24 Agustus 2009

Meluruskan Kekeliruan Makmum

Sebagai lanjutan dari pembahasan fiqh sebelumnya yakni “Meluruskan Kekeliruan Imam”, Sekarang kami ingin memaparkan kekeliruan yang biasa kita lakukan sebagai makmum. Tapi bacanya agak sabar dikit ya, soalnya poin-poinnya sampai 50 biji..hmm..Selamat Membaca!

Meluruskan Kekeliruan Makmum

oleh Al Ustadz `Aunur Rofiq bin Ghufron



Landasan amal ibadah yang diterima oleh Allah ialah apabila pelakunya muslim, hatinya ikhlas beramal karena Allah dan amatnya sesuai dengan sunnah Rasulullah. Betapapun ikhlas niatnya karena Allah, tetapi jika amatnya tidak ada tuntunan dari sunnah maka amalnya sia-sia. Sebaliknya, sekalipun amalan itu benar menurut sunnah lagi banyak jumlahnya, tetapi jika hatinya riya’ maka ditolak.

Adapun alasan orang yang mengatakan bahwa amal ibadah tetap diterima selagi tidak ada larangan. Ini adalah kaidahnya orang yang tidak mengerti sunnah sehagaimana yang dilakukan oleh ahli bid’ah. Kaidah ini bertentangan dengan sabda Nabi:

Barang siapa beramal suatu amalan yang tidak ada petunjuk dari kami, maka amalan itu ditolak. (HR. Muslim: 1718).
Dan bertentangan pula dengan kaidah yang berhubungan dengan shalat, Nabi bersabda:

Shalatkah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Bukhari: 631).

Maknanya, shalat tidak menerima tambahan atau pengurangan dengan alasan apapun.

Pada beberapa waktu yang lalu telah dimuat pembahasan "Meluruskan Kekeliruan Imam". Insya Allah kesempatan ini akan dihahas pula pembahasan "Meluruskan Kekeliruan Makmum" agar shalat kita selaku imam atau makmum benar-benar didasari sunnah dan diterima oleh Allah. Adapun dasar dan kaidah untuk pembahasan ini berpijak kepada kaidah diatas, dengan mengambil fatwa dari kalangan ahli hadits, ahli tafsir dan ahli fiqih yang mu’tahar (diakui).

Kekeliruan yang kami maksudkan dalam pembahasan ini, boleh jadi karena dalil nash yang melarangnya, atau karena memang tidak ada contoh dari sunnah. Selain itu, kekeliruan yang kami bahas ini bukan hanya berhuhungan dengan makmum saja, sekalipun ini yang banyak kami ulas, tetapi meliputi
kekeliruan imam dan lainnya untuk melengkapi kekurangan pembahasan yang lalu.

Bagian Pertama: Kekeliruan Makmum

1. Melantunkan ‘pujian’ setelah adzan

Kita jumpai sebagian masjid tatkala mu’adzin selesai adzan mereka mengadakan pujian atau membaca anasyid bersama-sama, bahkan dengan suara yang keras. Amalan ini tidak ada tuntunannya dari Nabi
atau sahabatnya.

Dalilnya, dari Anas bin Malik, Rasulullah berkata kepada seorang arab Badui yang kencing di masjid:

Sesungguhnya masjid ini tidak dibenarkan sedikitpun untuk kencing, dan tidak boleh untuk sesuatu yang najis. Tetapi untuk dzikir kepada Allah & shalat dan membaca Al-Quran. (HR. Muslim no 285).

Lembaga Ulama Saudi Arabia menjawab pertanyaan bolehkah melantunkan anasyid (pujian-pujian (seperti lagu lagu dan semisalnya -red ) di masjid:

"Tidak dibolehkan melantunkan anasyid, pujian dan semisalnya di masjid, karena masjid diperuntukkan untuk shalat, berdzikir kepada Allah, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir dm memhaca Al-Qur’an,
mengajar dan memheri fatwa".
(Lihat Fatwa Allajnah Ad Daimah 6/304)


2. Menanti shalat dengan obrolan atau sendagurau

Lembaga Ulama Saudi Arabia ditanya:

"Banyak kitajumpai sebagian orang setelah shalat Maghrib mereka tidak segera pulang, mereka menanti shalat Isya’. Namun di tengah penantian ini mereka ngobrol, berbincang-bincang masalah dunia,
bahkan kadang kala mengambil radio untuk mendengarkan warta berita, bolehkah perbuatan ini?"

Mereka menjawab:

"Tidak boleh. Berdasarkan surat An-Nur 36-38 bahwa masjid diperuntukkan untuk dzikir, shalat, membaca Al-Quran dan menyampaikan ilmu dinul Islam".
(Lihat Fatawa Allajnah Ad Daimah: 6/279)


3. Keluar dari masjid setelah adzan

Terhitung perbuatan maksiat bila keluar dari masjid setelah adzan tanpa ada keperluan yang sangat penting seperti berwudlu atau ke WC dan semisalnya. Dalilnya:

Dari Abu Sya’sa’ dia berkata: Kami pernah duduk di masjid bersama Abu Hurairah. Ketika muadzin selesai adzan, ada seorang laki-laki bangun be jalan, lalu sahabat Abu Hurairah terus memandangnya sehingga orang itu keluar dari masjid. lalu Abu Hurairah berkata: "Orang itu telah bermaksiat kepada Abul Qasim.".
(HR. Muslim no 665)


4. Meninggalkan shalat tahiyatal masjid

Menurut sunnah, apabila seseorang masuk masjid sebelum imam hadir, hendaknya tidak segera duduk. Tetapi menjalankan shalat dua rakaat terlebih dahulu, yaitu shalat tahiyatal masjid. Dalilnya, dari Abu Qatadah As-Sulami sesungguhnya Rasulullah bersabda:

Apabila salah seorang di antara kamu masuk masjid, hendaklah shalat dua rakaat sebelum ia duduk.
(HR. Bukhari: 444; Muslim: 714)


5. Menjalankan shalat sunnah tanpa sutrah.

Banyak kita saksikan ketika makmum menjalankan shalat sunnah tahiyatal masjid atau sunnah qabliyah dan ba’diyah tanpa memperhatikan sutrah atau tabir di depannya. Mereka shalat di tengah atau di betakang tanpa mencari pembatas. Perbuatan ini keliru dan menyelisihi sunnah Rasulullah, sebab sutrah atau tabir untuk orang yang shalat hukumnya wajib.

Dalilnya, dari Musa bin Thalhah dari Ayahnya ia berkata: Rasulullah bersabda:

Apabila salah seorang dari kalian telah meletakkan semisal ujung pelana di depannya, maka shalatlah. Dan tak usah memperdulikan orang yang lewat di belakang sutrah tersebut. (HR. Muslim)

Sabda Nabi (maka shalatlah), menunjukkan bahwa shalat dapat dimulai bila di depannya sudah ada sutrah.

Dan Abu Said AI-Khudri ia berkata: Rasulullah bersabda:

Apabila salah seorang di antara kamu akan menjalankan shalat, hendaklah menghadap kepada sutrah (tabir) dan dekatlah dengannya.
(HR. Abu Dawud 648 dishahihkan oleh Ibn Baz. Lihat Majmu Fatawa 4/264)

Fungsi sutrah merupakan pembatas bagi orang yang ingin lewat di depannya. Diperbolehkan berlalu di luar sutrah dan dilarang melatui bagian dalamnya (antara sutrah dan orang yang shalat).

Dalilnya, Abu Said berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:

Apabila salah seorang di antara kamu telah menghadap sutrah ketika akan shalat, lalu ada yang mau lewat di depannya (antara dia dan sutrah), hendaknya ia mendorong lehernya. Jika enggan, maka perangi dia, karena dia itu setan.
(HR. Bukhari: 509; Muslim: 505)

Memahami hadits di atas, berarti orang yang shalat tanpa sutrah di depannya, tidak berhak menghalangi orang yang lewat di depannya.

Orang yang menjalankan shalat hendaknya dekat dengan sutrah. Dalilnya, dari Sahl bin Abi Hatsmah, Nabi bersabda:

Apabila salah satu di antara kamu mengerjakan shalat menghadap kepada sutrah, hendaklah ia dekat dengan sutrahnya, maka setan tidaklah mampu menggodanya.
(HR. Abu Dawud. Albani berkata: Imam Hakim menshahihkannya, Imam Adz-Dzahabi
dan Imam Nawawi menyetujuinya)

Adapun jarak antara tempat sujud dengan sutrah semisal berlalunya kambing: Dan Sahl bin Sa’ad ia berkata:

(Jarak) antara tempat sujud Rasulullah dan tembok semisal tempat berlalunya kambing.
(HR. Bukhari, Kitabus Shalat: 496)

Sutrah dapat diperoleh dengan cara :

1. Menghadap dinding.

Dalilnya, Bilal berkata: Lalu Rasulullah shalat sedangkan jarak antara berdiri beliau dengan dinding depan (sejauh) tiga hasta.
(HR. Imam Ahmad)

2. Menghadap orang berbaring.

Dalilnya, Aisyah berkata: Sungguh aku pernah melihat Nabi sedang shalat aku berada di antara beliau dan arah kiblat, waktu itu aku berbaring di atas tempat tidur.
(HR. Bukhari: 511)

Dalil yang lain, ketika kita shalat berjamaah, maka orang di depan kita adalah sutrah kita, baik mereka dalam keadaan berdiri atau duduk.

3. Menghadap tiang dan semacamnya.

Dalilnya: Dari Anas bin Malik, dia berkata: "Sungguh aku pernah melihat kibar sahabat Nabi bersegera menuju tiang-tiang masjid, ketika masuk waktu shalat Maghrib.
(HR. Bukhari: 503)

4. Menghadap benda, semacam ujung pelana

Dalilnya, Aisyah berkata: Rasulullah pernah ditanya tentang tabir di depan orang yang sedang shalat, maka beliau menjawab, "semisal pelana"
(HR. Muslim: 500)



Dan lbn Umar, sesungguhnya Rasulullah apabila keluar ingin shalat ied, beliau memerintahkan agar menancapkan semisal ujung tombak di depannya, lalu beliau shalat menghadap tombak tersebut, sedangkan orang-orang berada di belakangnya. Amalan ini beliau kerjakan pula
ketika bepergian.
(HR. Muslim: 501)

5. Menghadap kendaraan.

Dalilnya: Dari lbn Umar sesungguhnya Nabi menghadapkan ontanya, Lalu beliau shalat menghadap kepadanya.
(HR. Muslim: 502)




6. Menunda iqamat karena makmum masih shalat sunnah

Sebagian makmum melarang orang yang akan qamat, karena masih ada orang yang menjalankan shalat sunnah. Tindakan ini keliru, sebab qamat disyari’atkan ketika imam telah datang.

Dalilnya, dari Abu Qatadah dari Ayahnya ia berkata: Rasulullah bersabda: Apabila telah qamat, janganlah kamu berdiri sehingga engkau melihatku, dan engkau wajib mendatanginya dengan tenang.
(HR. Bukhari : 638)


7. Bercakap-cakap setelah iqamat

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata:

"Berbicara setelah qamat dan sebelum takbiratul ihram apabila berhubungan dengan shalat seperti meluruskan shaf dan semisalnya hukumnya sunnah, tetapi bila tidak ada hubungannya dengan shalat hendaknya ditinggalkan, karena kita sedang persiapan untuk menjalankan shalat."
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz : 4/179)


8. Berjalan tergesa-gesa

Makmum hendaknya tidak berjalan tergesa-gesa atau bahkan berlari untuk menuju ke masjid karena khawatir ketinggalan shalat (masbuk), tetapi hendaknya berjalan dengan tenang.

Dalilnya, dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda:

Apabila kamu mendengarkan iqamat, hendaklah bejalan untuk shalat, dan wajib bagimu mendatanginya dengan tenang dan janganlah lari terburu-buru, maka apa yang kamu jumpai bersama imam kerjakan, dan yang kurang, sempurnakan.
(HR. Bukhari : 636)


9. Melanjutkan shalat sunnah setelah iqamat

Ketika makmum melihat imam telah bertakbiratul ihram, hendaklah menghentikan shalat sunnahnya untuk segera mengikuti shalat berjamaah.

Dalilnya:
Dari Abu Buhainah ia berkata: Ketika shalat subuh akan dimulai, Rasulullah melihat seorang laki-laki sedang melanjutkan shalat (sunnahnya) padahal muadzin sedang qamat, Lalu beliau berkata kepadanya: "Apakah kamu ingin shalat Shubuh empat rakaat? "
(HR. Muslim : 711)

Dari Abu Hurairah dari Nabi sesungguhnya beliau bersabda: Apabila iqamat telah dikumandangkan, maka tidak diperkenankan shalat kecuali shalat wajib.


10. Enggan memilih shaf pertama

Termasuk kebiasaan yang keliru, ketika makmum mendengar qamat, tidak segera mengisi shaf yang pertama, tetapi mencari shaf di belakang, padahal shaf pertama lebih utama daripada shaf berikutnya.

Dalilnya, dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah bersabda:

Andaikan manusia mengetahui betapa besar pahala orang yang menjawab adzan dan shaf yang pertama, lalu ia tidak memperolehnya melainkan harus mengikuti undian, tentu akan mengikutinya.
(HR. Bukhari: 721, Muslim: 437)


11. Tidak merapatkan shaf



Sering kita jumpai makmum ketika menjalankan shalat berjamaah, mereka tidak memperhatikan kerapian shaf, tidak meluruskan dan tidak merapatkannya. Padahal shaf yang kurang rapat akan mengganggu ketenangan shalat.

Dalilnya, sesungguhnya An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda:

Sungguh engkau mau meluruskan shafmu atau Allah akan menaruh permusuhan dan kemarahan di hatimu. (HR. Muslim: 436)

Imam Bukhari berkata: "Bab hendaknya pundak menyentuh pundak, kaki menyentuh dengan kaki di dalam pengaturan shaf". An-Nu’man bin Basyir berkata:

"Kami melihat salah satu di antara kami menyentuhkan pundaknya dengan pundak temannya."
(Lihat Shahih Bukhari Kitab Shalat)


12. Memulai shaf dari kanan atau dari kiri

Sering kita melihat seseorang ketika masuk masjid dan mendapatkan shaf di depannya sudah penuh, dia memulai shaf baru dari ujung kanan atau kiri, padahal menurut sunnah hendaknya memulai dari belakang imam.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata:
"Shaf hendaknya dimulai dari tengah di belakang imam. Sedangkan sesudah itu, shaf sebelah kanan lebih utama dari pada sebelah kiri, berdasarkan hadits yang shahih".
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/416)

Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa:

"Penyusunan shaf adalah dimulai di belakang imam, selanjutnya memanjang ke kanan dan ke kiri, bukan dimulai dari ujung kanan. Demikian pula shaf berikumya".
(Lihat Fatawa Islamiyah 1/358)


13. Membuat shaf sebelum di depannya penuh

Sering kita jumpai makmum menyusun shaf baru padahal shaf di depannya belum penuh, perbuatan ini menyelisihi sunnah.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata:

"Dilarang membuat shaf baru sebelum shaf di depannya penuh, dan tidak mengapa mereka mengambil shaf bagian kanan lebih banyak daripada shaf sebelah kiri, dan tidak harus ada keseimbangan."
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/416)


14. Shalat sendirian di samping kanan belakang imam

Jika makmum laki-laki hanya orang, maka letak shafnya bukan di samping kanan belakang imam sebagaimana menurut kebiasaan yang dilakukan pada umumnya, tetapi di sebelah kanan imam lurus bersamanya. Dalilnya:

Dari Ibn Abbas sesungguhnya ia berkata: Saya tidur di rumah Maimunah istri Nabi, waktu itu Rasulullah tiba gilirannya bermalam di rumahnya, lalu Rasulullah berwudlu, lalu berdiri untuk melaksanakan shalat (malam). Aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarikku menjadikanku di sebelah kanannya.
(HR. Bukhari: 697; Muslim: 763)


15. Shalat sendirian di balakang shaf

Makmum dilarang membuat shaf sendirian selagi shaf di depannya belum penuh. Dalilnya, dari Wabishah bin Ma’bad:

Nabi melihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf. Kemudian memerintahkannya untuk mengulanginya.
(HR. Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ no.541. )


16. Memilih shaf yang terputus

Shaf makmum dalam satu baris hendaknya bersambung dengan makmum yang lain, tidak terpisah oleh tiang atau tembok. Kecuali dalam keadaan darurat karena masjid sangat sempit, sehingga terpaksa harus shalat di tempat yang ada.

Sahabat Ibnu Mas’ud berkata: "Janganlah kamu menyusun shaf di antara tiang-tiang". Para ahli ilmu seperti Imam Ahmad dan Ishaq membenci barisan shaf antara tiang-tiang.
(Lihat kitab AI-Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin hat. 231 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman.)


17. Mengeraskan bacaan takbir

Kadang kala kita menjumpai sebagian makmum tatkala imam membaca takbir, makmum pun bertakbir dengan suara yang keras. Padahal tidak ada tujuan membantu mengeraskan takbir imam. Perbuatan ini menyelisihi sunnah.

Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa:

Imam disyariatkan mengeraskan bacaan semua takbir agar makmum mendengamya, sedangkan makmum menurut sunnah tidak diperintahkan mengeraskan takbiratul ihram atau takbir intiqal (pindah gerakan), tetapi dengan suara cukup didengar sendiri, bahkan mengeraskan takbir bagi makmum termasuk bid’ah. Lalu membawakan hadits: Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah bersabda: Barang siapa membuat cara baru di dalam urusan ibadah kami yang tiada contoh dari sunnah, maka ditolak. (HR. Bukhari).
(Lihat Fatawa Allajnah Ad Daimah: 6/340)


18. Tidak segera shalat bersama imam

Sering kita jumpai ketika makmum masbuk, melihat imamnya sedang sujud, tidaklah segera bertakbiratul ihram lalu bertakbir untuk sujud bersamanya, tetapi menunggu imam berdiri. Perbuatan ini menyalahi sunnah.

Dalilnya, dari Anas bin Malik, Nabi bersabda:

Sesungguhnya imam itu dijadikan panutan, apabila dia bertakbir, bertakbirlah, dan apabila dia sujud sujudlah dan apabila dia bangun, bangunlah ". (HR. Muslim: 414).


19. Mendahului Imam

Mendahului imam termasuk dosa besar dan berat ancamannya. Dari Abu Hurairah ia berkata: Nabi Muhammad bersabda,

Apakah tidak takut makmum yang mengangkat kepalanya sebelum imam, apabila Allah merubah kepalanya menjadi kepala keledai. (HR. Muslim)

Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa,

Jika makmum sengaja mendahului imam maka shalatnya batal. Tetapi apabila karena lupa, maka segera kembali untuk mengikuti imam. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah: 7/326)


20. Tidak membetulkan imam ketika keliru

Makmum hendaklah membetulkan ketika salah membaca ayat atau gerakan, jika salah bacaannya dibetulkan bacaannya. Jika salah gerakannya, hendaklah makmum pria membetulkan dengan membaca subhanallah, sedangkan wanita dengan bertepuk tangan.

Dalilnya, dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah bersabda,

Hai manusia, mengapa kalian ketika hendak mengingatkan pada waktu shalat, engkau bertepuk tangan? Sesungguhnya tepuk tangan itu untuk wanita, maka barang siapa menjumpai kesalahan pada waktu shalat, hendaklah mengatakan "Subhanallah". (HR. Bukhari)


21. Shalat qabliyah Jum’ah

Makmum usai mendengar adzan pada hari Jum’at, mereka segera bangun untuk menjalankan shalat sunnah qabliyah jum’ah. Perbuatan ini termasuk bid’ah (tidak ada contohnya dari nabi). Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata,

Tiada satu dalilpun dari sunnah yang menjelaskan anjuran shalat sunnah qabliyah Jum’ah. Adapun pendapat yang membolehkan karena dikiaskan dengan shalat sunnah qabliyah dzuhur, tidak dapat diterima.
(Lihat kitab Assunan wal Mubtada’ah Almutaqa’aliqah Bil Adzkar Wash Shalah: 181)

Ibnul Qayim Al Jauziyah berkata,

Barang siapa yang mengira, bahwa setelah adzan Jum’at dianjurkan shalat dua raka’at, dia termasuk manusia yang paling tidak mengerti dengan sunnah.
(Zadul Ma’ad 1/432)


22. Makmum keluar sebelum Imam berpaling dari kiblat

Makmum hendaknya tidak mendahului imam kelua dari masjid setelah salam, melainkan bila imam telah berpaling dari kiblat. Imampun hendaknya tidak lama-lama menghadap kiblat setelah salam sebagaimana penjelasan kami yang lalu "Meluruskan Kekeliruan Imam".

Dalilnya, dari Ibnu Abbas ia berkata, Pada suatu hari Rasulullah mengimami kami . Setelah salam, beliau menghadap kepada kami lalu bersabda,

Wahai manusia, sesungguhnya aku ini imammu, maka janganlah kamu mendahuluiku ketika aku ruku’, sujud, ketika bangun dan jangan pula mendahuluiku ketika keluar. (HR. Muslim)

Ibnu Taimiyah berkata, "Hendaknya makmum tidak bangun dari tempat shalatnya sehingga imam berpaling dari arah kiblat."
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 22/205)


23. Mengamini do’a imam sambil mengangkat tangan

Sering kita menjumpai sebagain masjid, ketika imam selesai shalat, imam segera mengomando dzikir dan do’a , sedangkan makmum mengikuti dan mengamininya. Perbuatan ini termasuk bid’ah karena tidak ada contohnya.

Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia berfatwa,

Berdo’a dengan mengangkat tangan setelah shalat wajib, dilaksanakan bersama-sama dengan dikomando oleh imam atau sendirian hukumnya bid’ah, karena Nabi dan para shahabat tidak pernah mengamalkannya.

Adapun berdo’a setelah shalat tanpa angkat tangan dan tidak dikomandoi oleh imam tidak mengapa, karena ada hadits lain yang membolehkannya.
(Fatawa Lajnah Ad-Daimah: 7/103)


24. Imam disambut dengan shalawat Nabi

Tatkala imam bangun meninggalkan tempat shalat, makmum segera menyambutnya (mengantarnya -red) dengan shalawat Nabi dan berjabat tangan.

Lembaga Fatwa Saudi Arabia berfatwa:

Membaca shalawat Nabi disyari’atkan ketika bertasyahud pada wakti shalat fardhu atau shalat sunnah, dan disyariatkan pula ketika akan berdo’a setiap saat setelah membaca hamdalah dan memuji Allah, karena membaca shalawat nabi merupakan salah satu penyebab dikabulkan do’a.
(Fatawa Lajnah Ad-Daimah: 7/120)


25. Melangkahi pundak orang

Karena kesalahan sebagian makmum yang datang pertama, mereka menjalankan shalat sunnah di sembarang tempat, maka terjadilah kekosongan sebagian shaf yang pertama dan berikutnya, sehingga orang yang datang belakangan, mereka melangkahi pundak saudaranya untuk memenuhi shaf yang kosong, sehingga terjadi pelanggaran yang tidak dibenarkan oleh sunnah.

Oleh karena itu hendaknya makmum yang datang pertama tahiyatal masjid dengan mengambil shaf yang paling depan atau mencari tempat yang tidak mengganggun saudaranya yang datang belakangan, agar mereka tidak melangkahi pundak saudaranya

Dalilnya adalah dari Abu Az-Zahiriyah dia berkata,

Aku pernah duduk bersana Abdullah bin Busr pada hari Jum’ah, lalu datang seorang laki-laki melangkahi manusia, sedangkan Rasulullah pada waktu itu sedang berkhutbah, lalu beliau bersabda, "Duduklah,
sungguh engkau telah mengganggu (karena melangkahi) dan terlambat."
(HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Albani: 155)


26. Bermakmum kepada Imam ahli syirik

Kita dilarang bermakmum dengan imam ahli syirik seperti Imam yang beristighatsah kepada selain Allah, kita wajib mencari masjid lain yang imamnya Ahlus sunnah, jika tidak menjumpainya kecuali orang yang pernah berbuat maksiat, sebaiknya berjama’ah dengan mereka agar kita lepas dari dosa, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sebagian sahabat, mereka bermakmum kepada Imam yang zhalim seperti Hajjaj bin Yusuf. Adapun bermakmum kepada orang yang musyrik, hukumnya haram.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,

Dilarang bermakmum kepada setiap orang musyrik seperti orang yangberistighatsah kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain-Nya, karena beristighatsah kepada selain Allah seperti beristighatsah kepada orang mati, kepada patung, jin dan selainnya termasuk perbuatan syirik.
(Majmu’ Fatawa bin Baz 4/396, 400)


27. Lewat di depan orang yang sedang shalat



Sering kita jumpai sebagian jama’ah berjalan di depan orang yang sedang shalat. Perbuatan ini hukumnya haram, kecuali keluar karena berhadas atau mengantuk.

Adapun dalil larangan lewat di depan orang yang sedang shalat yakni, dari Abu Juhaim (Abdullah bin Harits Al Anshari) ia berkata, Rasulullah bersabda,

Seandainya orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat itu tahu betapa besar dosanya, tentu dia lebih menyukai berdiri selama empat puluh (hari, atau bulan atau tahun) daripada lewat di depan orang yang shalat. (HR. Bukhari).

Adapun dalil wajib keluar bagi orang yang mengantuk ketika shalat, dari ‘Aisyah dia berkata, Rasulullah bersabda,

Apabila orang itu mengantuk ketika shalat, hendaknya ia pergi, karena boleh jadi dia mendo’akan dirinya jelek sedang dia tidak merasa.
(HR. An Nasa’i dishahihkan oleh Al Albani No. 813)

Adapun dalil wajib keluar bagi yang berhadats ketika shalat, dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda,

Apabila salah satu di antara kamu menjumpai gelembung di dalam perutnya, ragu-ragu, kentut apa tidak, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau menjumpai bau (kentut). (HR. Muslim)


28. Berjabat tangan setelah shalat



Sering kita jumpai setelah shalat sunnah atau wajib Imam dan makmum berjabat tangan dengan tetangga kanan kiri bahkan dengan jama’ah di belakangnya pula. Perbuatan ini jelas mengganggu orang yang sedang berdzikir kepada Allah, lagi pula perbuatan ini menyelisihi sunnah.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,

Adapun apa yang diamalkan oleh sebagian manusia, makmum bersegera berjabat tangan dengan imam setelah salam, tidak ada dalilnya. Amalan itu dibenci, karena setelah shalat, dianjurkan berdzikir sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/262)

Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Salman berkata,

Menucapkan salam dan berjabat tangan disyari’atkan ketika orang itu datang dari bepergian dan ketika berpisah sekalipun hanya sebentar, baik di masjid ataupun di luar masjid.
(Al Qaulul Mubin Fii Akhtha’il Mushallin, hal. 301 )


29. Usai shalat fardhu langsung mengerjakan shalat sunnah

Sering kita jumpai imam atau makmum ketika selesai menjalankan shalat, langsung berdiri melanjutkan shalat sunnah, amalan ini bertentangan dengan sunnah.

Dalilnya, dari Saib bin Yazid bin Ukhti Namir, ia berkata,

Saya pernah shalat Jum’at bersama Mu’awiyah. Tatkala aku selesai shalat Jum’at, aku segera bangun untuk menjalankan shalat sunnah. Setelah Mu’awiyah masuk di rumah, beliau mengutus salah seorang untuk memanggilku, lalu Beliau berkata,

Jangan kamu ulangi perbuatanmu itu, apabila kamu selesai shalat Jum’ah, janganlah kamu menyambung dengan shalat yang lain sehingga kamu berbicara atau keluar terlebih dahulu. Karena Rasulullah memerintahkan demikian, yaitu hendaknya tidak disambung shalat dengan shalat sehingga kami berbicara atau keluar. (HR. Muslim).


30. Sering Masbuk tanpa udzur

Sebagian makmum ketika mendengar adzan tidak segera berangkat ke masjid, tetapi sering terlambat tanpa udzur. Perbuatan ini menyerupai shalat orang munafiq. Dalilnya, dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah bersabda,

Dan seandainya mereka mengerti betapa besar pahala orang yang bersegera datang ke masjid (untuk berjama’ah), tentu mereka akan berlomba-lomba mendahuluinya. (HR. Bukhari).


Bagian Kedua: Kekeliruan dalam Shalat Secara Umum.

31. Sering bergerak pada waktu shalat

Kita sering menjumpai makmum ketika shalat, dia memutar-mutar jam tangannya, mempermainkan kancing bajunya, geleng-geleng kepala, banyak bergerak, mengelus-elus jenggot dan atau memintal kumis dan semisalnya. Perbuatan ini dilarang karena akan mengurangi bahkan dapat menghilangkan kekhusyu’an pada waktu shalat, padahal Allah berfirman,

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. (QS: Al Mukminun: 12)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,

Bagi orang yang sedang shalat, hendaknya tidak berbuat sia-sia seperti menggerakkan pakaian, janggut atau yang lain. Bila gerakan ini sering dilakukan, hukumnya haram. Adapun pendapat yang mengatakan apabila gerakan itu dilakukan tiga kali hukumnya batal, pendapat ini lemah dan tidak berdalil.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/424)


32. Ketika shalat melihat ke atas atau ke sana kemari



Apabila sedang shalat hendaknya pandangan mata menundukkan ketempat sujud, tidak meilhat ke kanan atau ke kiri apabali ke belakang, karena perbuatan itu termasuk godaan syetan.

Dalilnya, ‘Aisyah berkata,

Aku pernah bertanya kepada Nabi tentang hukum seorang pria yang menoleh ketika shalat, maka beliau menjawab, "Itu adalah pencurian, syetan sedang mencuri shalat salah satu di antaramu."

Sesungguhnya Anas bin Malik pernah bercerita kepada mereka, bahwa Nabi bersabda,

"Mengapa kaum itu tatkala shalat, mereka melihat ke atas." Dia (perawi hadits) berkata: Sunggguh amat keras beliau itu, sehingga beliau bersabda, "Hendaklah kaum itu berhenti, jika tidak mau, akan dicungkil matanya."


33. Menyisingkan pakaian dan rambut.

Ketika shalat dilarang menyisingkan lengan baju atau melipatnya, demikian juga rambut dan baju.

Dalilnya, dari Abdullah bin Abbas sesungguhnya Nabi bersabda,

Aku diperintah agar sujud dengan tujuh anggota, yaitu dahi, hidung, dua tangan, dua lutut dan dua kaki, dan aku dilarang menyisingkan rambut dan baju. (HR. Muslim).

Imam Nawawi berkata,

Ulama telah bersepakat bahwa ketika shalat dilarang menyinsingkan baju, lengan baju dan semisalnya.
(Syarah Muslim 4/209)


34. Sering membersihkan debu di tempat sujud

Pada waktu shalat, kita dianjurkan agar khusyu’ di dalam setiap gerakan. Tidak dibenarkan menggerakkan anggota badan kecuali ada perintah, seperti ruku’, sujud, berdiri, duduk dan sebagainya. Dan diperbolehkan membersihkan sesuatu di tempat sujud ketika shalat sekali saja.

Dalilnya, dari Mu’aiqib, sesungguhnya Rasulullah berkata kepada salah seorang yang meratakan tanah ketika sujud, maka beliau bersabda, "Jika kamu harus berbuat itu, maka boleh hanya sekali." (HR. Muslim)


35. Mengusap wajah setelah shalat

Sebagian umat Islam setelah salam lalu mengusap wajah dengan tangan kanan. Perbuatan ini tergolong bid’ah, karena tidak ada tuntunannya dari sunnah.

Syaikh Ibnu Baz ketika beliau ditanya hukum mengusap muka setelah salam, beliau menjawab,

Tidak ada tuntunannya, tetapi jika mengusap wajah sebelum salam hukumnya makruh. Sebab, Nabi ketika salam pada waktu shalat subuh, pada dahinya terlihat bekas tanah basah, karena pada malam harinya turun hujan. Ini menunjukkan lebih utama tidak mengusap wajahnya sebelum salam.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/272)


36. Bertasbih dengan memakai alat tasbih

Membaca tasbih, tahmid dan takbir setelah shalat atau sebelumnya dengan memakai alat tasbih termasuk perbuatan yang menyelisihi sunnah.

Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia berfatwa,

Berdzikir dan bertasbih dengan tangan itu lebih utama. Kami tidak menjumpai amalan Nabi bahwa beliau bertasbih dengan alat tasbih. Perlu kita maklumi amalan yang paling baik adalah mengikuti sunnah.
(Lihat Fatwa Lajnah Ad-Daimah: 7/111)


37. Usai salam membaca tiga ayat surat Ali Imran

Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata,

Usai salam langsung membaca tiga ayat dari surat Ali Imran khusus setelah selesai shalat Maghrib dan Subuh; kami tidak mengetahui dalilnya dari kutubus sunnah.
[Jika suatu amalan tidak ada dalilnya dari kutubus sunnah (buku-buku hadits / sunnah), maka amalan ini tidak ada contohnya dari Nabi. Dengan kata lain, amalan tersebut termasuk ke dalam bid’ah. -red]
(Lihat As-Sunan Wal Mubtada’ah al Muta’aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 71)


38. Menambah kalimat istighfar

Kadang kala kita menjumpai imam atau makmum tatkala membaca istighfar yaitu "Astaghfirullah" lalu ditambah dengan "Ya Arhamar raahimiin, irhamnaa" dengan bersama-sama, maka hukumnya bid’ah karena tidak ada contohnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Abdus Salam.
(Lihat As-Sunan Wal Mubtada’ah al Muta’aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 70


39. Shalat Dzuhur setelah shalat Jum’ah

Mengerjakan shalat Dzuhur setelah menjalankan shalat Jum’ah termasuk perbuatan bid’ah.

Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata,

Sesungguhnya mengerjakan shalat dzuhur setelah shalat jum’ah tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah walaupun hanya sekali dan tidak pula memerintahkannya, tidak pernah dikerjakan oleh sahabat, atau
tabi’in walaupun seorang, dan tidak pula pernah dikerjakan oleh madzhab empat (yaitu madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hambal. –red ), tetapi diada-adakan oleh pengikut Imam Syafi’i mutaakhirin (generasi yang sekarang ini).
(Lihat As-Sunan Wal Mubtada’ah al Muta’aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 182)


40. Sujud dua kali setelah salam

Kadang kala kita jumpai sebagian orang setelah salam, ia sujud dua kali tanpa sebab. Perbuatan ini menyelisihi sunnah.

Imam Abu Syamah dalam kitabnya "Al Ba’its" menerangkan,

Sesungguhnya bersujud dua kali setelah shalat adalah perbuatan yang sangat dibenci, karena tidak ada sebab tertentu, dan tidak ada tuntunan dari sunnah. Sujud dilakukan ketika shalat atau sesudahnya apabila lupa atau sujud tilawah usai membaca ayat sajdah. Adapun hukum sujud syukur ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i menyunnahkannya sedangkan Imam Ahmad membolehkannya.
(Lihat kitab Islahul Masajid minal Bida’ wal ‘Awaid, oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi: 84)


41. Mengeraskan bacaan tahlil dengan menggelengkan kepala

Berdzikir dan berdo’a dengan menggelengkan kepala termasuk perbuatan bid’ah. Berdzikir dianjurkan agar tenang dengan suara yang lembut. Firman-Nya:

Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS Al-A’raf: 55)


42. Keluar masuk masjid tanpa memperhatikan kaki

Imam Bukhari menjelaskan bab "Hendaknya memulai dengan kaki kanan ketika masuk masjid dan lainnya." Ibnu Umar mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan keluar dengan mendahulukan kaki kiri. (Shahih Bukhari: Kitab Shalat)

Dari ‘Aisyah ia berkata,

Nabi Menyukai mendahulukan yang kanan dari semua urusan menurut kemampuannya, baik ketika berwudhu, menyisir rambut dan memakai sandal. (HR. Bukhari).


43. Keluar masuk masjid tanpa do’a

Rasulullah menganjurkan setiap orang yang masuk dan keluar masjid hendaknya membaca do’a. Dalilnya, dari Abi Asid dia berkata, Rasulullah bersabda,

Apabila salah satu di antara kamu masuk masjid, hendaklah berdo’a, Ya Allah bukakanlah aku pintu rahmat-Mu, dan bila keluar berdo’alah, Ya Allah aku mohon kepada-Mu karunia-Mu. (HR. Muslim).


44. Membungkukkan badan

Sebagian orang ketika akan keluar atau masuk masjid yang di depannya ada orang tua yang sedang duduk, ia lewat sambil membungkukkan badan dan mengulurkan tangan kanan ke bawah. Perbuatan ini tidak mengikuti sunnah, sebaiknya ditinggalkan walaupun dengan alasan menghormati orang tua. Hal ini karena kita tidak menjumpai ahli ilmu (para ulama’ -red) mengamalkannya.


45. Berjama’ah di masjid golongannya

Tidak dibenarkan orang berjama’ah mencari masjid yang sesuai dengan golongannya. Umat Islam dilarang berpecah belah, karena perpecahan adalah fitnah dan penyakit, bahkan awal permusuhan. Tampak diluar mereka ramah tersenyum simpul, tetapi hati mereka bertengkar. Inilah kenyataan yang tidak bisa kita ingkari.

Firman-Nya,

Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS: Ar-Ruum: 31 - 32).

Tetapi jika meninggalkan masjid di desanya karena banyak bid’ahnya dan mencari masjid yang imamnya mengikuti sunnah dan di depan masjid atau sampingnya sunyi dari kuburan, maka (hal ini) termasuk mengikuti sunnah.


46. Pria memilih berjama’ah di rumah

Amalan ini menyelisihi sunnah, karena Nabi mempunyai keluarga tetapi beliau tidak berjama’ah dengan keluarganya, bahkan beliau berniat membakar rumah kaum muslimin yang tidak menjalankan shalat jama’ah di masjid.

Beliaupun menyuruh orang buta tatkala mendengarkan adzan hendaknya shalat di masjid, maka bagaimana dengan orang yang memiliki penglihatan yang sehat?

Dalilnya dari Abu Hurairah, dia berkata,

Datang seorang laki-laki buta kepada Nabi. Dia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tiada seorangpun yang menuntunku ke masjid." Lalu dia minta keringanan kepada Rasulullah agar diizinkan shalat di rumah. Beliau membolehkannya. Tatkala dia berpaling, beliau memanggilnya
lalu bertanya, "Apakah kamu mendengar adzan panggilan shalat?" Dia menjawab, "Ya". "Jika begitu, datangilah." (HR. Muslim)


47. Berjama’ah di kantor atau tempat kerja

Amalan ini menyelisihi sunnah, karena Allah berfirman,

Dan ruku’lah beserta orang yang ruku’. (QS Al Baqarah: 43)

Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia ketika ditanya bagaimana hukum shalat berjama’ah di kantor perusahaan? Mereka menjawab:

Sudah menjadi ketetapan sunnah baik berupa perbuatan maupun perkataan, bahwa beliau bersama sahabat menjalankan shalat jama’ah di masjid, bahkan beliau berniat akan membakar rumah orang yang tidak berjama’ah di masjid.
(Lihat Fatawa Islamiyah: 1/354)


48. Berjama’ah hanya sebagian waktu

Penyakit yang melanda kaum muslimin umumnya di negri kita, ialah malas menjalankan shalat jama’ah, mereka berjama’ah hanya waktu tertentu, seperti shalat maghrib. Sedangkan untuk shalat Isya’ dan subuh mereka merasa keberatan, sebagaimana orang munafiq berat mengerjakannya.

Dalilnya, dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda:

Tiada shalat jama’ah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik melainkan shalat subuh dan isya’, seandainya mereka mengetahui betapa besar pahalanya, tentu dia akan mengerjakannya walaupun dalam keadaan merangkak. (HR. Bukhari).


49. Merokok di masjid



Kadang kala kita jumpai sebagian masjid, disediakan asbak rokok. Sebelum imam datang, mereka merokok di halaman masjid. Bau rokok ini tentu akan mempengaruhi lingkungan di dalam masjid dan pasti mengganggu jama’ah, karena tidak semua orang senang dengan rokok. Mengganggu hukumnya haram, apalagi mengganggu orang yang beribadah.

Dalilnya, sesungguhnya Jabir bin Abdillah yakin bahwa Nabi bersabda,

Barangsiapa makan bawang, hendaklah menjauhi kami, atau menjauhi masjid kami. (HR. Bukhari).

Apabila ada orang makan bawang, beliau menyuruh agar menjauhi masjid, karena baunya yang mengganggu, padahal bawang itu halal dan tidak membahayakan bagi kesehatan, maka bagaimana rokok yang sudah jelas membahayakan kesehatan sebagaimana yang tertulis di luar bungkus rokok dan spanduk di sana sini, bahkan baunya lebih busuk (lebih tidak enak -red) daripada bawang?
(Untuk lebih jelasnya bab ini, lihat Fatawa Islamiyah: 1/358 - 359)


50. Berpakaian yang terlarang

Berpakaian yang menutup mata kaki, (atau) tipis sehingga badannya kelihatan, tebal tapi sempit, bergambar (makhluk -red vbaitullah.), terlihat sebagian auratnya ketika ruku’ atau sujud dan sebagainya termasuk menyelisihi sunnah, kita wajib menjauhinya. Lihat pembahasan mengenai "Meluruskan Kekeliruan Imam" bagian satu dan dua.



Sumber : http://www.vbaitullah.or.id

Tidak ada komentar: