26 Agustus 2009

FATWA-FATWA HUKUM MENINGGALKAN SHOLAT

HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apa yang harus dilakukan oleh seseorang, apabila ia telah menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat namun mereka tidak memperdulikannya, apa ia tetap tinggal bersama mereka dan bergaul dengan mereka atau keluar dari rumah itu ?"

Jawaban.
Jika keluarganya tidak mau melaksanakan shalat selamanya, berarti mereka kafir,murtad, keluar dari Islam, maka ia tidak boleh tinggal bersama mereka. Namun demikian ia wajib menda'wahi mereka dan terus menerus mengajak mereka, mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk, karena orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir berdasarkan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta pendapat para sahabat dan pandangan yang benar.

Dalil dari Al-Qur'an adalah firman Allah tentang orang-orang musyrik.

"Jika meerka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu segama" [At-Taubah : 11]

Artinya, jika mereka tidak melakukan itu, berarti mereka bukanlah saudara-saudara kita. Memang persaudaraan agama tidak gugur karena perbuatan maksiat walaupun besar, namun persaudaraan itu akan gugur ketika keluar dari Islam.

Dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat" [Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (82)]

Disebutkan pula dalam Shahih Muslim sabda beliau dalam hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu dan kitab-kitab sunan.

"Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir" [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/346) dan para penyusun kitab Sunnan denan isnad shahih, At-Turmudzi, kitab Al-Iman (2621), An-Nasa'i, kitab Ash-Shalah (1/232), Ibnu Majah, kitab Iqamatus Shalat (1079)]

Ucapan para sahabat : Amirul Mukminin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata, "Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat" [Hadits Riwayat Malik, kitab Ath-Thaharah], Maksudnya, tidak ada bagian baik sedikit maupun banyak. Abdullah bin Syaqiq mengatakan, "Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memandang suatu amalpun yang apabila ditinggalkan akan menyebabkan kekafiran, selain shalat"

Adapun berdasarkan pandangan yang benar, dikatakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah senantiasa meninggalkannya ? Tentu saja ini tidak masuk akal. Jika diperhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat tidak menyebabkan kekufuran, maka akan ditemukan alasan-alasan itu tidak keluar dari lima hal.

[1] Karena tidak ada dasar dalilnya
[2] Atau, hal itu terkait dengan suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya sehingga meninggalkan shalat
[3] Atau, hal itu terkait dengan kondisi yang diterima udzurnya untuk meninggalkan shalat.
[4[ Atau, hal itu bersifat umum kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits yang mengkafirkan orang-orang yang meninggalkan shalat.
[5] Atau, hal itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan alasan.

Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, maka berlaku padanya hukum-hukum orang murtad. Lagi pula, tidak disebutkan dalam nash-nash bahwa orang yang meninggalkan shalat itu Mukmin, atau masuk surga, atau selamat dari neraka, dan sebagainya, yang memalingkan kita dari vonis kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis kufur nim'at atau kufur yang tidak menyebabkan kekafiran.

Di antara hukum-hukum murtad yang berlaku terhadap orang yang meninggalkan shalat :

Pertama : Ia tidak sah menikah. Jika terjadi akad nikah maka nikahnya batal dan isterinya tidak halal baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala tentang para wanita yang berhijrah.

"Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka" [Al-Mumtahanan : 10]

Kedua : Jika ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pernikahannya menjadi gugur sehingga isterinya tidak halal baginya. Hal ini juga berdasarkan ayat yang telah disebutkan tadi. Dan menurut rincian para ahlul ilmi, bahwa hukum ini berlaku baik setelah bercampur maupun belum.

Ketiga : Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia menyembelih hewan, maka daging hewan sembelihannya tidak halal dimakan, karena daging itu menjadi haram. Padahal sembelihan orang yahudi dan nashrani dihalalkan bagi kita untuk memakannya. Ini berarti –na'udzu billah- sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih buruk daripada sembelihan orang yahudi dan nashrani.

Keempat : Ia tidak boleh memasuki Makkah atau batas-batas kesuciannya berdasarkan firman Allah Ta'ala.

