04 Agustus 2009

Berprasangka baiklah dan berilah udzur ketika kita melihat penyimpangan

Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si A begini, si B begitu, si C demikian, si D demikian dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)”

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 3/191)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)

Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek.

Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 16/218)

Karenanya, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata, “Demi Allah, tidak halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak pula kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)

Dari hadits:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja. [Lafadz hadits yang dimaksud adalah “Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di jiwa mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 327)] ” (Al-Minhaj, 16/335)

Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam/menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”

Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28)

Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Karena itu, tatkala terjadi peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik menyebarkan fitnah berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, shalihah, dan thahirah (suci dari perbuatan nista) Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina, wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap berprasangka baik dan tidak ikut-ikutan dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut. Dalam Tanzil-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ

“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang nyata’.” (An-Nur: 12)

Dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang Badui yang takut berperang ketika mereka diajak untuk keluar bersama pasukan mujahidin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang Badui ini dihinggapi dengan zhan yang jelek.

سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ اْلأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَلْ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا. بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا

“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada di dalam hati mereka.

Katakanlah, “Maka siapakah gerangan yang dapat menghalangi-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagi kalian atau jika Dia menghendaki manfaat bagi kalian. Bahkan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.

Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang yang beriman sekali-kali tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaithån telah menjadikan kalian memandang baik dalam hati kalian persangkaan tersebut. Dan kalian telah menyangka dengan sangkaan yang buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 11-12)

Dari Said Al Khudri rådhiyallåhu 'anhu, bahwa ada orang yang menggugat Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam dalam membagian zakat, ia berkata kepada Nabi, : Wahai Rasulullah bertaqwalah kepada Allah.” Khalid bin Walid langsung minta izin kepada Nabi untuk memenggal lehernya, Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda, : “Boleh jadi dia shalat”. Khalid berkata, “Berapa banyak orang yang shalat tetapi ucapannya tidak sesuai dengan perbuatannya.” Maka Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda, yang artinya: “Aku tidak diperintah untuk membedah hati orang dan membelah dada mereka.” [Munafaqqun ‘Alaih]

Dari Usamah bin Zaid radhiyallåhu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam mengirim kami dalam suatu pasukan. Kami sampai di Huruqat, suatu tempat di daerah Juhainah di pagi hari. Lalu aku menjumpai seorang kafir. Dia mengucapkan: Laa ilaaha illallah, tetapi aku tetap menikamnya. Ternyata kejadian itu membekas dalam jiwaku, maka aku menuturkannya kepada Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam.

Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bertanya: "Apakah ia mengucapkan: Laa ilaaha illallah dan engkau tetap membunuhnya?" Aku menjawab: Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut pedang. Rasulullah shållallåhu 'alaihi wa sallam, bersabda (yang artinya): "Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah hatinya berucap demikian atau tidak?" Beliau terus mengulangi perkataan itu kepadaku, hingga aku berkhayal kalau saja aku baru masuk Islam pada hari itu. (HR Muslim No 140)

Umar bin Khattab RadhiAllahu ‘anhu berkata: “Pada zaman Nabi shalallahu ‘alahi wasallam orang yang salah terkena sanksi berdasarkan wahyu. Sekarang wahyu sudah putus, maka kita menghukumi secara zahirnya saja perbuatan kalian. Barangsiapa yang menampakan kebaikan, kami terima dan hakekatnya kami serahkan kepada Allah, karena Allah yang menilai batin kalian. Dan apabila tampak keburukan mereka, maka kami menolak dan tidak percaya meskipun maksud dalam batinnya baik. [Ahlusunnah menghadapi Ahli Bid'ah oleh DR Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili hal 70.]

Diriwatkan dari Abdullah bin Umar radhiAlllahu ‘anhu, Nabi mengutus Khalid bin Walid kepada kabilah Jadzimah untuk diajak masuk islam. Tetapi mereka tidak mampu mengucap Asalama (kami masuk Islam) sehingga mereka berkata Shaba’na, shaba’na (kami keluar dari agama kami) maka khalid langsung membunuh sebagian dan menawan sebagian yang lain. Masing-masing diantara kami membawa tawanannya, hingga pada suatu hari Khalid memerintahkan membunuh tawanannya. Maka saya berkata “demi Allah kami tidak membunuh tawananku dan semua kawanku juga begitu, hingga kami mengadukan kepada rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam, Lalu beliau bersabda sambil mengangkat kedua tangan “Ya Allah, aku serahkan kepada-Mu apa yang diperbuat khalid sebanyak dua kali [HR Bukhori]

Ibnu hajar menjelaskan ucapan rawi “Tetapi mereka tidak mampu mengucap Asalama (kami masuk Islam) sehingga mereka berkata Shaba’na, shaba’na (kami keluar dari agama kami)” rawi hadist, Ibnu Umar memehami bahwa sebenarnya mereka menginginkan Islam.namun khalid memahami lafazh secara zhahir saja, sebab ucapan mereka shaba’na berarti kami keluar dari satu agama untuk masuk kepada agama lain. Sementara Khalid tidak merasa puas dengan ucapan mereka, iang ingin secara jelas mengatakan islam. Lih : Fathul Bari Jilid 8 hal 57

Dari Ali bin Abu Thalib radhiyallåhu 'anhu, ia berkata:

"Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam mengutus aku, Zubair dan Miqdad lalu beliau bersabda: "Pergilah kalian ke daerah Raudhah Khakh di mana terdapat seorang wanita yang sedang dalam perjalanan membawa sepucuk surat dan ambillah surat itu darinya!"

Kemudian kami berangkat, kuda kami pun berlari cepat membawa kami."Lalu tiba-tiba kami bertemu dengan wanita tersebut dan kami katakan kepadanya: "Keluarkanlah surat itu!" Perempuan tersebut berkata: "Aku tidak membawa surat!" Kami berkata lagi: "Keluarkanlah surat itu kalau tidak kamu harus menanggalkan pakaianmu!" Akhirnya ia mengeluarkan surat itu dari sela-sela kepangan rambutnya...

Lalu kami pun segera membawa surat itu kepada Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam, yang ternyata (surat tersebut) berasal dari Hathib bin Abu Baltaah untuk orang-orang musyrik di kota Mekah memberitahukan beberapa rencana Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam.

Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada Hathib, "Wahai Hathib, apa ini?" Hathib menjawab: "Jangan cepat menuduhku, wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku dahulu adalah seorang yang akrab dengan orang-orang Quraisy". Sufyan berkata: "Ia pernah bersekutu dengan mereka meskipun tidak memiliki nasab dengan Quraisy. Para Muhajirin yang ikut bersamamu mempunyai kerabat yang dapat melindungi keluarga mereka (di Mekah). Dan aku ingin, karena aku tidak mempunyai nasab di tengah-tengah mereka, berbuat jasa untuk mereka sehingga mereka mau melindungi keluargaku. Dan aku melakukan ini bukan karena kekufuran dan bukan juga karena murtad bahkan tidak juga karena aku rela dengan kekufuran setelah memeluk Islam..." Kemudian Nabi shalallahu ‘alahi wasallam. bersabda: "Dia telah berkata benar."

Lalu Umar berkata: "Wahai Rasulullah, biarkanlah aku memenggal leher orang munafik ini!" Beliau menjawab: "Sesungguhnya dia telah ikut serta dalam perang Badar dan siapa tahu Allah telah memberikan keistimewaan kepada para prajurit Badar lalu berfirman: "Berbuatlah sesuka kamu sekalian karena sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian!", Kemudian Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung menurunkan firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia." (Shahih Muslim No.4550)

Kesalahan penafsiran yang dilakukan oleh Khalid dan Umar bin Khattab radhiAllahu ‘anhumaa adalah salah takwil terhadap apa yang dia dengar. Dan Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam mentolelir kesalahan mereka (kesalahan khålid dan 'umar), tidak menghujat maupun memaki-maki.

Syaikhul Ibnu Taimiyyah juga berkata ”Orang yang berbuat kesalahan dan salah dalam takwil, dimaafkan berdasarkan Al Kitab dan As Sunnah, beliau mengungkapkan firman Allah:

Ya Tuhan Kami, janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah (al Baqarah : 286)

Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku yang berbuat salah dan lupa serta dipaksa atas sesuatu. (HR Ibnu Majah, Al hakim dan dishahihkan syaikh al-Albani dalah Shahih Ibnu Majah dan Misykah al Mashabih)

Yang dimaksud salah takwil adalah salah dalam memahami sesuatu nash syar’i yang masih dalam batas kaidah bahasa arab dan kaidah ilmu Syar’i. Ibnu hajar berkata “setiap orang yang salah takwil tidak berdosa, selagi takwil yang masih dalam batas kaidah bahasa arab dan kaidah ilmu syar’i." (Lih : Fahul Bariy Jil 12 hal 304)

Tidak semua orang yang melakukan penyimpangan seperti melakukan kesyirikan, kebid'ahan dan kemaksiatan itu dihukumi kafir, mubtadi' atau fasiq

Sangat banyak kasus yang dilakukan para sahabat nabi shållallåhu 'alaihi wa sallam, -ridwanullåh 'alaihim jami'an- yang menjurus kepada perbuatan syirik, kafir dan sesat, namun Nabi shalallahu ‘alahi wasallam tidak memperingatkan mereka dengan kata-kata kasar mencaci maki dan mencela dengan kata-kata yang akan menyakiti para sahabatnya, apalagi sampai serta merta memvonis mereka kafir, sesat dan laknatan-laknatan lainnya...

Berikut adalah dalil-dalinya

Dari Abdullah ibnu auf, dia berkata “Tatkala Mu’az datang dari Syam langsung sujud kepada Nabi shalallahu ‘alahi wasallam ? Maka nabi shalallahu ‘alahi wasallam bersabda : “Apa yang kamu lakukan wahai Mu’adz? ia berkata : ” Saya datang dari di Syam saya dapatkan mereka bersujud kepada para uskup dan pendeta mereka, saya senang bila hal itu dilakukan untukmu. ” Nabi shalallahu ‘alahi wasallam bersabda “Janganlah kamu lakukan (itu), sebab bila aku boleh menyuruh bersujud kepada selain Allah, maka aku akn perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya. (HR Ibnu Majah, Ahmad, Al Mudziri dalam Targhib, dan disahihkan oleh Al Albani dalam Sahih Ibnu Majah dan adab Az Zafaf)

Dari Khalid bi Dzakwan dari rabi’ binti maud berkata, ” Nabi shalallahu ‘alahi wasallam datang ke pernikahanku lalu beliau duduk diatas tempat tidurku, jaraknya seperti aku denganmu sekarang, sementara anak-anak kecil perempuan memukul rebana dan melantunkan syair untuk bapak-bapak mereka yang meninggal dalam perang Badr. Salah satu diantara mereka berkata “Ditengah-tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui suatu yang akan terjadi esok, beliau bersabda ” jangan ucapkan kalimat itu dan ucapkan saja kalimat yang tadi kamu ucapkan. [HR Bukhåri]

Hadits diatas mengisahkan dua jenis perbuatan yang bagi kita adalah perbuatan syirik dan penuh dengan kesesatan namun tidak dihadapan Nabi shalallahu ‘alahi wasallam dan sesungguhnya beliau telah memberikan tauladan yang baik untuk tidak mencela mereka dengan langsung memvonis kufur atau sesat [karena terdapat faktor penghalang pada diri mereka (yang bisa berupa kebodohan, atau belum sampai hujjah kepada mereka, atau ada syubhat yang belum hilang di kepala mereka)], seperti apa yang terjadi dikalangan orang-orang yang sekarang ini dalam dakwahnya namun sikap dan perbuatan jauh dari nilai As Sunnah yang haq dengan mudahnya memvonis kafir atau ahlul bid'ah kepada orang yang dilihatnya melakukan penyimpangan.

Apa yang dilakukan Mu’adz dan salah satu anak yang berkata “Ditengah-tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui suatu yang akan terjadi esok”, adalah karena kesalahan takwil terhadap apa yang mereka lihat dan dengar.

Dari Abu Musa radhiyallåhu 'anhu, ia berkata: "Ketika Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam. mengutus salah seorang sahabatnya untuk melaksanakan suatu urusan, beliau akan bersabda: "Sampaikanlah kabar gembira dan janganlah menakut-nakuti serta permudahlah dan janganlah mempersulit."" (Shahih Muslim No.3262)

Dari Anas bin Malik radhiyallåhu 'anhu,, ia berkata: "Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam. pernah bersabda (yang artinya): "Permudahlah dan jangan mempersulit dan jadikan suasana yang tenteram jangan menakut-nakuti"". (Shahih Muslim No.3264)

Maraji':

1. Sikap Nabi tehadap para sahabat yang melakukan kesalahan, oleh: Ahmad Dani Permana, link: http://alhikmah.web.id/2009/06/sikap-nabi-tehadap-para-sahabat-yang-melakukan-kesalahan/

2. Jauhi Buruk Sangka, oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, link: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=695

Tidak ada komentar: