abbasiyah yang berhasil menggulingkan dinasti Umawiyah.

Hasan Al-Banna menciptakan prinsip ini, bagaimana ia mengikat pengikutnya dengan tanzhim tersebut. Tanzhim ini tidak melihat alim atau tidaknya sosok orang yang akan dicalonkan menjadi pemimpin.

Al-Hadhami, pengganti Hasan Al-Banna, adalah seorang yang mencukur jenggot, bekerja pada konsultan hakim pemerintahan Mesir, orang yang tidak mempunyai pengetahuan agama yang mendalam. Tetapi dia dijadikan pemimpin sepeninggal Al Banna.

Anggota-anggota Ikhwanul Muslimin terkejut atas wafatnya Hasan Al-Banna karena yang menggantikannya adalah Al-Hadhami, seorang yang suka memakai jas setengah lengan baju, mencukur jenggot, dan bekerja sebagai konsultan. Kini ia menjadi ketua umum Ikhwanul Muslimin. Mengapa? Karena pengangkatannya tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama, tetapi berhubungan dengan kepemimpinan 'negara'.

Bagi yang mau melihat gambaran Ikhwanul Muslimin dalam menjalankan tanzhim khususnya, bisa menelaah buku karya Mahmud Ash Shabagh dan Shalah Syadi. Kita akan menemukan sebagian besar mereka memotong jenggot dan menggelari Hasan Al-Banna dengan gelar syahid dan pahlawan. Mereka tidak mementingkan agama, mendengarkan musik, dan tujuan utama mereka adalah membentuk negara bukan membenahi akidah yang lurus. Islam hanyalah sekedar lipstik agar manusia tertarik kepadanya.

Hasan Al-Banna telah membuat tanzhim dan komando-komando. Seperti yang ia sebutkan dalam kitabnya 'Al-Mudzakkarat', bahwa bagi anggota yang tidak taat akan dikenai hukuman. Sampai-sampai mereka, para anggota, harus minta izin jika ingin haji atau nikah. Kesalahan yang dilakukan oleh anggota harus dibayar dengan tebusan dan kasus-kasus aneh lainnya.

Hasan Al-Banna telah mengaplikasikan prinsip pemisahan. Ia memisah orang yang tidak taat kendati ia telah mengabdi dua puluh atau tiga puluh tahun kepada jamaah, namun tetap hak-haknya tidak diperhatikan.

Teman seperjuangannya yang sama-sama mempelopori pendirian Ikhwanul Muslimin berbeda pendapat dengan Al-Banna. Maka orang ini pun ia kucilkan hingga akhirnya timbul polemik berkepanjangan di antara keduanya dan berkas-berkasnya masih terpelihara sampai sekarang. Al-Hadhami juga pernah mengucilkan Al-Baquri ketika ia absen dari pergerakan dan menyetujui ditahannya Menteri Sosial dan Wakaf Mesir pada zaman pemerintahan jamal Abdul Nasher. Al-Hadhami berkata kepada Al Baquri, 'Kamu terbuang dan diasingkan, kamu harus minta maaf.' Kemudian ia minta maaf. Jadi Ikhwanul Muslimin persis dengan negara, bukan dakwah.

Prinsip keenam: Pemimpin dakwah bukan orang alim atau thalibul ilmi tetapi seorang yang telah mencapai strata kepemimpinan
Sesungguhnya sejak zaman Nabi Adam 'alaihssalam, orang yang paling tahu mengenai agama akan menjadi rujukan masyarakat. Dan kalau kita membaca sejarah Bani Israil, kita akan melihat bahwa orang yang paling tahu tentang agamalah yang dijadikan pemimpin tanpa melihat apakah ia seorang ahli ibadah yang rusak akhlaknya atau bukan, apakah ia masih berpegang teguh dengan agama Musa atau tidak, apakah ia sudah mengganti agama Musa atau belum. Yang penting, pemimpin ini paling tahu tentang agama. Demikian juga seperti pada zaman Nabi Isa 'alaihissalam sampai zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang pernah mengutus sahabat yang paling alim, Muadz bin Jabal dan selainnya sebagai pemimpin.

Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, para Khulafaur Rasyidin menggantikannya. Kemudian lahir daulah Umawiyah, Abbasiyah, dan zaman kerajaan-kerajaan, sampai ke masa Hasan Al-Banna yang menjadikan pemimpin dakwah bukan dari kalangan orang alim atau thalabul ilmi, tetapi orang yang mencapai tingkat tertentu dalam kepemimpinan. Merekalah yang diserahi tanggung jawab menyangkut urusan ulama, thalabul ilmi, dan pelajaran-pelajaran agama.

Ikhwanul Muslimin membentuk 'negara' kendati tidak ada orang alim di dalamnya. Yang penting, orang yang ditokohkan ini taat, patuh terhadap perintah, petunjuk, dan aturan-aturan jamaah. Pendeknya ia mau mempersembahkan ketatannya kepada sebuah jamaah yang tidak bisa diutak-atik lagi. Kondisi ini terkadang dapat mengantarkan seseorang kepada jabatan yang tinggi hingga bisa saja ia menjadi seorang ketua umum.

Dengan demikian, negara tidak punya hubungan dengan ilmu agama. Akan tetapi asas negara ialah kalau berhasil mengkudeta, secara otomatis telah siap kepala negaranya, menteri-menterinya, gubernur-gubernurnya, atau aturan-aturan yang harus ditaati.

Sebagaimana negara demokrasi, negara ini tidak membahas atau bersinggungan dengan apa yang disebut bid'ah-bid'ah. Yang penting rakyat taat dengan aturan- aturannya kemudian silakan pilih apakah rakyat akan shalat atau tidak shalat. Dan anggota Ikhwanul Muslimin ada yang tidak shalat, ada yang menjadi sufi dan lain- lain. Di antara mereka ada juga yang menganut keyakinan sufi, khurafat, serta akidah lainnya. Prinsip ini kami katakan merupakan bagian dari prinsip-prinsip Hasan Al-Banna.

Prinsip ketujuh: Cara Bermuamalah dengan Negara
Termasuk prinsip yang telah dirancang Hasan Al-Banna adalah bagaimana jama'ah bermuamalah bersama negara. Prinsip yang diambil dari (golongan-gologan) partai- partai sebelumnya seperti partai Yasariyah, Rubiyah atau Rusiah atau selainnya.

Dalam mu'amalahnya dengan negara, Ikhwanul Muslimin menempuh jalan demonstrasi, mencari sebanyak mungkin dukungan dan membuat selebaran- selebaran. Termasuk dalam aturan khususnya sebagaimana yang disebut oleh Mahmud Abdul Halim dalam bukunya 'Ikhwanul Muslimin adalah perkara baru yang membuat sejarah' dan Mahmud Ash-Shabagh dalam bukunya 'Tanzim Khash' termasuk program penting mereka adalah mencetak dan menyebarluaskan selebaran-selebaran. Dalam aturan khususnya seorang anggota belajar dan mengajar membuat selebaran dan menyebarluaskannya di banyak tempat.

Demonstrasi bukan barang asing lagi bagi mereka. Biasannya mereka memulai gerakan unjuk rasa itu dari kampus-kampus. Dalam acara demonstrasi tersebut mereka membawa bahan peledak yang pernah menimbulkan korban dari pihak keamanan dan pelajar. Gerakan-gerakan semacam ini jelas tidak pernah diajarkan Nabi Shalallahu'alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam agama, demikian juga mencari dukungan-dukungan.

Imam Ahmad bin Hambal pernah dipenjara oleh khalifah Al Makmun tetapi beliau tidak melakukan demonstrasi, mencari dukungan, atau melakukan kudeta. Ibnu Taymiyyah dipenjara dan mati dalam penjara tetapi muridnya, Ibnul Qoyyim, tidak mencari dukungan, membuat selebaran ataupun melancarkan kerusuhan-kerusuhan dan selainnya. Mereka hanya berdoa kepada Allah dengan cara yang baik. Berdoa dengan hikmah, meminta pertolongan-Nya dan agar diberi kemampuan memikul cobaan. Allah memberi petunjuk kepada yang Ia kehendaki dan menyesatkan siapa yang Ia kehendaki.

Allah Subhanahu wata'ala berfirman : artinya : 'Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu sebagaimana halnya orang- orang terdahulu sebelum kamu ? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, 'Bilakah datang pertolongan Allah?'. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.' (Al-Baqoroh : 214)

Allah berfirman yang artinya : 'Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan :'Kami telah beriman', sedangkan mereka tidak diuji? ' (Al-Ankabut:1-2).

Allah berfirman yang artinya : 'Apakah kamu mungira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar' ( Ali Imran : 142).

Metode para Nabi adalah dengan cara mendidik dan mengajarkan kebaikan. Adapun demonstrasi dan mencari dukungan/perlindungan kepada selain-Nya dapat menimbulkan pembunuhan orang-orang baik dan kerusuhan-kerusahan. Hasan Al- Banna mempergunakan cara-cara ini semuanya dan peristiwa-peristiwa yang pernah dilakukan Hasan Al-Banna bisa dibaca dalam buku karya Mahmud Ash-Shabagh 'Tanzim Khash' karya Shalah Syadi ' Al-Hasha minal Umur' dan buku karya Ahmad Kamal ' Alkhutuut 'alal Huruf' Dalam buku-buku tersebut pembaca bisa menemukan bagaimana Ikhwanul Muslimin melakukan aksi-aksi kerusuhan bahkan sampai dengan perkara 'membunuh manusia yang lewat dengan cara digigit'.

Mahmud Ash-Shabagh berkata, cara-cara itu dilakukan dalam rangka mencapai sasaran dakwah (maslahat dakwah) walaupun dengan cara menggigit manusia yang lewat di jalan sampai mati. Kasus-kasus ini semuanya pernah dilakukan dalam perjuangan ala Hasan Al-Banna

Prinsip kedelapan : Masuk ke Parlemen-parlemen dan Pemilu
Hasan Al-Banna berdakwah dengan memasuki parlemen, bersatu, melobi dan berbasa-basi dengan partai lain dengan tujuan untuk mendesak pemerintah dan mencapai maksud-maksud tertentu, seperti yang pernah ia lakukan bersama partai Al-Yasari dan selainnya.

(Ditulis oleh Syaikh Ayyid asy Syamari, pengajar di Makkah al Mukaramah, dalam rangka menjawab pertanyaan sebagian jama’ah Ahlusunnah wal Jama’ah asal Belanda tentang perbedaan Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyah, Sururiyah dan Yayasan Ihya ut Turats. Penerbit Maktabah As-Sahab 2003. Judul asli Turkah Hasan Al Banna wa Ahammul Waritsin. Penerjemah Ustadz Ahmad Hamdani Ibnul Muslim.)