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" [At-Taubah : 28]

Kelima : Jika ada kerabatnya yang meninggal, maka ia tidak boleh ikut serta dalam warisan. Misalnya, ada seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak yang tidak shalat. Orang yang meninggal itu seorang muslim yang shalat, sementara si anak itu tidak shalat, disamping itu ada juga sepupunya. Siapakah yang berhak mewarisinya ? Tentu saja sepupunya, adapun anaknya tidak ikut mendapat warisan, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Usamah.

"Seorang muslim tidak mewarisi yang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi orang muslim" [Muttafaq 'alaihi, Al-Bukhari, kitab Al-Fara'idh (6764), Muslim, kitab Al-Faraidh 91614)]

Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Bagikan harta warisan kepada apara ahlinya, adapun sisanya adalah untuk laki-laki yang paling berhak" [Al-Bukhari, kitab Al-Faraidh (6732), Muslim, kitab Al-Fara'idh (1615)]

Keenam : Jika ia meninggal, maka mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan dan tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin. Lalu, apa yang harus kita lakukan ? Kita keluarkan mayatnya ke padang pasir, lalu dibuatkan lobang, kemudian kita kubur langsung dengan pakaiannya, karena mayat itu tidak terhormat. Berdasarkan ini, tidak boleh seseorang yang ditinggal mati oleh orang yang tidak shalat, untuk mempersilahkan kaum muslimin menyalatinya.

Ketujuh : Bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama Fir'aun, Haman, Qarun, Ubay bin Khalaf dan para pemimpin kaum kafir –na'udzu billah-, dan tidak akan masuk surga. Kemudian, tidak boleh keluarganya untuk memohonkan rahmat dan ampunan baginya, karena ia seorang kafir yang tidak berhak mendapatkan itu, hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala.

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam" [At-Taubah : 113]

Jadi, saudara-saudaraku, masalah ini sangat berbahaya, namun sayangnya, masih ada orang yang menganggap remeh masalah ini, diantaranya ialah dengan menempatkan orang yang tidak shalat dirumahnya, padahal itu tidak boleh. Wallahu 'alam

Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. [Risalah Shifat Shalatin Nabiy, hal-29-30, Ibnu Utsaimin]

[Disalin dari bukuAl-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 180-184 Darul Haq]
__________________________________________

SEORANG LELAKI SUDAH MEMERINTAHKAN KELUARGANYA UNTUK MELAKSANAKAN SHALAT, TETAPI MEREKA TIDAK MAU MENDENGARKANYA, APA YANG HARUS DIPERBUAT ?

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa yang harus diperbuat oleh seorang lelaki yang telah memerintahkan keluarganya untuk melakukan shalat tetapi mereka tidak mau mendengarkannya. Apakah ia boleh tinggal dan bercampur bersama mereka atau ia harus keluar dari rumah ?

Jawaban
Apabila anggota keluarga tidak mau shalat selama-lamanya maka mereka telah kafir, murtad keluar dari Islam. Tidak boleh tinggal bersama mereka tetapi wajib baginya untuk mendakwahi mereka dan mengulang-ngulangnya semoga Allah memberi mereka hidayah. Karena orang yang meninggalkan shalat, kafir berdasar dalil dari kitab, sunnah dan perkataan para sahabat, dan pemikiran yang sehat.

Saya telah memperhatikan orang yang berpendapat bahwa mereka tidak kafir, semuanya itu tidak keluar dari empat hal :

[1]. Pendapat yang tanpa dalil
[2]. Atau dalil yang terkait dengan sifat-sifat yang menjadikannya terlarang meninggalkan shalat
[3]. Dalil yang terkait dengan orang yang mendapat keringanan meninggalkan shalat.
[4]. Atau ia adalah dalil umum lalu dikhususkan dengan dalil-dalil tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat.

Tetapi dalam nash-nash tidak menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah mukmin, atau bahwa ia masuk jannah, atau selamat dari neraka atau yang semisalnya yang membolehkan kita untuk mentakwilkan hukum kafir bagi orang yang meninggalkan shalat adalah kufur nikmat, atau kufur yang bukan kekafiran sebenarnya.

Bila telah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari dien, maka berlaku baginya dengan hukum tentang orang-orang yang murtad, di antaranya ialah :

Pertama.
Ia tidak sah dinikahkan. Karena ikatan nikah bagi orang yang tidak shalat adalah batal. Istrinya tidak sah baginya. Firman Allah dalam surat Al-Mumtahanah : 10.

Kedua.
Apabila ia meninggalkan shalat setelah pernikahannya, maka nikahnya terhapus, istrinya tidak halal baginya. Berdasarkan ayat yang telah kami sebutkan di muka dengan perincian yang sudah diketahui oleh ahli ilmu baik sebelum jima atau sesudahnya.

Ketiga
Lelaki yang tidak shalat ini bila menyembelih hewan maka sembelihannya tidak dimakan, mengapa ? Karena hukumnya haram. Seandainya yang menyembelih adalah orang Yahudi atau orang Nasrani maka sembelihannya halal bagi kita untuk memakannya. Maka jadilah sembelihannya –kita berlindung kepada Allah- menjadi lebih buruk daripada sembelihan Yahudi ataupun Nasrani.

Keempat
Ia tidak boleh memasuki Makkah ataupun perbatasannya yang telah diharamkan, sebagaimana firman Allah.

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini" [At-Taubah : 28]

Kelima
Seandainya salah satu keluarganya meninggal maka ia tidak mempunyai hak waris lagi. Seandainya ada seseorang meninggal dunia sedangkan anaknya tidak shalat, sedangkan ia punya keponakan jauh (sebagai ashabah) maka yang mewariskannya adalah keponakannya tadi bukan anaknya. Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang mukmin" [1]

Juga sabdanya.
"Berikanlah harta waris kepada yang berjhak menerimanya, jika masih tersisa maka yang lebih berhak yaitu laki-laki.." [2]

Keenam
Bila ia mati maka tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalati, dan tidak dikuburkan dalam pekuburan kaum muslimin. Lalu apa yang harus kita perbuat terhadapnya ? Kita bawa ia ke pada sahara lalu kita gali kuburannya dan dikuburkan di situ dengan pekaiannya, karena tidak ada kehormatan baginya. Oleh karena itu barang siapa tahu ada orang mati sedang ia tahu mayat itu sebelumnya tidak pernah shalat, maka tidak boleh dishalati oleh kaum muslimin.

Ketujuh
Ia pada hari kiamat akan dikumpulkan bersama Fir'aun, Haman, Qarun dan Ubai bin Khalaf [3], para pemimpin kekafiran –kita berlindung kepada Allah-, dan tidak dimasukkan jannah, dan tidak dibolehkan bagi salah seorang keluarganya untuk mendo'akannya untuk mendo'akannya dengan rahnat dan ampunan karena ia orang kafir. FirmanNya.

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam" [At-Taubah : 113]

Masalah ini sangat berbahaya sekali, saying sekali banyak orang yang meremehkan masalah ini, merela biarkan saja orang yang dirumahnya tidak melakukan shalat, dan hal ini tidak boleh. Wallahu a'lam.

[Ditulis pada tanggal 6-2-1410H]
_________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan Bukhari : Kitab Faraidh, Bab Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam. Dan Muslim dalam kitab Al-Faraidh.
[2]. Hadits Riwayat Bukhari, Kitab Al-Faraidh, Bab Warisan anak dari orang tuanya (6732), Muslim : Kitab Al-Faraidh, Bab Berikanlah harta waris kepada ahlinya.
[3]. Dikeluarkan Imam Ahmad dalam "Musnad" 2/169

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]
________________________________

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Ada sebuah hadits yang menjelaskan bahwa yang pertama kali di hisab dari seorang hamba adalah shalatnya, jika baik shalatnya maka baik pula seluruh amalannya, dan jika rusak shalatnya maka rusaklah seluruh amalannya. Apakah dapat dipahami dari hadits di atas bahwa orang yang tidak shalat karena malas, telah kafir kepada Allah Azza wa Jalla ?

Jawaban.
Saya tidak sependapat bahwa maksud dari kata kufur dalam hadits di atas adalah kafir keluar dari Islam. Karena belum tentu lafal kafir dalam Al-Qur'an dan hadits berarti kafir yang keluar dari Islam. Karena kekafiran itu dibagi menjadi.

[1] Kufr I'tiqadi (kufur dalam hal keyakinan)
[2] Kufr Amaliy (kufur secara amalan)

Dan mungkin kufur itu terbagi atas.

[1] Kufr Qalbiy (kufur hati)
[2] Kufr Lafdziy (kufur dalam lafal)

Terdapat banyak hadits yang menjelaskan, bahwa orang yang meninggalkan shalat maka ia telah kafir. Akan tetapi berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas tetapi dia tetap mempercayai tentang wajibnya shalat, serta mengakui kekurangannya dalam hal meninggalkan shalat, akan tetapi karena ia mengikuti hawa nafsunya, mengikuti syaithan, mengikuti kesibukannya, dan dia tidak menganggap bahwa meninggalkan shalat itu boleh dan tidak pula menentang wajibnya shalat maka ia adalah orang yang beriman kepada wajibnya shalat walaupun hanya dengan hati tetapi tidak beramal sesuai dengan apa yang dia imani.

Ketika ia meninggalkan shalat berarti ia telah berserikat bersama orang-orang kafir dalam perbuatan itu. Dan kami mengatakan bahwa perbuatannya tersebut adalah perbuatan orang-orang kafir. Dan ini sama dengan orang yang mengimani haramnya zina tetapi ia berzina, atau mengimani haramnya mencuri tetapi ia mencuri dan setersunya.

Akan tetapi jika orang yang meninggalkan shalat tadi berkata seperti perkataan sebagian pemuda yang mendapat pendidikan modern bahwa shalat itu kuno dan ketinggalan zaman, maka ia sungguh telah keluar dari dien (agama) secara keseluruhan.

Dan sebagai patokan dalam hal ini adalah kita harus memandang bahwa Islam merupakan keyakinan dan amalan. Keyakinan adalah asal (pokok), sedangkan amalan mengikuti yang pokok.

Karena itu kami katakana bahwa orang-orang yang meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini wajibnya, maka kekafirannya adalah kekafiran secara amalan (Kufr Amaliy), dan bukan Kufr I'tiqad yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam.

Telah terjadi perselisihan di antara ulama dalam masalah ini. Imam Abu Hanifah memandang bahwa orang yang meninggalkan shalat (karena malas), harus dipenjara sampai ia bertobat atau sampai ia meninggal dunia.

Imam As-Syafi'i dan beberapa imam lainnya memandang orang ini diperintahkan untuk shalat dahulu. Jika ia bertaubat (maka tidak ada satu hukumanpun baginya –pent) dan jika tidak mau bertaubat maka ia dibunuh, sebagai hadd (hukuman) baginya, dan ini bukan ia telah kafir, dan ia dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.

Dan sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa ia dibunuh karena dia telah kafir, bukan sebagai hadd (hukuman).

Pada hakekatnya orang yang meninggalkan shalat ini jika dibawa ke tempat pemenggalan kepala dan diperlihatkan pedang, lalu dikatakan padanya : 'Silakan memilih ; Bertaubat dan shalat atau kami akan membunuhmu!. Kemudian ia lebih memilih dibunuh dari pada bertaubat, maka tidak mungkin terbayangkan selamanya bahwa ia mati sebagai seorang muslim. Bahkan ia seorang kafir. Kafir dalam keyakinan ; jika tidak bagaimana mungkin ia lebih memilih kematian daripada bertaubat.

Adapun tengtang hadits yang disebutkan pada soal diatas, maka saya memahami darinya bahwa amalan-amalan (orang yang rusak shalatnya ,-pent) tidak akan diterima.

[Disalin dari buku Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Al-Bani hal 17-19, Penerjemah Adni Kurniawan, Pustaka At-Tauhid]
_________________________________________

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT DENGAN SENGAJA

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : "Kakak saya tidak melaksanakan shalat, apakah saya boleh berhubungan dengannya atau tidak ? Perlu diketahui bahwa ia hanyalah kakak saya seayah".

Jawaban.
Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kafir, ini berarti ia telah melakukan kekufuran yang besar menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, yang demikian ini jika orang tersebut mengakui kewajiban tersebut. Jika ia tidak mengakui kewajiban tersebut, maka ia kafir menurut seluruh ahlul ilmi, demikian berdasarkan beberapa sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan punckanya adalah jihad" [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/231), At-Turmudzi, kitab Al-Iman (2616), Ibnu Majah, kitab Al-Fitan (3973) dengan isnad shahih]

"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat" [Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (82)]

"Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir" [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/346) dan para penyusun kitab Sunnan denan isnad shahih, At-Turmudzi, kitab Al-Iman (2621), An-Nasa'i, kitab Ash-Shalah (1/232), Ibnu Majah, kitab Iqamatus Shalat (1079)]

Karena orang yang mengingkari kewajiban shalat berarti ia mendustakan Allah dan RasulNya serta ijma' ahlul ilmi wal iman, maka kekufurannya lebih besar dari pada yang meninggalkannya karena meremehkan. Untuk kedua kondisi tersebut, wajib atas penguasa kaum Muslimin untuk menyuruh bertaubat kepada orang yang meninggalkan shalat, jika enggan maka harus dibunuh, hal ini berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan hal ini. Lain dari itu, selama masa diperintahkan untuk bertaubat, harus mengasingkan orang yang meninggalkan shalat dan tidak berhubungan dengannya serta tidak memenuhi undangannya sampai ia bertaubat kepada Allah dari perbuatannya, namun disamping itu harus tetap menasehatinya dan mengajaknya kepada kebenaran serta memperingatkannya terhadap akibat-akibat buruk meninggalkan shalat baik di dunia maupun di akhirat kelak, dengan demikian diaharapkan ia mau bertaubat sehingga Allah menerima taubatnya.

[Kitab Ad-Da'wah, halaman 93, Ibnu Baz]

[Disalin dari bukuAl-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 179-180 Darul Haq]
_______________________________________

HUKUM MEREMEHKAN SHALAT

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Banyak di antara orang-orang sekarang yang meremehkan shalat, bahkan sebagian mereka ada yang meninggalkan semuanya, bagaimana hukum mereka ? Dan apa yang diwajiban kepada setiap Muslim berkaitan dengan mereka, terutama kerabatnya, seperti ; orang tua, anak, isteri dan sebagainya ?

Jawaban.
Meremehkan shalat termasuk kemungkaran yang besar dan termasuk sifat orang-orang munafik, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali” [An-Nisa : 142]

Dalam ayat lain Allah berfirman.
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan” [At-Taubah : 54]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik daripada shalat Shubuh dan shalat Isya, dan seandainya mereka mengetahui apa yang terkandung pada keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak” [Disepakati keshahihannya : Al-Bukhari, kitab Al-Adzan 657, Muslim, kitab Al-Masajid 252-651]

Maka yang wajib atas setiap Muslim dan Muslimah adalah memelihara shalat yang lima pada waktunya, melaksanakannya dengan thuma’ninah, konsentrasi dan khusyu serta menghadirkan hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya” [Al-Mukminun: 1-2]

Dan berdasarkan riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau memerintahkan kepada orang yang buruk dalam melakukan shalatnya karena tidak thuma’ninah agar mengulangi shalatnya. Dan kepada kaum laki-laki, hendaknya mereka memelihara shalat-shalat tersebut dengan berjama’ah di rumah-rumah Allah, yakni di masjid-masjid, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Barangsiapa yang mendengar adzan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur” [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, kitab Al-Masajid 793, Ad-Daru Quthni 1/420, 421, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/246 dengan isnad shahih]

Pernah dikatakan kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, “Apa yang dimaksud dengan udzur itu ?” ia menjawab, “Takut atau sakit”. Dalam Shahih Muslim, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau didatangi oleh seorang laki-laki buta, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Apakah aku punya rukhshah untuk shalat di rumahku ?” kemudian beliau bertanya,

“Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat ?” ia menjawab, “Ya”, beliau berkata lagi, “Kalau begitu penuhilah” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Masajid 653]

Dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Sungguh aku sangat ingin memerintahkan shalat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api tersebut” [Al-Bukhari, kitab Al-Khusumat 2420, Muslim, kitab Al-Masajid 651]

Hadits-hadits shahih ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah termasuk kewajiban kaum laki-laki dan merupakan kewajiban yang paling utama, dan bahwa yang menyelisihinya berhak mendapatkan siksaan yang menyakitkan.

Kita memohon kepada Allah, semoga memperbaiki kondisi seluruh kaum Muslimin dan memberi mereka petunjuk kepada jalan yang diridhaiNya.

Adapun meninggalkan shalat seluruhnya –ataupun hanya sebagian waktunya- maka ini adalah kekufuran yang besar walaupun tidak mengingkari kewajibannya, demikian menurut pendapat yang paling kuat diantara dia pendapat ulama, baik yang meninggalkan shalat itu laki-laki maupun perempuan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman 82]

Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir” [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/346 dan para penyusun kitab sunan dengan isnad shahih : At-Turmudzi 2621, An-Nasa’i 1/232, Ibnu Majah 1079]

Jadi berdasarkan hadits-hadits lainnya yang berkenaan dengan masalah ini.
Sedangkan orang yang mengingkari kewajibannya –baik laki-laki maupun perempuan- maka pengingkarannya itu telah menjadikannya kafir dengan kekufuran yang besar berdasarkan kesepakatan ahlul ilmi, bahkan sekalipun ia melaksanakan shalat. Kita memohon kepada Allah untuk kita dan semua kaum Muslimin agar senantiasa dibebaskan dari yang demikian, sesungguhnya Dia sebaik-baik tempat meminta.

Wajib bagi semua kaum Muslimin untuk saling menasehati dan saling berwasiat dengan kebenaran serta saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, di antaranya adalah dengan menasehati orang yang meninggalkan shalat jama’ah atau meremehkannya sehingga terkadang meninggalkannya, juga memperingatkannya akan kemurkaan dan siksaan Allah.

Lain dari itu, hendaknya sang ayah, ibu dan saudara-saudaranya yang se-rumah, agar senantiasa menasehatinya, dan terus menerus mengingatkannya, mudah-mudahan Allah memberinya petunjuk sehingga ia menjadi lurus. Demikian juga perempuan yang meninggalkannya, mereka harus dinasehati dan diperingatkan akan murka dan siksa Allah, serta terus menerus diperingatkan.

Selanjutnya, perlu mengambil tindakan dengan mengasingkan orang yang enggan dan memperlakukannya dengan cara yang sesuai dengan kemampuan dalam masalah ini, karena hal ini semua termasuk dalam katagori tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, serta amar ma’ruf dan nahyi mungkar yang telah diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya baik yang laki-laki maupun yang perempuan, berdasarkan firmanNya.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah : 71]

Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak melaksanakannya) saat mereka telah berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka” [Hadits Riwayat Abu Dawud, kitab Ash-Shalah 495-496]

Dari hadits ini dapat disimpulkan, bahwa anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, diperintahkan untuk shalat sejak berusia tujuh tahun, kemudian jika telah mencapai usia sepuluh tahun dan belum juga mau melaksanakannya maka mereka harus dipukul. Maka orang yang sudah baligh tentu lebih wajib lagi untuk diperintah shalat dan dipukul jika tidak melaksanakannya yang disertai dengan nasehat yang terus menerus serta wasiat dengan kebaikan dan kesabaran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” [Al-Ash : 1-3]

Barangsiapa yang meninggalkan shalat setelah usia baligh dan enggan menerima nasehat, maka perkaranya bisa diadukan kepada mahkamah syari’ah sehingga ia diminta untuk bertaubat, jika tidak mau bertaubat maka dibunuh. Kita memohon kepada Allah agar memperbaiki kondisi kaum Muslimin dan menganugerahi mereka kefahaman tentang agama serta menunjukkan mereka untuk senantiasa saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, amar ma’ruf dan nahyi mungkar, serta saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, sesungguhnya Dia Maha Baik lagi Maha Mulia.

[Fatawa Muhimmah Tata’allaqu Bish Shalah, hal.21-27, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 196-199 Darul Haq]

Tidak ada komentar: